Pemerintah Evaluasi Data Penerima Bansos
Pemerintah akan mengevaluasi data penerima bantuan sosial atau bansos dengan memperbaiki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial atau DTKS. Hal ini dilakukan karena data tersebut belum sepenuhnya akurat.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengakui penyaluran bantuan sosial, baik reguler maupun nonreguler bagi masyarakat terdampak Covid-19, belum sepenuhnya tetap sasaran. Karena itu, pemerintah akan mengevaluasi data penerima bansos dengan memperbaiki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial.
Dalam jumpa wartawan secara virtual, Rabu (17/6/2020), Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengungkapkan, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang digunakan sebagai dasar penetapan keluarga penerima bansos sudah tidak akurat.
Masih banyak rumah tangga miskin yang belum masuk DTKS dan banyak pula keluarga mampu karena kenaikan perubahan status sosial yang masih terdaftar dalam DTKS.
Tak hanya itu, masih banyak nama dalam DTKS yang tidak sinkron dengan nomor induk kependudukan. Muhadjir menyebut, setidaknya terdapat 20 juta nama dengan NIK yang tidak sesuai.
Baca juga : Mereka yang Luput dari Bantuan Sosial
Kondisi itulah yang membuat penyaluran bansos, baik bansos reguler seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) maupun bansos non-reguler seperti bantuan paket bahan pokok serta bantuan langsung tunai bagi masyarakat terdampak Covid-19, tidak tepat sasaran. Karena itu, data penerima bansos reguler maupun non-reguler akan segera dievaluasi.
”Evaluasi sampai Juni 2020, progress penyaluran (bansos) reguler dan nonreguler masih akan terus diperbaiki. Perbaikan terutama untuk ketepatan sasaran dalam tiap tahap penyaluran,” kata Muhadjir.
Evaluasi salah satunya dilakukan dengan memperbaiki DTKS. Salah satu sasaran evaluasi adalah 20 juta nama NIK-nya tidak sesuai. Pemerintah juga akan kembali memilah data warga miskin yang belum masuk DTKS serta warga yang tergolong mampu, tapi masih terdaftar dalam DTKS.
”Kami harapkan pandemi jadi momentum perbaikan DTKS, di mana masih banyak NIK yang belum sinkron, akan dirapikan. Data yang berstatus inclusion error dan exclusion error, yaitu orang miskin yang tak masuk, juga yang tidak miskin akan dikeluarkan dari DTKS,” papar Muhadjir.
Kami harapkan pandemi jadi momentum perbaikan DTKS, di mana masih banyak NIK yang belum sinkron, akan dirapikan.
Tanggung jawab perbaikan DTKS diserahkan kepada Kementerian Dalam Negeri.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menambahkan, Kemendagri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil mendukung upaya menyempurnakan DTKS.
Sejauh ini, data 99 persen warga Indonesia sudah terekam di Ditjen Dukcapil kecuali untuk beberapa daerah di Papua. Basis data ini selain dimanfaatkan untuk verifikasi DTKS, juga untuk penanganan pasien Covid-19 oleh Kementerian Kesehatan, Kartu Prakerja oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan beberapa daerah untuk penyaluran bansos.
Validasi cepat
Kemendagri juga meminta kepala-kepala daerah memvalidasi data, dari desa/kelurahan sampai ke tingkat kabupaten/kota dan provinsi, serta kemudian disinkronkan dengan data di pusat. Proses ini semestinya dilakukan dengan cepat, tetapi tak semua kepala daerah menunaikan hal ini dengan cepat.
”Untuk bisa cepat dan tepat sasaran, di bawah juga harus berikan feeding data, validasi data, yang cepat dan tepat penerima manfaatnya. Ini problem karena menyangkut 548 pemda, kota/kabupaten dan provinsi,” tutur Tito.
Baca juga : Mereka yang Luput dari Bantuan Sosial
Validasi ini penting karena selain bansos yang disiapkan pemerintah pusat dalam beberapa skema seperti PKH, program kartu sembako, dan BLT; pemerintah daerah juga memiliki alokasi bansos melalui realokasi APBD masing-masing.
Dari realokasi dan penghematan APBD setiap daerah, setidaknya terakumulasi anggaran Rp 72,63 triliun. Jumlah ini digunakan untuk belanja kesehatan Rp 28,71 triliun, jaring pengaman sosial Rp 27,84 triliun, dan pemulihan dampak ekonomi Rp 16,08 triliun. Selain itu, masih ada dana yang dicadangkan sebagai belanja tak terduga senilai Rp 23 triliun.
Namun, Tito menegaskan, peran kepala daerah sangat penting. Sebab, kepala daerah memiliki kewenangan diskresi untuk menyinkronkan dan memvalidasi data secara cepat. Dicontohkan, Bupati Banyuwangi, Jawa Timur, Azwar Anas membuat data penerima manfaat secara cepat dan transparan kepada warganya. Dengan demikian, warga bisa memprotes jika bansos yang tidak tepat sasaran. Perbaikan juga mudah dilakukan.
