Bekas staf Setjen PDI-P, Saeful Bachri, mengaku diperas bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan, terkait upaya pergantian antarwaktu anggota parlemen Rezky Amelia ke Harun Masiku. Menurutnya, ia terkena pemerasan oleh Wahyu.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas staf Sekretariat Jenderal PDI-P, Saeful Bahri, merasa dibohongi oleh bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan. Ia menganggap Wahyu tidak pernah mengupayakan agar KPU menyetujui pergantian antarwaktu anggota DPR, Riezky Aprilia, ke Harun Masiku.
Hal tersebut diungkapkan Saeful dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap Wahyu dengan agenda pembacaan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (14/5/2020). Sidang ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Panji Surono dan dihadiri kuasa hukum Saeful dan jaksa penuntut umum KPK, Takdir Suhan. Sementara terdakwa Saeful mengikuti sidang dari Gedung KPK dengan video konferensi dengan didampingi penasihat hukumnya.
Saeful mengungkapkan, pada Pemilu 2019, Nazarudin Kiemas yang merupakan salah satu calon anggota legislatif di daerah pemilihan 1 Sumatera Selatan meninggal sebelum pencoblosan. Karena kurangnya sosialisasi, banyak pemilih yang tidak mengetahui kejadian tersebut sehingga tetap mencoblos Nazarudin dan mendapatkan suara terbanyak.
Karena kejadian tersebut, PDI-P memutuskan bahwa suara Nazarudin harus diberikan kepada caleg terbaik lainnya. ”Itu tidak otomatis atau serta-merta jatuh kepada caleg nomor urut terbesar berikutnya,” kata Saeful.
Akan tetapi, Peraturan KPU Nomor 3 dan 4 Tahun 2019 menyatakan bahwa suara caleg yang meninggal dunia otomatis menjadi suara partai. Namun, partai tidak diberikan hak politik untuk memindahkannya kepada caleg lain. Atas dasar itulah, DPP (Dewan Pimpinan Pusat) PDI-P menempuh jalur hukum dengan mengajukan uji materi terhadap kedua peraturan KPU tersebut ke Mahkamah Agung pada akhir Juni 2019.
Setelah DPP PDI-P berusaha meminta KPU mengabulkan keinginan mereka untuk menyetujui pergantian antarwaktu anggota DPR dari Riezky ke Harun dan tidak menemui titik temu, Saeful terdorong menyediakan diri untuk ikut membantu PDI-P.
Saeful meminta tolong pada mantan anggota Badan Pengawas Pemilu Agustiani Tio Fridelina untuk mencari tahu tentang kendala dan hambatan di internal KPU. Ia juga meminta tolong kepada advokat PDI-P, Donny Tri Istiqomah, untuk membuat kajian hukum demi meyakinkan KPU bahwa Putusan MA tetap bisa dilaksanakan.
Selanjutnya, Agustiani menghubungi Wahyu dan melalui pesan singkat Wahyu menjawab ”Siap mainkan”. Kalimat ”Siap mainkan” yang dipahami oleh Saeful dari penjelasan Agustiani adalah Wahyu akan mendiskusikannya dengan semua komisioner bahwa putusan MA tetap bisa dilaksanakan dengan cara menyinergikan kajian hukum DPP PDI-P dengan kajian hukum KPU.
Adapun Saeful menanyakan ”piro” (berapa) ditujukan kepada Agustiani karena telah membantu membangun komunikasi dengan pihak KPU, bukan kepada komisioner KPU. Agustiani pun menjawab ”100” (seratus juta rupiah) dan disanggupi Saeful.
Setelah tidak ada kemajuan, Agustiani mengungkapkan bahwa ada permintaan secara tidak langsung dari Wahyu yang menghendaki adanya dana operasional. Hal tersebut membuat posisi Saeful terjepit karena partai melarang adanya dana operasional, sedangkan Harun terus mendesak Saeful untuk segera melakukan langkah nyata dalam urusan ini.
Alhasil, Saeful pun mengikuti saran Agustiani. Ia memberikan tawaran kepada Wahyu melalui Agustiani. Saeful menawarkan Rp 750 juta dengan perhitungan masing-masing komisioner mendapatkan Rp 100 juta dan sisanya Rp 50 juta untuk Agustiani.
