Dewan Pengawas Terima 92 Aduan Publik Terkait Kerja KPK
Sejak mulai bekerja akhir tahun lalu, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima 92 laporan pengaduan dari masyarakat terkait kerja KPK. Beberapa di antaranya, laporan dugaan pelanggaran kode etik.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak mulai bertugas akhir tahun lalu, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi telah menerima 92 laporan pengaduan dari masyarakat terkait kerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Beberapa di antaranya adalah laporan dugaan pelanggaran kode etik. Sebagian dari puluhan laporan itu telah tuntas ditindaklanjuti, tetapi khusus dugaan pelanggaran etik, masih diproses.
”Kami berterima kasih kepada partisipasi masyarakat yang terus membantu kami dalam melakukan pengawasan terhadap tugas dan kewenangan KPK,” kata Ketua Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean saat memaparkan laporan pengaduan publik terhadap KPK sebagai bagian dari pemaparan kerja Dewas KPK sepanjang kuartal pertama tahun 2020, Selasa (26/5/2020).
Puluhan pengaduan itu tidak hanya terjadi pada KPK di bawah kepemimpinan Ketua KPK Firli Bahuri sejak akhir tahun lalu. Namun, ada juga yang terjadi di era kepemimpinan KPK sebelumnya. Sebagian besar laporan terkait kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK dan informasi tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi. Selain itu, ada juga yang berhubungan dengan kegiatan pencegahan yang dilakukan oleh KPK. Kemudian, masalah sumber daya manusia KPK.
”Serta ada beberapa, tidak sampai lima, yang berhubungan dengan dugaan pelanggaran kode etik,” lanjutnya.
Atas laporan pengaduan tersebut, Dewas telah menindaklanjutinya. ”Sebagian pengaduan atau laporan yang berhubungan perkara telah selesai diklarifikasi dan didalami, yang hasilnya telah dijelaskan kepada si pelapor melalui surat. Sebagian lagi belum selesai, sedang diklarifikasi dan didalami,” ujarnya.
Khusus yang terkait dugaan pelanggaran kode etik, seluruh laporan masih diproses. ”Semuanya masih diproses, jadi belum ketahuan siapa yang salah. Untuk menentukan siapa yang salah, harus ada persidangan dan itu belum pernah dilakukan,” kata Tumpak.
Sesuai Pasal 37B Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, Dewas bertugas menerima laporan masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran
kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK atau pelanggaran ketentuan dalam UU KPK. Selain itu, Dewas juga bertugas menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik tersebut.
Adapun sanksi atas pelanggaran kode etik diatur dalam Peraturan Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Bentuk sanksi tergantung dari jenis pelanggaran. Dimulai dari sebatas teguran, pemotongan gaji, hingga diberhentikan tidak dengan hormat.
Keluarkan 183 izin
Selain menyampaikan soal puluhan pengaduan publik yang diterima Dewas, Tumpak juga menjelaskan bahwa hingga awal Mei 2020, Dewas telah menerima permintaan dan menindaklanjuti dengan memberikan 183 izin. Izin itu terdiri dari 34 izin penyadapan, 15 izin penggeledahan, dan 134 izin penyitaan.
Terkait tugas Dewas mengawasi KPK, ia menyebutkan, Dewas telah melakukan rapat koordinasi pengawasan triwulan I dengan pimpinan KPK pada 27 April 2020. Dalam rapat, disampaikan adanya 18 permasalahan pada empat bidang yang menjadi tugas dan kewenangan KPK.
Bidang penindakan, misalnya, dalam rangka mempercepat penanganan perkara sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi untuk optimalisasi perbaikan aset serta kepastian hukum.
Kemudian, bidang pengawas internal dan pengaduan masyarakat dalam rangka penguatan fungsi Pengawasan Internal serta harmonisasi pelaksanaan tugas pengawasan oleh Dewas dan Pengawasan Internal. Bidang pencegahan dalam rangka optimalisasi fungsi pencegahan, khususnya dalam upaya pengamanan aset kementerian/lembaga dan/atau pemerintah daerah. Terakhir adalah bidang sekretaris jenderal dalam rangka pembenahan manajemen sumber daya manusia KPK.
“Dewan Pengawas akan terus melakukan tugas dan wewenangnya secara transparan, profesional, dan akuntabel. Hal ini dilakukan supaya masyarakat bisa ikut berpartisipasi mengawasi dan mengawal kerja KPK sehingga masyarakat diharapkan akan terus mendukung kerja-kerja pemberantasan korupsi demi Indonesia yang bersih dari korupsi,” tutur Tumpak.
Sementara itu, Manajer Penelitian dan Kampanye Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengkritisi keberadaan Dewas. Berdasarkan penelitian TII, keberadaan Dewas hanya membuat kinerja KPK menjadi lambat dan sangat birokratis.
”Belum lagi soal struktur Dewas yang hanya menambah beban kerja dan anggaran KPK,” katanya.
Sejak awal, TII sudah menolak adanya badan atau lembaga baru di dalam KPK yang sifatnya permanen seperti Dewas. Sebab, mereka mengurangi independensi dan menambah birokrasi lembaga negara sehingga tidak efektif dan efisien. Apalagi, Dewas masuk pada ranah penegakan hukum. Hal tersebut menyimpang dari semangat penguatan KPK.
Untuk diketahui, Dewas baru ada setelah terbitnya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Saat undang-undang masih dibahas oleh DPR dan pemerintah, penolakan publik terhadap keberadaan Dewas sudah muncul. Di antaranya karena penyadapan, penggeledahan, atau penyitaan oleh KPK harus didahului izin dari Dewas.
Namun, Tumpak membantah pandangan TII. Hal ini dibuktikan dengan telah diterbitkannya 183 izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh Dewas sejak Dewas mulai bekerja akhir tahun lalu.