Tidak Hanya Beri Peringatan, Jaksa Agung Diminta Tindak Tegas Jaksa Nakal
Jaksa Agung mengingatkan masih adanya jaksa nakal yang disebutnya sebagai benalu dan pengkhianat. Komisi Kejaksaan berharap peringatan itu juga diikuti dengan sanksi yang tegas.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebutan jaksa nakal sebagai benalu dan pengkhianat dilakukan agar peringatan dan pesan Jaksa Agung diingat jajaran kejaksaan. Namun, selain memberi peringatan keras, Jaksa Agung juga diminta untuk melakukan tindakan tegas dan transparan bagi jaksa nakal.
Sebelumnya, dalam kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan adanya oknum kejaksaan yang merusak citra kejaksaan. Mereka adalah oknum jaksa yang nakal, antara lain mengintervensi proyek pemerintah, minta minta proyek, serta mengintervensi proses pengadaan barang dan jasa. Burhanuddin menyebutnya sebagai benalu dan pengkhianat.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, Kamis (31/3/2022), mengatakan, arahan Jaksa Agung tersebut perlu dipahami sebagaimana arahan orangtua bagi anak. Dalam memberikan arahan atau peringatan, penyampaiannya dapat dilakukan dengan keras atau lembut.
”Tugas pimpinan itu mengarahkan dan itu dilakukan kapan pun dan dimana pun. Kadang-kadang pimpinan sengaja menyampaikan yang seperti itu biar lebih waspada dan tidak main-main,” kata Ketut.
Menurut Ketut, arahan Jaksa Agung tersebut tidak menunjuk secara khusus kepada sosok tertentu, tetapi ditujukan kepada siapa pun yang melakukan perbuatan menyimpang. Hal itu lebih sebagai peringatan bagi jajaran kejaksaan yang ada di lapangan agar tidak menyalahgunakan kewenangannya, bertindak tidak profesional atau bermain proyek.
Meskipun demikian, lanjut Ketut, Jaksa Agung memiliki informasi mengenai saluran khusus, baik yang dikelola sendiri maupun oleh Satgas 53 yang dapat menerima berbagai laporan atau informasi mengenai jajaran kejaksaan di seluruh daerah. Dengan demikian, jika ada jajaran kejaksaan yang mencoba menyalahgunakan wewenangnya akan segera diketahui.
”Kalau ada semacam itu pasti ditindak oleh Pak Jaksa Agung, termasuk beliau tidak segan untuk membawa ke pidana. Kalau masih bisa diperbaiki, ya, dihukum sesuai pelanggarannya,” terang Ketut.
Sebelumnya, Burhanuddin mengatakan, pada 31 Januari 2022, pihaknya telah memberikan perintah dan arahan bagi jajaran kejaksaan untuk menghilangkan praktik tercela ataupun penyalahgunaan wewenang dan kedudukan dengan ancaman sanksi. Namun, pada Februari, Burhanuddin mengaku masih mendapat laporan tentang adanya pegawai kejaksaan yang mengintervensi proyek pemerintah.
Kemudian, Burhanuddin mengingatkan kembali jajaran kejaksaan dengan mengeluarkan Surat Jaksa Agung Nomor 41 tanggal 15 Februari 2022. Namun, tidak sampai 1 bulan, Burhanuddin masih juga menerima laporan serupa dari berbagai daerah, yakni mengenai jaksa yang minta proyek atau mengintervensi proses pengadaan barang dan jasa. Terhadap laporan itu, Burhanuddin kembali mengeluarkan Surat Jaksa Agung Nomor 66 pada 9 Maret 2022.
Tindakan nyata
Anggota Komisi Kejaksaan, Bhatara Ibnu Reza, berpandangan, pernyataan yang dikeluarkan Jaksa Agung mengenai jaksa nakal yang disebut benalu dan pengkhianat tersebut dinilai cukup keras. Pernyataan itu terkait erat dengan perilaku jaksa yang masuk, baik melalui bidang pengawasan Kejaksaan Agung maupun melalui Komisi Kejaksaan.
Namun, menurut Bhatara, perbaikan institusi kejaksaan tidak bisa hanya dengan memberikan peringatan. Sebab, adanya jaksa nakal tidak hanya terkait dengan pengawasan internal kejaksaan, tetapi juga terkait erat dengan mekanisme pembinaan jaksa.
”Menurut saya, (peringatan keras) ini sudah kesekian kali. Jaksa Agung pasti sudah tahu. Tapi yang dibutuhkan adalah tindakan selanjutnya apa, kemudian akar pengawasan internalnya apa, dan pembinaannya seperti apa,” kata Bhatara.
Bhatara menuturkan, laporan pengaduan terhadap adanya jaksa nakal juga diterima Komjak dan hal itu ditindaklanjuti secara serius. Namun, selain soal pengawasan, terdapat persoalan dalam pembinaan jaksa yang perlu diperbaiki, misalnya terkait mutasi, promosi, atau pemberian penghargaan bagi yang berprestasi, serta sanksi yang tegas dan transparan bagi mereka yang terbukti bersalah.
Sebab, lanjut Bhatara, yang disaksikan masyarakat justru sebaliknya, yakni upaya kejaksaan untuk melindungi anggotanya, seperti dalam perkara jaksa Pinangki Sirna Malasari. Hal ini menambah panjang daftar jaksa nakal yang selalu diingat masyarakat. Padahal, dengan kewenangan lebih besar yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, yang dibutuhkan adalah jaksa yang berintegritas dan berkualitas.
”Jadi, selain peringatan keras, perlu tindakan langsung yang transparan, atau tindakan-tindakan riil yang diketahui publik. Maka, kita tunggu seberapa serius Jaksa Agung menangani persoalan ini,” tutur Bhatara.
Sementara itu, peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpandangan, kejaksaan hampir tidak berurusan atau berinteraksi dengan masyarakat secara langsung. Interaksi itu terjadi ketika masyarakat berhadapan dengan hukum. Dalam ruang itulah jaksa dapat melakukan penyalahgunaan kewenangannya.
Zaenur sepakat dengan peringatan keras dari Jaksa Agung tentang adanya jaksa nakal. Sebab, beberapa kasus korupsi yang menghebohkan publik menyangkut jaksa, seperti kasus jaksa Urip Tri Gunawan dan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Dari kasus tersebut tampak bahwa hukum diperjualbelikan. ”Maka, Jaksa Agung benar bahwa masih banyak jaksa nakal,” kata Zaenur.
Untuk memperbaiki hal itu, lanjut Zaenur, diperlukan peningkatan pengawasan, baik dari sisi internal maupun dari sisi eksternal, antara lain Komjak, media massa, dan masyarakat. Kedudukan Komjak sebagai pengawas eksternal perlu diperkuat, khususnya dalam hal independensi. Yang juga tidak kalah penting adalah pemberian sanksi tegas dan transparan, tidak hanya bagi pelaku pelanggaran, tetapi juga bagi atasannya.
”Karena, jika terjadi pelanggaran, itu artinya pimpinan gagal melakukan pembinaan dan pengawasan. Bentuk sanksi yang paling tepat bagi pimpinan adalah pencopotan jabatan. Itu menjadi salah satu cara agar pimpinan punya tanggung jawab untuk membina dan mengawasi anak buahnya,” ujar Zaenur.