”Seandainya jika tidak ada permintaan dana operasional (secara tidak langsung) dari pihak KPU, tentunya saya tidak akan pernah memberikan dana operasional apa pun kepada pihak KPU. Ini terbukti ketika saya mencoba menawarkan Rp 750 juta, pihak KPU langsung mematok harga sebesar Rp 1 miliar,” kata Saeful.
Seandainya jika tidak ada permintaan dana operasional (secara tidak langsung) dari pihak KPU, tentunya saya tidak akan pernah memberikan dana operasional apa pun kepada pihak KPU. Ini terbukti ketika saya mencoba menawarkan Rp 750 juta, pihak KPU langsung mematok harga sebesar Rp 1 miliar.
Ia menambahkan, patokan harga tersebut membuktikan bahwa sudah ada niat terlebih dahulu dari pihak KPU meminta dana operasional. Namun, hal tersebut tidak disampaikan secara langsung oleh Wahyu, tetapi melalui bahasa tubuh yang diterjemahkan secara eksplisit oleh Agustiani.
Karena hal tersebut, Saeful menganggap, perkara ini lebih tepat dinyatakan sebagai delik pemerasan oleh KPU kepadanya. Karena KPU adalah organisasi yang bersifat kolektif kolegial, permintaan dana operasional tersebut bukan berasal dari KPU, tetapi dari Wahyu. Sebab, pada kenyataannya Wahyu tidak memiliki kewenangan apa pun, kecuali diputuskan bersama-sama dengan komisioner lainnya.
Saeful mengungkapkan, berdasarkan fakta persidangan, Wahyu tidak pernah berupaya melobi terhadap komisioner lainnya dan memperjuangkan permohonan DPP PDI-P di dalam rapat pleno KPU. Bahkan, Wahyu ikut menolak permohonan DPP PDI-P dan memberikan paraf persetujuan rancangan surat penolakan KPU.
Wahyu juga bercerita kepada Agustiani bahwa ia telah membohongi Saeful dan Donny dengan mengaku bahwa ia telah dipukul habis-habisan oleh semua komisioner karena telah memperjuangkan permohonan DPP PDI-P.
Padahal, Wahyu hanya berharap di dalam rapat pleno KPU, mayoritas komisioner akan mengabulkan permohonan DPP PDI-P. Jika akhirnya permohonan DPP PDI-P terkabulkan, uang Rp 1 miliar tersebut dapat digunakan sendiri oleh Wahyu. Saeful mengibaratkan perbuatan Wahyu tersebut sebagai tindakan ”memanah di atas kuda”.
”Saya menjadi yakin bahwa apa yang dilakukan Wahyu ternyata bohong. Kebohongan itu telah merugikan saya dan menempatkan saya sebagai korban sehingga apakah tidak seyogianya perbuatan Wahyu lebih tepat dikategorikan sebagai delik penipuan?” tutur Saeful.
Dalam nota pembelaan, penasihat hukum Saeful, Simeon Petrus, menyatakan, Saeful tidak terbukti memberikan uang yang seluruhnya setara dengan Rp 600 juta kepada Wahyu dalam proses pengurusan permohonan penggantian calon legislatif dari Riezky kepada Harun.
Oleh karena itu, Simeon memohon kepada majelis hakim untuk menyatakan Saeful tidak bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didakwaan dalam surat dakwaan penuntut umum. Ia berharap, hakim membebaskan Saeful dan memerintahkan penuntut umum untuk mengeluarkan Saeful dari tahanan.
Ketika diberikan kesempatan oleh hakim untuk menanggapi, jaksa KPK Takdir Suhan menyatakan tetap pada tuntutannya. Sebelumnya, Saeful dituntut dengan hukuman dua tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider enam bulan kurungan.
Menanggapi pernyataan jaksa, Saeful tetap pada pembelaannya. Hakim pun akan melakukan musyawarah untuk menjatuhkan putusan. Sidang putusan akan dilakukan pada 28 Mei 2020.