Pengusaha Minta Alokasi Dana Ibadah Haji Khusus Segera Dialirkan
Biro perjalanan haji swasta minta pemerintah dapat mengalokasikan dana operasional ibadah haji sebelum akhir tahun 2020. Permintaan ini disampaikan untuk menopang pembiayaan keberangkatan haji tahun depan.
Oleh
Aditya Diveranta/Andy Riza Hidayat
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji Khusus (Himpuh) meminta pemerintah mengalirkan alokasi dana untuk operasional persiapan ibadah haji khusus tahun 2021 atau 1442 Hijriah mulai tahun 2020. Tahun ini biro perjalanan haji menanggung operasional persiapan haji 2021/1442 H mulai Desember 2020 karena jadwal keberangkatan haji akan maju pada Juni 2021.
Permintaan alokasi dana itu mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Pada Pasal 10 dalam ketentuan itu disebutkan, pengeluaran biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) harus disetorkan kepada biro perjalanan ibadah haji khusus atau disebut juga sebagai pengelola ibadah haji khusus (PIHK) setelah selesai tahap pelunasan.
Sekretaris Jenderal Himpuh Anton Subekti menyebutkan, biro PIHK menjadi yang paling terdampak akibat pembatalan keberangkatan haji tahun ini. Sebelumnya, biro PIHK yang juga sebagai penyelenggara umrah sudah ”babak belur” akibat banyak pembatalan perjalanan selama situasi pandemi.
Ditambah lagi pada Selasa (2/6/2020), Kementerian Agama resmi membatalkan seluruh perjalanan haji untuk 1441 Hijriah atau tahun 2020 Masehi demi mengantisipasi dampak pandemi Covid-19. Calon jemaah haji yang sudah melakukan pelunasan di tahun ini ditunda keberangkatannya ke musim haji tahun 2021/1442 H dengan sejumlah penyesuaian.
”Bulan lalu, ada lebih kurang 1.500 pegawai dari sekitar 300 biro perjalanan haji dan umrah yang terpaksa dirumahkan. Tahun ini, biro perjalanan haji khusus sama sekali tidak memiliki biaya operasional untuk persiapan haji tahun depan. Sementara, kami harus menyiapkan operasional ibadah haji khusus tahun depan setidaknya pada November mendatang karena saat itu sudah masuk tahun 1442 Hijriah,” ujar Anton kepada Kompas, Selasa sore.
Maka dari itu, Anton meminta agar alokasi dana dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) segera turun untuk biro perjalanan haji khusus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang ada. Menurut dia, kondisi biro perjalanan haji swasta saat ini tidak memiliki modal untuk melunasi pemesanan hotel, penerbangan, bahkan dana pengembalian untuk jemaah yang membatalkan rencana haji.
Anton memahami situasi saat ini cukup sulit. Di satu sisi, dia menerima keputusan pemerintah demi kesehatan jemaah. Namun, di sisi lain, dia berharap pemerintah dapat membantu biro perjalanan haji swasta di tengah pandemi Covid-19.
Meski begitu, Anton menilai keputusan pembatalan keberangkatan haji dari pemerintah sudah tepat. Biro perjalanan haji saat ini berupaya mengantisipasi dampak yang terjadi akibat pembatalan keberangkatan haji.
Andi Aminudin, Direktur Utama PT An-Naba International Tours and Travel, perusahaan pemberangkatan jemaah haji, menerima keputusan pemerintah. Keputusan ini memang sulit karena perusahaannya harus menanggung konsekuensi membayar biaya operasional meski pembatalan dilakukan. ”Calon jemaah juga khawatir tertular Covid-19. Jika pun tetap dibuka sekarang, belum tentu semua calon jemaah mau berangkat,” kata Andi, Selasa (2/6/2020).
Jika pun pemerintah akan membuka, dia membayangkan penyelenggaraan ibadah haji di tengah pandemi bakal rumit. Saat jemaah berada di Mina, misalnya, sulit bagi mereka untuk menerapkan protokol kesehatan. Kondisi berada dalam jarak dekat dengan jemaah lain sering kali tidak terelakkan.
Begitupun terkait pemondokan saat pemberangkatan haji. Menurut Andi, penerapan protokol kesehatan tidak memungkinkan calon jemaah berada dalam satu pemondokan dalam jumlah yang selama ini terjadi. Karena itu, perlu biaya lebih besar untuk menyediakan biaya pemondokan. ”Saya kira pembatalan ini keputusan yang paling baik,” katanya.
Di sisi lain, ada beban usaha yang harus ditanggung pengusaha pemberangkatan jemaah haji di Tanah Air. Jika memungkinkan, dia meminta agar pemerintah meringankan pajak usaha pemberangkatan haji.
Selama tidak ada pemberangkatan, biro perjalanan haji tetap menanggung biaya operasional usaha yang nilainya bervariasi, tergantung skala usahanya. ”Bisa ratusan juta hingga miliaran rupiah, tergantung berapa jumlah karyawan,” kata Andi.
Pemahaman warga
Sejumlah warga berusaha memahami situasi pembatalan haji saat ini. Muhammad Zulman (55), peserta haji kategori reguler asal Sumatera Barat, maklum dengan penundaan haji menjadi tahun depan. Sebab, percuma apabila berangkat haji tetapi tertular wabah penyakit.
”Saya paham betul risiko saat ini. Tidak mungkin rasanya menghindari kontak fisik di tengah kerumunan peserta haji. Walau saya menjaga kesehatan dengan ikut protokol yang ada, belum tentu orang lain patuh terhadap hal tersebut,” ujar pengajar di perguruan tinggi ini.
Rita Sukarti (65), warga Jakarta Selatan, juga bersyukur karena menunda pendaftaran ibadah haji khusus sejak tahun lalu. Ia khawatir, apabila kegiatan haji dipaksakan, justru mengurangi keafdalan ibadah karena tertular penyakit.
Sikap serupa diutarakan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) A Helmy Faishal Zaini. Menurut Helmy, keputusan pemerintah saat ini masuk akal. Menurut dia, menjaga keselamatan jiwa merupakan hal penting dalam menjalankan syariat agama. Dia mengingatkan, Islam mengenal apa yang disebut sebagai maqashidus syariah (prinsip-prinsip pensyariatan).
Prinsip-prinsip tersebut terdiri dari lima hal, yaitu menjaga jiwa (hifdzun nafs), menjaga agama dan akal (hifdzud din wal aql), menjaga keluarga (hifdzun nasl), menjaga harta (hifdzul mal), serta menjaga kehormatan (hifdzul irdh). Lima prinsip ini menjadi tulang punggung dan pilar kokoh yang harus ditegakkan dalam sebuah proses pensyariatan.
”Jika ada ajaran yang pada tataran pelaksanaannya melanggar salah satu dari lima prinsip itu, bisa dipastikan ia tidak sesuai dengan spirit syariat dan agama,” kata Helmy. Ia mendukung pendapat ulama yang mengatakan bahwa menjaga jiwa adalam prinsip utama dalam beribadah. Menjalankan ajaran agama tidak ada artinya jika keselamatan jiwa terancam.
Sementara dalam kaidah fikih, kata Helmy, Islam mengenal adagium dar’ul mafasid aula min jalbil mashalih. Artinya, mencegah datangnya kerusakan jauh lebih diutamakan dibandingkan dengan upaya untuk mendatangkan kemaslahatan. Dengan demikian, sikap preventif menjadi titik tekan dalam konsep beragama. Dalam bahasa yang lebih populer, mencegah lebih baik daripada mengobati.