Sosialisasi Kepedulian Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Kupang
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS- Sebanyak 45 anak berkebutuhan khusus, di Kota Kupang mensosialisasikan tentang kepedulian terhadap anak autis, pada hari hari bebas kendaraan di Jalan El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Selain itu, disosialisasikan pula cara orangtua mengenal gejala-gejala autis sejak dini. Anak-anak autis ini didampingi para guru dan orangtua. Kepedulian terhadap anak autis masih rendah, tenaga pendamping terapis terbatas.
Hari bebas kendaraan atau car free day (CFD) di Kota Kupang berlangsung setiap Sabtu, di jalan utama sepanjang 2 km, terlekat di Depan Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT). Ribuan warga Kota Kupang setiap CFD mendatangi lokasi itu dengan berpakaian olahraga untuk jogging, jalan cepat, bersepeda, jalan santai, senam sehat, mempromosikan produk, kampanye terhadap suatu persoalan, atau berjualan.
Hari CFD berlangsung, Sabtu (14/4) di Kota Kupang dimeriahkan dengan kehadiran anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) kategori autis. Anak autis ini memainkan alat musik sendiri dan menyanyikan lagu-lagu daerah khas NTT, beberapa lagu pop, dan lagu rohani. Orangtua dan guru pendamping berjoget sambil mengajak mereka berjoget bersama.
Sebelum berpentas musik, 45 ABK ini bersama orangtua, dan guru pendamping menempuh perjalanan sekitar 2 km, sambil mengusung spanduk, bertuliskan “Mari Peduli terhadap anak autis di sekitar kita”, dan “Kenalilah gejala autis pada anak Anda sejak dini”.
Penanggungjawab lapangan Pusat Layanan Autis (PLA) NTT, Nurlinda Tara Tanty mengatakan, jumlah ABK kategori autis yang terdaftar sebanyak 45 orang. Tetapi mengikuti terapi rutin di PLA NTT hanya 23 anak. Jumlah 23 anak ini berusia 2 tahun -12 tahun, sementara usia di atas 13 tahun belum ada tenaga terapis sehingga PLA NTT belum terima ABK usia di atas 13 tahun.
“Guru pendamping lima orang, dengan kategori lulusan sarjana autis murni hanya satu orang. Empat yang lain lulusan SMA dan sarjana umum, tetapi mendapatkan pendidikan dan pelatihan mendamping anak autis selama beberapa bulan di luar NTT, bahkan ada yang sudah memiliki pengalaman sebagai pendamping di Malang dan Surabaya,”kata Nurlinda.
Pemda NTT membangun gedung PLA dengan fasilitas pendukung cukup tersedia, tetapi tenaga pendamping masih kurang. Peserta terapi datang secara shift di PLA untuk mendapatkan kesempatan terapi 2 jam per hari.
Nurlinda mengatakan, banyak orangtua di NTT belum kenal gejala awal anak mereka terserang autisme. Gejala itu antara lain, tidak ada kontak mata dengan orangtua sejak kecil, tidak dapat mengoceh pada usia 12 bulan, tidak ada isyarat badan seperti menunjuk atau mengangkat tangan pada usia 12 bulan, belum dapat berbicara satu kata pada usia 16 bulan, dan kehilangan keterampilan bahasa atau interaksi dengan orang lain pada setiap usia.
“Jika orangtua menemukan anak seperti ini, sejak saat itu pula segera diterapi. Jangan biarkan mereka sampai pada usia di atas 12 tahun dengan kondisi seperti itu,” katanya.
Ia mengatakan, jumlah ABK kategori autis di NTT sekitar 600 orang, sesuai data masuk dari 22 kabupaten/kota. Diduga, masih banyak ABK yang belum dilaporkan pihak keluarga. Mereka membiarkan ABK kategori autis ini di rumah, dan tidak diperkenalkan kepada tetangga. Jumlah 600 ini, yang mengikuti terapi di NTT hanya 23 anak, yang lain tidak diterapi, kecuali orangtua membawa mereka terapi di luar NTT.
Terapi di PLA Kupang dijalankan secara gratis, tetapi di luar NTT dihitung per jam, yakni Rp 150.000 - Rp 200.000 per jam. Hanya anak dari orangtua mampu secara ekonomi, mampu membawa anak untuk terapi di luar NTT.
Jumlah 45 ABK yang sedang menjalani terapi itu, sebagian besar dari Kota Kupang. Sebelumnya ada belasan anak dari Sikka, Ende, Larantuka, dan Bajawa tetapi tidak ada tempat penginapan di Kota Kupang sehingga orangtua bawa mereka pulang.
Ny Halima Hakim (36) orangtua dari Fatin Abdul (8) ABK kategori autis yang mendampingi Fatin saat terapi di PLA mengatakan, Fatin sangat aktif, tidak bisa tenang, kecuali saat tidur. Selain itu, setiap saat Fatin tidak pernah pisah dengan telepon seluler berkamera.
Orangtua keberatan
Pihak orangtua dan guru pendamping berkeberatan saat staf dari Dinas Pendidikan Provinsi NTT yang memandu acara sosialisasi peduli ABK, itu terus menerus mengulangi kata “autis” pada anak-anak. Mereka minta agar staf ASN dinas pendidikan NTT itu menggunakan kata ABK, atau anak spesial.
Ny Mery An (45) misalnya mengatakan, terkesan staf ASN dinas pendidikan tidak paham tentang ABK, atau paham tetapi tidak menghargai anak-anak itu. Menyebut nama “autis” pada anak-anak yang sedang dalam proses terapi, itu sama dengan menghukum dan membiarkan mereka tidak bisa berkembang secara normal.
“Saya bawa anak saya Nando terapi sampai di Surabaya dan Malang. Di sana mereka tidak pernah memanggil Nando dengan sebutan autis, tetapi mereka menggunakan istilah anak spesial. Di sini, mulai dari tadi orang dari dinas pendidikan memanggil anak-anak dengan sebutan autis. Penyebutan ini sama sekali tidak menghargai anak-anak ini,”kata An.
Sekretaris Dinas Pendidikan NTT Alo Min mengatakan, masih ada staf Dinas Pendidikan belum paham tentang cara menangani ABK, meski mereka adalah staf di bidang pendidikan luar sekolah. “Kami akan sampaikan hal ini kepada semua staf ASN di dinas pendidikan,”kat Min.