RUU Haluan Ideologi Pancasila Dikhawatirkan Picu Tafsir Tunggal
Substansi RUU Haluan Ideologi Pancasila yang mengatur tataran implementatif Pancasila dikhawatirkan rentan diselewengkan menjadi suatu tafsir tunggal atas Pancasila. Namun, hal ini dibantah sejumlah anggota Baleg DPR.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila yang telah ditetapkan menjadi RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat harus dibahas saksama. Ini karena pelembagaan Pancasila ke dalam bentuk undang-undang dipandang bisa bertentangan dengan konstitusi.
Di sisi lain, substansi RUU yang mengatur tentang tataran implementatif Pancasila juga dikhawatirkan rentan diselewengkan menjadi suatu tafsir tunggal atas Pancasila. Hal ini dikhawatirkan berpotensi dijadikan alat pemukul bagi persepsi yang berbeda atas dasar negara tersebut.
RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) telah disetujui menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna penutupan masa sidang ketiga, 12 Mei 2020. RUU itu sebelumnya diinisiasi Badan Legislasi (Baleg) DPR dan merupakan RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020. Draf dan naskah akademis RUU HIP disiapkan tim Baleg DPR bersama tim Badan Keahlian DPR.
Baca juga : Nilai Gotong Royong Menjadi Modal Kolektif Atasi Pandemi Covid-19
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Khairul Fahmi, yang dihubungi dari Jakarta, Senin (1/6/2020), menilai pelembagaan Pancasila ke dalam suatu bentuk UU berpotensi bertabrakan dengan konstitusi. Sebab, sebagai ideologi atau norma dasar, Pancasila sejatinya telah ditafsirkan dalam konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Apabila Pancasila ditafsirkan lagi dalam bentuk UU—yang mana UU itu bisa jadi bertentangan dengan konstitusi—akan timbul pertentangan tafsir di antara kedua aturan itu.
”Tafsir resmi ideologi itu ada di konstitusi dan jenjang normanya memang seperti itu. Kalau dibuat lagi RUU Pancasila, jika ada tafsir lagi terhadap ideologi, hal ini akan menimbulkan kebingungan karena tafsir itu belum tentu sesuai dengan konstitusi,” katanya.
Melihat potensi tabrakan itu, menurut Fahmi, RUU HIP tidak secara esensial diperlukan keberadaannya. RUU itu, apabila dipaksakan untuk disahkan, akan menimbulkan persaingan dengan konstitusi. Pada kondisi itu akan terjadi pertentangan-pertentangan. Padahal, konstitusi adalah sumber hukum tertinggi setelah Pancasila, sementara UU adalah peraturan biasa atau ordinary law yang kesesuaiannya dengan dasar hukum tertinggi ialah dengan mengujinya terhadap konstitusi.
Tafsir resmi ideologi itu ada di konstitusi dan jenjang normanya memang seperti itu. Kalau dibuat lagi RUU Pancasila, jika ada tafsir lagi terhadap ideologi, hal ini akan menimbulkan kebingungan karena tafsir itu belum tentu sesuai dengan konstitusi.
Di sisi lain, keberadaan RUU tentang Pancasila akan memicu munculnya tafsir tunggal atas Pancasila yang dilegitimasi rezim politik. Norma dalam RUU HIP itu pun rentan diselewengkan menjadi alat pemukul bagi masyarakat atau kelompok lain yang berbeda pandangan.
”Bukankah itu dulu yang dilakukan Orde Baru dengan pengamalan butir-butir Pancasila. Jika RUU ini disahkan, masalah dulu itu akan kembali ke permukaan. Hal ini yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah dan DPR sebelum membahas RUU tersebut,” tutur Fahmi.
Dia berharap DPR dan pemerintah mendengarkan masukan dan pertimbangan dari masyarakat. Terlebih lagi saat ini terjadi wabah atau pandemi Covid-19 yang tidak cukup diatasi dengan sekadar kalkulasi politik.
