Pertimbangan Majelis PTUN Jakarta Beri Perlindungan Hak Atas Informasi
Majelis hakim PTUN Jakarta dalam pertimbangannya menyatakan mencegah penyebarluasan konten melanggar hukum tidak dilakukan dengan memutus akses jaringan internet secara luas. Menjadi preseden perlindungan akses informasi
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam putusan penutupan akses internet di Papua dan Papua Barat dinilai memberikan perlindungan agar tindakan serupa tidak terjadi di masa depan. Masyarakat sipil mengapresiasi pertimbangan majelis hakim yang dinilai tegas dan detail tersebut.
Dalam dokumen salinan putusan Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT yang diunggah di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta disebutkan, peran pemerintah dalam mencegah penyebarluasan konten ilegal adalah dengan memutus akses pada informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum. Konten terlarang tersebut dapat diblokir agar tidak dapat diakses di wilayah hukum Indonesia.
Pembatasan bukan dilakukan dengan memutus akses jaringan internet secara luas. Hal itu tertuang dalam penjelasan umum alinea ke-9 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam penjelasan alinea ke-9 UU 19/2016 itu juga disebutkan bahwa kewenangan pemerintah dalam pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan adalah hanya terhadap informasi dan dokumen elektronik. Pemutusan akses tidak mencakup akses terhadap jaringan internet.
Selain itu, dalam Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945, Pasal 73 Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM), dan Pasal 19 Ayat (3) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik juga disebutkan bahwa hak atas internet sebagai sarana untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi dapat dibatasi melalui UU. Dalam pasal 40 Ayat (2), Ayat (2a), dan Ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE disebutkan bahwa pembatasan hak internet dilakukan dengan memutus akses terhadap informasi atau dokumen elektronik.
Lebih lanjut, pertimbangan majelis hakim juga menyebutkan bahwa untuk mengatasi penyebaran berita bohong (hoaks), hasutan, ujaran kebencian, atau permusuhan berdasaran SARA yang berpotensi memecah belah persatuan dan mengancam keamanan, pemerintah dapat melakukan sejumlah tindakan. Di antaranya, dari aspek hukum pidana melakukan proses hukum terhadap pihak yang menyebarluaskan informasi hasutan sesuai Pasal 28 Ayat (2) dan Pasal 45B Ayat (2) UU ITE.
Sementara itu, pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi diancam pidana Pasal 29 dan Pasal 45B UU ITE, dan penyebarluasan hoaks dapat dipidana dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dari aspek administratif, UU ITE juga memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pembatasan konten internet yang melanggar hukum.
Pertimbangan yang dibuat oleh majelis hakim yang terdiri dari hakim ketua Nelvy Christin, dan hakim anggota Baiq Yuliani, dan Indah Mayasari itu diapresiasi oleh kelompok masyarakat sipil.
Kuasa hukum penggugat, Muhammad Isnur dihubungi di Jakarta, Kamis (4/6/2020) mengapresiasi majelis hakim yang dinilai tegas dan serius dalam mempertimbangkan hak-hak asasi manusia dalam putusannya. Hakim dinilai mengelaborasi keterangan saksi ahli dan dasar hukum perlindungan hak asasi manusia dengan baik.
“Ini merupakan sinyal baik untuk Papua, dan Papua Barat maupun wilayah lain di Indonesia. Ke depan, jangan sampai ada lagi hak yang terampas karena kebijakan bumi hangus. Pertimbangan itu sebenarnya adalah masukan yang baik bagi pemerintah untuk melakukan good governance,” terang Isnur.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan bahwa, pemutusan akses internet baik pada kerusuhan 22-23 Mei 2019 di Jakarta maupun 19 Agustus-4 September 2019 telah merugikan banyak pihak. Tindakan itu merugikan banyak pihak terutama jurnalis yang melakukan kerja jurnalistik di lapangan. Pemblokiran akses internet membuat koordinasi liputan sulit dilakukan. Bahkan, sebuah surat kabar di Papua terpaksa tidak terbit dua hari karena pasokan berita tersendat. Selain itu, banyak transaksi bisnis daring juga batal karena pemutusan akses internet.
Tindakan pemblokiran memiliki kerugian yang besar daripada manfaat yang diberikan. Istilahnya adalah mencari tikus di lumbung padi, tetapi yang dibakar adalah lumbungnya
“Tindakan pemblokiran memiliki kerugian yang besar daripada manfaat yang diberikan. Istilahnya adalah mencari tikus di lumbung padi, tetapi yang dibakar adalah lumbungnya,” kata Abdul.
Karena tindakan ini berpotensi berulang, aliansi masyarakat sipil menantang kebijakan pemerintah tersebut ke pengadilan. Putusan pengadilan itu diharapkan dapat memberikan perlindungan agar tindakan serupa tidak terulang di kemudian hari.
Ikaningtyas dari SAFEnet juga mengatakan, bahwa pemutusan internet berdampak pada ekonomi warga, kerja jurnalistik dan pemeriksa fakta. Selain itu, masyarakat kesulitan memverifikasi kabar bohong yang beredar. SAFEnet menentang keras kebijakan pemblokiran akses internet dengan membuat petisi online. Karena petisi itu tidak ditanggapi serius, akhirnya SAFEnet memutuskan menempuh jalur hukum bersama AJI.
Kerusakan infrastruktur
Terkait dengan putusan tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G Plate bersikukuh bahwa tidak ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk memutus akses internet di Papua dan Papua Barat. Dia sudah mencari dokumen tertulis mengenai kebijakan itu tetapi tidak menemukan.
Menurut Johny G Plate, yang terjadi di Papua adalah kerusakan infrastruktur yang mengganggu koneksi internet. Karena saat itu terjadi konflik dan kerusuhan, petugas teknis dari operator seluler juga tidak bisa masuk memperbaiki jaringan tersebut.
Sementara itu, dalam pemberitaan Kompas.id pada 26 Agustus 2019, Menteri Kominfo saat itu, yakni Rudiantara megakui pemblokiran akses layanan data adalah kebijakan Kominfo. Karena itu, dia juga meminta maaf jika pemblokiran akses layanan data itu berdampak bagi warga Papua. Pemerintah memblokir akses internet dengan mengacu pada Pasal 40 Ayat 2 (a) dan Ayat 2(b) UU ITE. Pemblokiran itu dilakukan setelah berkoordinasi dengan penegak hukum.
“Kalau dia mengakui (kebijakan) itu dasarnya apa? Untuk menenangkan masyarakat atau dasar hukum? Kalau dasar hukum mana dokumennya,” kata Johny.
Johny juga mengatakan bahwa dirinya akan berkonsultasi dengan kuasa hukum negara terkait langkah hukum yang akan ditempuh terhadap putusan PTUN Jakarta itu. Pemerintah yaitu presiden dan Kemenkominfo memiliki waktu 14 hari setelah putusan dibacakan untuk mengajukan upaya hukum sebelum putusan berkekuatan hukum tetap.