Perempuan Rentan Jadi Korban Konflik SDA
JAKARTA, KOMPAS – Konflik agraria rentan melemahkan posisi perempuan yang berjuang mempertahankan tanahnya. Gerakan akar rumput pun diharap lebih diperkuat untuk menjadi jembatan dalam penyelesaian konflik.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, pada 2016, konflik agraria sebanyak 450 kasus. Angka itu meningkat pada 2017 menjadi 659 kasus dengan luas lahan 520.491,87 hektar. Sebanyak 652.738 keluarga terdampak dari konflik tersebut, dan sekitar 500 petani serta 72 perempuan ditahan karena memperjuangkan hak atas tanahnya.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Sartika mengatakan, peningkatan konflik tersebut menunjukkan kebijakan reforma agraria yang dijalankan pemerintah belum mampu menjawab krisis agraria di lapangan.
“Situasi ini ironis. Di saat pemerintahan sedang mempunyai political will untuk menjalankan reforma agraria dalam konteks meperkuat hak petani atas tanah, tetapi ternyata yang terjadi perampasan terhadap hak tanah itu sendiri, bahkan perempuan kerap menjadi korban,” ujar Dewi, dalam Forum Temu Nasional II bertajuk “Pejuang Keadilan Kesetaraan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam” di Hotel Santika Premiere, Jakarta, Selasa (27/3/2018).
Acara tersebut diinisiasi oleh The Asia Foundation dengan tujuan memperkuat kapasitas masyarakat termasuk perempuan lokal untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menjanjikan tanah seluas 12,7 juta hektar akan dijadikan perhutanan sosial. Hingga saat ini, tanah yang dijadikan hutan sosial baru 1,7 juta hektar.
Dewi menyebut, hal itu tidak sebanding dengan ekstraksi sumber daya alam yang kian masif dan meluas, baik di sektor perkebunan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur. Misalnya, komoditas sawit sudah menguasai tanah di Indonesia seluas 11,2 juta hektar.
“Ada usaha-usaha skala besar yang berjalan lebih cepat. Karena itu konflik dan kriminalisasi makin tinggi di lapangan. Ini sangat disayangkan karena kerap keputusan kebijakan tidak dikonsultasikan dengan baik kepada warga,” ujarnya.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Saur Tumiur Situmorang mengatakan, perempuan kerap menjadi korban dari konflik sumber daya alam. Perempuan, menurut Saur, tidak pernah diajak untuk berembuk soal lahan. Padahal, di beberapa daerah, mayoritas perempuan juga bekerja sebagai petani dan ikut menafkahi keluarga.
“Perempuan tidak pernah diajak untuk mengambil keputusan, baik di komunitas sendiri bahkan negara. Yang terjadi, perempuan-perempuan pejuang muncul dan mereka harus mengalami banyak kekerasan fisik, bahkan pelecehan seksual,” tutur Saur.
Saur menyebut, pada tahun 2017, setidaknya ada tujuh kasus terkait konflik sumber daya alam yang dialami perempuan. “Angka itu tidak hanya bicara soal fakta, tetapi kesadaran perempuan yang mulai muncul untuk meperjuangkan haknya. Mereka bertangugngjawab memberikan pangan pada anak,” katanya.
Konsolidasi
Fitriyati (27), warga Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, mengatakan, upaya represi kerap dialaminya ketika mempertahankan gunung tersebut dari eksploitasi pertambangan emas. Ia bercerita, sebagai salah satu pegiat lingkungan di sana, dirinya pernah mendapat intimidasi dari sesesorang untuk tidak melanjutkan aksinya, bahkan aparat kepolisian kerap melindungi aksi perusahaan.
“Saya diancam akan dipenjara, dan teman-teman perempuan seperjuangan lain juga menjadi ketakutan karena ada teman yang sudah dipenjara karena perjuangkan Gunung Tumpang Pitu,” ujarnya.
Gunung Tummpang Pitu merupakan kawasan hutan lindung yang dialihfungsikan jadi kawasan pertambangan. "Kami memikirkan nasib anak-anak kami ke depan akibat sianida atau merkuri yang akan digunakan oleh perusahaan,” kata Fitriyati.
Ermanela (49), warga Desa Gondai, Pelalawan, Riau, juga masih berjuang untuk mempertahankan sisa 5 persen dari luas tanahnya 58.000 hektar yang sudah berubah menjadi perkebunan sawit.
Terkait hal itu, Saur menanggapi mendorong agar aparat keamanan memiliki mekanisme khusus dalam menangani konflik sumber daya alam yang menyangkut perempuan. Selain itu, ia juga mendorong agar negara bertanggung jawab memulihkan psikologis korban.
Gerakan akar rumput
Dewi juga meminta agar gerakan sosial akar rumput harus semakin diperkuat. Tidak boleh terjadi perbedaan pendapat dalam hal perjuangan membela sumber daya alam untuk generasi ke depan bagi masyarakat lokal itu sendiri. Dengan demikian, masyarakat dapat bergotong royong menghalau ancaman industri yang ekstraktif.
“Kelompok yang ada harus semakin mengorganisir diri. Karena dengan terorganisasi dengan baik, itu otomatis secara kapasitas puunya pemahaman kritis, memahami bahwa air dan tanah dalam situasi yang sangat rawan untuk dirampas oleh kepemilikan skala besar,” ujarnya.
Kepala Biro Perencanaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ayu Dewi Utari menuturkan, upaya memperluas perhutanan sosial akan terus didorong. Hal itu penting, menurut dia, karena selain memberikan legalitas dalam mengelola hutan, masyarakat juga semakin berdaya dan mandiri. Ia menargetkan pada 2020 dapat mencapai 4,1 juta hektar.
“Itu adalah izin pengelolaan kawasan. Kawasan hutan itu tidak boleh sembarangan diubah peruntukannya, dijualbelikan jadi permukiman tidak boleh atau dijual ke perusahaan, itu tetap kawasan hutan,” ujarnya.
Menurut Ayu, perusahaan juga harus mementingkan pelibatan masyarakat lokal dalam menjalankan usahanya. Hal itu untuk mengantisipasi adanya konflik dengan masyarakat setempat. Ia menyebut, seperti yang terjadi di Gunung Tumpang Pitu yang sebenarnya sudah legal.
“Seringkali memang yang masih terjadi adalah ketika ada orang lain asal masuk, marah orang lokal, teatpi ketika ada komunikasi dengan baik dengan masyarakat lokal, mungkin akan lebih terbuka. Karena masalahnya pasti hampir sebagian besar karena itu,” ujarnya.