Namun, terkait adanya kekhawatiran mengenai tafsir tunggal itu, Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengatakan, pembahasan RUU HIP justru akan membuka dialog dan diskusi tentang Pancasila. Tujuan awal Baleg DPR menginisiasi RUU itu bukan untuk menciptakan tafsir tunggal atas Pancasila. Fraksi Partai Nasdem, kata Willy, sejak awal menegaskan keinginan untuk tidak terjebak pada romantisisme masa lalu atau menjadikan Pancasila dalam satu perpektif tunggal semata. Ia menegaskan, RUU HIP bukan juga dimaksudkan sebagai alat rezim untuk memukul kelompok tertentu yang berbeda pandangan.
”RUU HIP dibentuk agar setiap sendi kehidupan kita bernapaskan Pancasila. Pancasila jangan hanya menjadi simbol, tetapi juga menjadi spirit dan way of thinking serta panduan dalam mengambil kebijakan. Pancasila milik kita semua, bukan satu golongan tertentu,” katanya.
Menurut Willy, setelah RUU disetujui menjadi RUU inisiatif DPR, tahapan selanjutnya menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah. Selanjutnya, DPR akan memulai pembahasan berdasarkan DIM yang disusun pemerintah. Terkait target waktu penyelesaian, DPR berpegangan pada tata tertib DPR. Tata tertib DPR mengatur agar setiap pembahasan RUU selesai dalam dua kali masa sidang.
”Masih ada dua masa sidang untuk membahas RUU ini. Semua masukan dari fraksi-fraksi akan kami bahas, termasuk usulan untuk memasukkan TAP MPRS No XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia sebagai bagian dari konsideran RUU tersebut,” katanya, Jumat.
Hal itu berarti RUU HIP kemungkinan dibahas pada masa sidang keempat, yakni setelah masa reses berakhir pada 15 Juni mendatang. Untuk menanyakan DIM kepada pemerintah, menurut Willy, pimpinan DPR dapat menyurati presiden atau pemerintah.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno, mengatakan, pembahasan antarfraksi mengenai RUU HIP terkait pengusulan RUU itu pada dasarnya telah selesai. Fraksi PDI-P bersama fraksi-fraksi lain menyepakati adanya relevansi, urgensi, dan signifikansi RUU itu dibahas menjadi UU. Terkait masukan mengenai TAP MPRS dan usulan lain dari fraksi, hal itu akan didalami melalui pembahasan bersama dengan pemerintah.
”Sekarang bolanya di pemerintah, dan kami menanti DIM dari pemerintah sebelum dimulai pembahasan draf RUU tersebut. Nanti pemerintah yang juga akan menilai apakah ada relevansi, urgensi, dan signifikansi RUU tersebut dari perspektif mereka,” katanya.
Hendrawan juga menilai RUU HIP tidak bertujuan untuk membuat adanya tafsir tunggal atas Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila tetaplah sumber dari segala sumber hukum di Tanah Air. Hanya saja, pada tataran penjabaran dan pengejawantahan dalam tata kelola kenegaraan dan dalam bentuk haluan yang sifatnya praktikal, hal itu belum ada kejelasan. Dengan adanya RUU HIP, tambahnya, diharapkan ada kejelasan bagaimana seharusnya Pancasila menjadi haluan dalam praktik bernegara.
”Pancasila tetap menjadi dasar negara. Namun, selama ini, kan, praktiknya sebagai haluan negara itu kerap tidak ada kejelasan, karena orang sering hanya menerimanya sebagai taken for granted saja, lalu tidak tahu bagaimana caranya itu diterapkan. Ini yang berusaha dibangun melalui RUU HIP,” katanya.
TAP MPRS
Sementara itu, sejumlah fraksi di DPR menginginkan agar TAP MPRS No XXV/1966 dimasukkan dalam draf RUU HIP di bagian konsideran. Usulan itu antara lain disampaikan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Nasdem, dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).
Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, mengatakan, TAP MPRS itu perlu dicantumkan untuk menegaskan larangan terhadap gerakan lain yang telah dua kali berkeinginan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Menurut dia, dalam konsideran RUU itu ada tujuh ketetapan MPR yang dijadikan dasar menimbang, tetapi tidak ada satu pun dari konsideran itu yang berkaitan langsung dengan ideologi.
”Kecuali jika tidak ada TAP MPR lainnya yang dijadikan dasar menimbang, bisa saja TAP MPRS XXV itu tak dicantumkan. Ketika ada TAP MPR lain yang tidak berkaitan dengan ideologi dicantumkan, tetapi justru TAP yang berkaitan dengan ideologi tidak dicantumkan, pasti timbul pertanyaan besar dari publik,” kata Hidayat yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Fraksi PKS juga keberatan dengan Pasal 7 RUU HIP yang menyebutkan ciri pokok Pancasila dengan trisila dan ekasila. Sebab, menurut Hidayat, konsep trisila dan ekasila itu berasal dari pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Artinya, ketika itu konsep tersebut adalah bagian dari ide tentang Pancasila yang belum final. Pancasila yang dikenal dan dianut Indonesia saat ini ialah yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila, ujarnya, merupakan rumusan final pada 18 Agustus 1945, yang juga ditegaskan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
”Kami ingin memastikan Pancasila yang dimaksudkan dalam RUU itu ialah Pancasila yang final, yakni Pancasila 18 Agustus 1945. Pancasila yang disepakati pada 18 Agustus 1945 itu tidak mengenal trisila dan ekasila. Kalau Pasal 7 RUU HIP itu tidak diubah, akan timbul kebingungan, Pancasila mana yang dimaksudkan sebagai ideologi negara itu,” tuturnya.
Wakil Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mengatakan, RUU HIP sejujurnya masih perlu dikaji para intelektual dan akademisi. ”Banyak yang mempersoalkan urgensi RUU HIP. Sebab, selama ini Pancasila adalah sumber hukum tertinggi di Indonesia. Lalu, jika dibuat UU khusus, posisi Pancasila bisa berada di bawah UUD 1945 dan TAP MPR. Atau, posisi Pancasila itu hanya sejajar dengan UU lain. Ini salah satu hal yang perlu dikaji,” ujarnya.
Fraksi PAN juga menginginkan TAP MPRS No XXV/1966 dijadikan sebagai salah satu konsideran. TAP MPRS ini diyakini dapat mengawal agar tidak muncul ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila. Hal lain yang perlu dicegah adalah agar tidak ada kelompok-kelompok di masyarakat yang saling menyalahkan, saling tuduh, dan saling curiga.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP yang juga Wakil Ketua MPR, Arsul Sani, mengatakan, jika isi RUU HIP hanya untuk menegaskan keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pengembangan ideologi Pancasila, hal itu tidak menimbulkan masalah.
Namun, ketika RUU HIP juga memuat hal-hal tentang Pancasila yang sifatnya ada di ruang filosofis dan bersifat umum, katanya, semestinya hal ini lebih tepat jika menjadi materi muatan TAP MPR. Akan tetapi, MPR sekarang tidak berwenang lagi membuat ketetapan sehingga pilihannya ialah menuangkannya ke dalam UU atau bahkan mengangkatnya ke UUD melalui amendemen.
”Dalam konteks hal-hal yang sifatnya historis terkait Pancasila, PPP meminta agar TAP MPRS No XXV/1966 dimasukkan dalam konsideran RUU HIP agar mengingatkan seluruh komponen anak bangsa bahwa komunisme, marxisme, dan ajaran turunannya adalah ajaran yang terlarang secara hukum di negara kita, karena pernah mengkhianati negara ini dengan keinginan mengganti Pancasila,” tutur Arsul.