”Karena itu, saya mengimbau teman-teman kepala daerah supaya mampu berkreasi, berinovasi dengan kompleksnya permasalahan yang dihadapi. Prinsip transparansi dan kecepatan harus benar-benar dilakukan,” katanya.
BLT Desa
Juni ini, Kementerian Sosial mencatat, penyaluran bansos reguler berupa PKH dan BPNT mencapai 95,4 persen. Menteri Sosial Juliari P Batubara menyebut, setidaknya 9,543 juta keluarga penerima manfaat PKH sudah menerima bantuan dengan total dana Rp 2,42 triliun. Sementara BPNT sudah disalurkan kepada 16,331 juta keluarga dari target 20 juta keluarga. Mensos menargetkan, penyaluran bansos reguler rampung pada akhir Juni atau paling lambat awal Juli nanti.
Selain bansos yang ditangani Kementerian Sosial, bantuan langsung tunai juga disalurkan melalui dana desa. Menurut Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar, sampai 16 Juni, BLT desa sudah tersalur ke 65.736 desa atau 90 persen dari keseluruhan desa yang ada. Ada 11 kabupaten yang belum menyalurkan BLT dana desa sama sekali dan ini umumnya berada di Papua.
”Kemungkinan belum salur atau sudah salur, tapi belum bisa laporan karena kondisi geografis,” kata Halim.
Selain itu, baru 291 kabupaten yang sudah menyelesaikan 100 persen penyaluran BLT dana desanya. Sementara kabupaten-kabupaten lain menyalurkan BLT dana desa dalam persentase bervariasi.
Kendati dana umumnya sudah tersalur, Halim mengakui ada desa yang belum menerima BLT dana desa. Hal ini antara lain karena desa belum mengirimkan Anggaran Pendapatan dan Belanda Desa (APBDesa) sehingga Kementerian Keuangan tidak bisa menyalurkan dana desa.
Selain itu, juga karena kepala desa masih pejabat sementara, ada konflik kepala desa dan badan pertimbangan desa, temuan laporan pertanggungjawaban yang kurang di tahun 2019, dan lainnya.
Di sisi lain, ada juga desa yang tidak menyalurkan BLT dana desa kepada warga yang membutuhkan sesuai kesepakatan di desa. Kendati demikian, warga miskin di desa tersebut dibantu warga lainnya.
Target BLT dana desa awalnya 12,347 juta keluarga penerima manfaat. Namun, lanjut Halim, kebanyakan BLT dana desa lebih banyak digunakan untuk warga yang tidak mendapatkan bansos, baik dalam skema PKH, program kartu sembako, maupun lainnya. Saat ini, BLT dana desa baru mencapai 58 persen target dan diperkirakan secara keseluruhan akan mencapai 64 persen saja dari target.
Kemendagri melalui Direktorat Jenderal Bina Pemerintah Desa juga membantu penyaluran dana desa. Ditjen ini bertugas membina perangkat desa. Karena itu, kata Tito, tim terpadu antara Kemendes dan Kemendagri bersama-sama mendorong pemerintah desa dalam melaksanakan BLT dana desa ini. Tim ini, misalnya, menangani pencairan dana desa yang terlambat di 160 kabupaten.
Pendataan lemah
Saat dihubungi terpisah, Direktur Program Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM Muhadjir Darwin di Yogyakarta menyatakan, data penduduk miskin di Indonesia masih lemah. Data di pemerintah kabupaten dan kota saja lemah, apalagi di tingkat nasional.
Untuk mendapatkan data dengan presisi tinggi, menurut Darwin, harus melalui sensus. Tetapi sensus memerlukan biaya besar. Sementara yang ada selama ini adalah berdasarkan survei yang biayanya jauh lebih murah, tetapi presisinya juga lemah. Survei diakukan dengan cara sampling untuk kemudian hasilnya digunakan untuk membuat analisis data penduduk miskin.
Data sebaiknya dimutakhirkan secara berkala. Semakin sering, semakin akurat. Tapi biayanya menjadi lebih besar. Semakin jarang, semakin lemah akurasinya, tapi lebih hemat biaya.
Oleh sebab itu, Darwin berpendapat, jalan tengahnya adalah melalui pendataan bottom up, dari desa dan kelurahan. Hasilnya kemudian diagregasi berjenjang sampai ke tingkat kabupaten dan kota, provinsi, hingga nasional.
”Data sebaiknya dimutakhirkan secara berkala. Semakin sering, semakin akurat. Tapi biayanya menjadi lebih besar. Semakin jarang, semakin lemah akurasinya tapi lebih hemat biaya,” kata Darwin.