Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menyatakan, keputusan pemerintah memblokir dan membatasi akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019 melanggar hukum.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —- Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Rabu (3/6/2020), yang menyatakan pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019 melanggar hukum merupakan preseden baik bahwa hak warga negara atas akses internet harus dijamin. Menjamin hak atas akses internet berarti pula menjamin hak atas informasi dan kebebasan berekspresi.
Putusan tersebut juga menjadi proses korektif atas penyelenggaraan pemerintahan yang tidak berdasar hukum, dan juga melanggar hukum. Akses atas informasi merupakan hak fundamental warga negara yang diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
“Apresiasi atas keberanian majelis hakim yang menyatakan bahwa Presiden (tergugat I) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (tergugat II) melakukan perbuatan melawan hukum. Ini menjadi penanda harapan bagi upaya maju dalam demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia,” kata dosen Hukum Tata Negara dan HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya Herlambang P Wiratraman ketika dihubungi Kompas di Jakarta, Rabu (3/6/2020).
Ini menjadi penanda harapan bagi upaya maju dalam demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia (Herlambang P Wiratraman)
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim PTUN Jakarta yang diketuai Nelvy Christin dengan anggota Baiq Yuliani dan Indah Mayasari menyatakan, keputusan Presiden dan Kominfo memutus dan membatasi akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019 melanggar perundang-undangan. Undang-undang yang dilanggar antara lain, Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menjadi dasar hukum Kominfo memutus dan membatasi akses internet di Papua dan Papua Barat.
Majelis hakim menyatakan, kewenangan yang diberikan dalam pasal tersebut hanya pada pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik melakukan pemutusan akses terhadap terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang ‘bermuatan melawan hukum’.
"Pemaknaan pembatasan hak atas internet yang dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE hanya terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses jaringan internet," kata majelis hakim dalam putusannya.
Majelis hakim menyatakan, alasan diskresi yang digunakan Kominfo memutus dan membatasi akses internet tidak memenuhi syarat UU Administrasi Pemerintah Nomor 30 Tahun 2014. Alasan penggunaan diskresi karena kekosongan hukum tidak tepat karena kebijakan yang sifatnya membatasi HAM seperti dalam pembatasan pemblokiran internet ini hanya dibolehkan dengan undang-undang. Hakim juga menilai pemutusan akses internet tidak sesuai dengan pengaturan pembatasan HAM yang diatur dalam konstitusi dan sejumlah konvensi hak asasi manusia lainnya.
Gugatan atas pemutusan dan pembatasan akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019 tersebut diajukan oleh Tim Pembela Kebebasan Pers. Tim Pembela Kebebasan Pers terdiri dari Aiansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, SAFEnet, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, KontraS, Elsam, dan Institute For Criminal Justice Reform (ICJR).
Preseden
Abdul Manan, Ketua Umum AJI Indonesia, menyatakan, gugatan tersebut diajukan agar tidak menjadi preseden di masa depan. Pemerintah pertama kali membatasi akses internet pada 22 Mei 2019 ketika ada unjuk rasa menolak hasil rekapitulasi Pemilu Presiden 2019. Langkah serupa dilakukan lagi di Papua dan Papua Barat. Alasannya sama, untuk mencegah beredarnya informasi palsu atau hoaks dan untuk menjaga ketertiban umum.
Pemutusan dan pembatasan akses internet itu dilakukan Kominfo setelah terjadi kerusuhan di Papua, pada Agustus – September 2019. Peristiwa itu dipicu oleh adanya tindakan rasis dan kekerasan terhadap mahasiswa Papua antara lain di Malang, 15 Agustus 2019, dan di Surabaya pada 16 Agustus 2019.
“Begitu pemblokiran dilakukan, informasi palsu mungkin saja bisa tersaring, tetapi kesempatan publik untuk mendapatkan informasi yang benar juga hilang,” kata dia. Jika tujuan pemerintah adalah untuk menangkal hoaks, kata Manan, seharusnya fokus pemerintah adalah menangani pembuat dan penyebar hoaks tersebut, bukan dengan mematikan dan membatasi akses internet secara luas.
Tim Kuasa Hukum Penggugat Muhammad Isnur mengapresiasi putusan hakim PTUN ini karena banyak menjadikan pertimbangan HAM dalam pertimbangannya. Putusan ini juga membuka kemungkinan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan pemutusan dan pembatasna akses internet tersebut untuk menggugat dan meminta ganti rugi. "Tentu setelah berkekuatan hukum tetap," kata dia.
Secara terpisah, Ketua LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan, putusan ini menjadi pijakan untuk mengajukan judicial review (peninjauan kembali) Pasal 40 ayat (2) UU ITE yang mengatur soal pemblokiran. “Sekarang ini yang berhak menilai konten (melanggar ketentuan) itu pemerintah,” kata Ade.