Pemerintah perlu memperjelas upaya pencegahan korupsi pasca-pergeseran strategi pemberantasan korupsi, dari penindakan ke pencegahan. Upaya pencegahan korupsi itu diakui belum terintegrasi dan melibatkan masyarakat luas.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pencegahan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah dipandang masih lemah dan kurang memadai. Ada persoalan terkait akuntabilitas, mitigasi risiko, dan pelibatan masyarakat. Padahal, pencegahan korupsi menjadi strategi andalan ketika pemerintah mulai mengurangi penegakan hukum.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengungkapkan, pada November 2019 hingga Februari 2020, TII memantau 4 subaksi dari 27 subaksi pelaksanaan Srategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) di sembilan daerah. Empat subaksi tersebut meliputi pembentukan unit kerja pengadaan barang dan jasa, pelaksanaan online single submission, implementasi kebijakan satu peta, dan percepatan sistem merit.
Kami menemukan (pencegahan korupsi) secara umum masih dalam kategori kurang memadai khususnya dalam hal akuntabilitas, mitigasi risiko, dan pelibatan masyarakat.
Adapun Stranas PK merupakan strategi pemerintah dalam pencegahan korupsi. Pemerintah membentuk Tim Nasional PK yang terdiri dari KPK, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, serta Kantor Staf Presiden. Timnas PK dibantu oleh Setnas PK yang berkedudukan di Gedung KPK.
”Dari proses pemantauan ini, kami menemukan (pencegahan korupsi) secara umum masih dalam kategori kurang memadai khususnya dalam hal akuntabilitas, mitigasi risiko, dan pelibatan masyarakat,” kata Alvin dalam diskusi daring bertajuk ”Pencegahan Korupsi Kini dan Nanti: Rapor Pelaksanaan Stranas PK”, Rabu (27/5/2020).
Menurut Alvin, penguatan dalam tiga hal tersebut harus dilakukan dengan lebih serius dan komprehensif agar akuntabilitas terjaga. TII melihat prinsip akuntabilitas belum dijalankan secara menyeluruh,terutama dalam hal keterbukaan informasi.
Selain itu, mitigasi risiko juga perlu diperkuat dengan membuka akses kepada publik seluas-luasnya sehingga masyarakat dapat terlibat dalam pemantauan. Alvin mengungkapkan, peran dan tanggung jawab Stranas PK dalam menyiapkan infrastruktur di daerah masih lemah. Ia melihat komitmen setiap unit pelaksana dalam membangun kultur antikorupsi melalui kebijakan, perilaku, dan sanksi masih rendah.
Adapun partisipasi kelompok masyarakat di seluruh unit yang dipantau oleh TII masih sangat lemah. Hal tersebut terlihat dari dokumen rancangan ataupun kemajuan yang sudah dijalankan sulit diakses publik. Selain itu, komunikasi dengan publik juga perlu diperkuat sehingga keterikatan antara unit pelaksana dan masyarakat dapat berkelanjutan.
Dalam kelembagaan, secara umum pembentukan regulasi sudah dilakukan secara progresif. Namun, TII melihat ada intervensi politik di dalamnya. Alvin berharap ada komitmen politik dari pemerintah untuk menjamin independensi dari unit pelaksana. Ia ingin adanya pembenahan dan transparansi keuangan partai politik.
Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko mengatakan, pemantauan ini dilakukan untuk mendorong supaya pencegahan korupsi bisa lebih efektif. ”Ini menjadi penting karena tidak bisa dilepaskan dari konteks makro pemberantasan korupsi di Indonesia terutama dengan revisi Undang-Undang KPK tahun lalu,” kata Danang.
Ia menambahkan, terlepas dari berbagai pro-kontra dan kritik kepada pemerintah, revisi UU KPK tersebut menjadi pergeseran strategi pemberantasan korupsi. Menurut Danang, Presiden ingin mengurangi penegakan hukum, tetapi setelah itu tidak ada fokus dan strategi yang dilakukan. Dengan kebijakan tersebut, seharusnya pencegahan korupsi menjadi strategi andalan.
Koordinator Harian Seknas PK Herda Helmijaya mengatakan, kegiatan pencegahan korupsi sudah dilakukan sejak zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, keluar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Dari peraturan presiden tersebut dibentuk Timnas Pencegahan Korupsi.
Kegiatan pencegahan korupsi yang dilakukan pemerintah masih bersifat sendiri-sendiri dan tidak integratif, serta kurang melibatkan masyarakat sipil.
Herda mengakui, kegiatan pencegahan korupsi yang dilakukan pemerintah masih bersifat sendiri-sendiri dan tidak integratif, serta kurang melibatkan masyarakat sipil. Kelemahan tersebut terjadi karena ada kerancuan antara kegiatan Tim Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK dengan Stranas PK.
”Ada beberapa kegiatan di area yang bersisian atau bahasanya tumpang tindih. Hal tersebut terjadi karena karena banyak orang yang fokus dengan permasalahan di area tersebut, salah satunya pengadaan barang atau jasa,” kata Herda.
Ia menjelaskan, banyak yang fokus pada pengadaan barang/jasa karena anggarannya besar dan selalu menjadi sumber korupsi. Hal itu terlihat dari maraknya korupsi di sektor tersebut. Karena itu, Setnas PK berkolaborasi dengan seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk melakukan pencegahan korupsi di sektor pengadaan barang/jasa.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding mengatakan, KPK mengapresiasi rekomendasi dari TII terhadap pelaksanaan Stranas PK. Bersama seluruh Timnas PK, KPK berkomitmen untuk terus mendorong peningkatan capaian atas seluruh aksi yang telah ditetapkan.
Sampai akhir Maret 2020, capaian aksi dari 53 kementerian/lembaga dan 542 pemerintah daerah telah mencapai 50 persen sampai 55 persen dari target 62,5 persen pada triwulan pertama 2020.