Penurunan Ambang Batas Pencalonan Presiden Diyakini Bisa Cegah Polarisasi di Masyarakat
Penurunan ambang batas pencalonan presiden dinilai sejumlah fraksi di DPR RI bisa membantu menurunkan potensi polarisasi di masyarakat. Sebab, syarat pencalonan yang rendah bisa memunculkan lebih banyak capres-cawapres.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian fraksi di DPR berharap agar ambang batas pencalonan presiden diturunkan atau bahkan dihapuskan agar ruang kompetisi calon presiden-wakil presiden terbuka lebar. Pemberlakuan kembali besaran ambang batas pencalonan presiden seperti pada Pemilihan Presiden 2019 dinilai berpotensi memunculkan polarisasi dukungan yang tajam di tengah masyarakat.
Pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, persyaratan pencalonan presiden-wakil presiden diusulkan partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi syarat perolehan kursi minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Ini seperti berlaku pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pada Pilpres 2019, hanya ada dua pasangan calon presiden yang berkompetisi, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Besaran ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang sama tertuang dalam draf Rancangan UU (RUU) Pemilu yang disusun oleh tenaga ahli Komisi II DPR dan Badan Keahlian DPR. Draf RUU Pemilu tersebut dijadikan bahan pembahasan bagi Komisi II dan fraksi-fraksi di DPR dalam merumuskan payung hukum untuk pemilu selanjutnya.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini saat dihubungi di Jakarta, Kamis (11/6/2020), mengusulkan agar ambang batas pencalonan presiden diturunkan atau sama dengan ambang batas parlemen saat ini. Ambang batas parlemen yang berlaku berdasarkan UU Pemilu adalah 4 persen.
”Jadi, setiap partai yang lolos ke parlemen dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Jazuli.
Dengan penurunan ambang batas pencalonan presiden, lanjut Jazuli, pilihan calon akan lebih banyak. Dengan begitu, gagasan yang muncul akan semakin beragam. Tak hanya itu, menurut Jazuli, potensi keterbelahan dan perpecahan di masyarakat juga bisa dicegah dengan hadirnya banyak calon.
”Melalui desain ini, kami berharap minimal ada tiga pasangan calon dan tak terjadi polarisasi karena hanya ada dua pasang calon seperti Pilpres 2019,” ujarnya.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga mendorong agar ambang batas pencalonan presiden turun menjadi 10 persen. Sekretaris Fraksi PKB Fathan Subchi mengatakan, penurunan tersebut membuka peluang munculnya lebih dari dua pasangan calon.
Sependapat dengan PKS, Fathan pun menyampaikan, penurunan ambang batas pencalonan presiden bertujuan untuk menghindari tajamnya polarisasi dukungan yang berpotensi memecah belah masyarakat.
Presidential threshold 20 persen terlalu berisiko terhadap soliditas bangsa. Pengalaman di 2014 dan 2019 menunjukkan betapa masyarakat begitu terbelah. Bahkan hingga saat ini, kalau kita lihat, perpecahan itu masih terasa di media sosial.
Berkaca pada pengalaman Pilpres 2014 dan Pilpres 2019, kata Fathan, tingginya ambang batas pencalonan presiden hanya berdampak pada minimnya keikutsertaan pasangan calon. Akibatnya, dalam dua kali perhelatan pilpres tersebut, hanya ada dua pasangan calon sehingga memunculkan polarisasi dukungan yang begitu tajam di tengah masyarakat.
”Presidential threshold 20 persen terlalu berisiko terhadap soliditas bangsa. Pengalaman di 2014 dan 2019 menunjukkan betapa masyarakat begitu terbelah. Bahkan hingga saat ini, kalau kita lihat, perpecahan itu masih terasa di media sosial,” tutur Fathan.
Kemunduran demokrasi
Anggota DPR RI Komisi II dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, juga mengkritik penerapan sistem ambang batas pencalonan presiden yang terkesan membatasi ruang kontestasi di pilpres. Masyarakat, kata Guspardi, mempunyai hak untuk memilih calon yang terbaik tanpa perlu direkayasa oleh parpol.
”Penetapan presidential threshold ini tidak sesuai dengan semangat reformasi dan mencerminkan kemunduran demokrasi di Indonesia,” ujar Guspardi.
Kontestasi Pilpres 2019, menurut Guspardi, seharusnya jadi pelajaran berharga bahwa penetapan ambang batas pencalonan presiden menyebabkan mimimnya pasangan calon, yang memungkinkan terjadinya pembelahan masyarakat. Akibatnya terjadi berbagai kasus, seperti persekusi, fitnah, dan hoaks.
”Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal dan vertikal yang berujung pada tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat,” kata Guspardi.
Pembahasan panjang
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyampaikan, pembahasan draf RUU Pemilu masih panjang. Fraksi masih dimintai pendapat terhadap isi draf tersebut.
Draf berisi pandangan fraksi itu akan dikirim ke badan legislasi untuk diharmonisasi. Setelah itu, draf akan dikirim ke pimpinan DPR dan dibawa ke rapat paripurna untuk menjadi draf RUU Pemilu yang resmi.
”Masuk masa sidang tanggal 16 Juni, di rapat internal, kami akan mulai bahas lagi. Jadi, prosesnya masih panjang dan masih sangat terbuka,” ujar Doli.