EWS Tanah Longsor, Karya Anak Bangsa untuk Dunia
”Tentu bermanfaat,” kata Dewa Made Merta Ekayasa (53), beberapa waktu lalu. Ketua Forum Pengurangan Bencana Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali, itu menceritakan bagaimana alat sistem peringatan dini atau early warning system untuk tanah longsor dapat membantu warga mengantisipasi ancaman longsor.
Menurut Dewa, alat ini didesain untuk mengetahui secara dini adanya pergerakan dan pergeseran tanah. Ketika ada pergeseran tanah, alat segera mengirim sinyal ke perangkat yang terpasang di ruang desa tempat Made Merta tinggal.
Lalu, tim Siaga Bencana Desa Plaga yang beranggotakan 20 warga desa akan segera bergerak menuju lokasi. Sirene EWS akan berbunyi dan warga pun siap dievakuasi.
Keterlibatan masyarakat inilah yang menjadi unggulan formulasi standar alat EWS tanah longsor. Kelebihan ini menjadikan tim Indonesia berhasil meyakinkan lembaga International Organization for Standardization (ISO) untuk menetapkan sistem peringatan dini tanah longsor (EWS) Indonesia sebagai standard ISO 22327.
Sistem ini merupakan pengembangan kerja sama antara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) sejak tahun 2007. Selanjutnya, pengembangan alat tersebut diinisiasi ke lembaga ISO sejak tahun 2014.
Pengajuan ini bersamaan dengan proses standardisasi nasional di Badan Standardisasi Nasional (BSN). BSN pun setuju melabeli alat tersebut standard nasional Indonesia (SNI).
Penyerahan persetujuan ini dilakukan di Kantor Standardisasi Australia di Sydney oleh Ketua WG3 Security and Resilience Asa Kyrk Gere kepada Kepala BNPB Willem Rampangilei pada 16 Maret lalu.
Pengesahan itu dihadiri pula Deputi Badan Standardisasi Nasional (BSN) Nyoman Supriatna dan Prof Faisal Fathani (UGM), Kepala Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Wisnu Widjaja, serta beberapa anggota Tim EWS Tanah Longsor Indonesia.
Untuk dunia
Kyrk Gere mengatakan, kebanggaannya terhadap perjuangan Indonesia menginisiasi ISO untuk EWS tanah longsor ini. Harapannya, pengembangan ISO ini dapat bermanfaat bagi dunia agar lebih peduli terhadap ancaman bencana tanah longsor.
Apalagi, sistem kerja alat ini melibatkan masyarakat setempat yang menjadikan mereka paham tinggal di wilayah rawan bencana.
Kepala BNPB Willem Rampangilei bangga terhadap kerja keras tim. Inisiasi ISO ini, lanjutnya, membuktikan eksistensi Indonesia dengan kontribusinya terhadap dunia melalui berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk menyelamatkan masyarakat dari ancaman tanah longsor.
”Sistem ini tidak hanya sebagai alat yang berdiri sendiri, tetapi juga melibatkan komunitas di daerah ancaman longsor. Masyarakat menjadi bagian sistem yang penting untuk meyakinkan alat tersebut bekerja dengan baik dan efektif,” kata Willem.
Ia menegaskan, sistem peringatan dini longsor ini menjadi kebanggaan anak bangsa. Karenanya, ini menguatkan posisi Indonesia sebagai laboratorium bencana dunia dan diharapkan berdampak positif dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan bagi Indonesia.
Tim Indonesia yang merancang inisiasi sejak awal mulai tahun 2014 dalam pengajuan standardisasi EWS tanah longsor ini antara lain Dwikorita Karnawati (Kepala BMKG), Nyoman Supriatna (Deputi BSN), Lilik Kurniawan (Direktur BNPB), Faisal Fathani (UGM), Wahyu Wilopo (UGM), M Robio Amri (BNPB), Tom Abbel (BSN), dan Pratomo Cahyo Nugroho (BNPB).
Sistem peringatan dini longsor berbasis masyarakat terdiri atas beberapa subsistem. Subsistem ini pengembangan dari konsep peringatan dini berbasis masyarakat milik badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana.
Subsistem itu adalah penilaian risiko, sosialisasi, pembentukan tim siaga bencana, pembuatan panduan operasional evakuasi, penyusunan prosedur tetap, pemantauan, peringatan dini, geladi evakuasi, serta membangun komitmen otoritas lokal dan masyarakat dalam pengoperasian serta pemeliharaan keseluruhan EWS tanah longsor. Peringatan ini telah diuji coba di lebih dari 150 lokasi di Indonesia, termasuk Bali.
Mengapa sistem ini dikembangkan? Salah satu alasannya adalah BNPB mencatat lebih dari 40 juta orang, masyarakat Indonesia, di 274 kabupaten/kota berada dalam ancaman bahaya tanah longsor. Longsor sendiri merupakan bencana paling mematikan di Indonesia.
Alat EWS tanah longsor ini terus berkembang. Hingga kini, 30 provinsi dan di luar negeri, yaitu Myanmar, Sri Lanka, dan Timor Leste, memasang dan menggunakan alat ini.
Prof Faisal Fathani, tim inisiasi dari UGM, bangga dengan karya anak bangsa menjadi standar nasional dan internasional. ”Selanjutnya, Indonesia dipercaya dan ditunjuk sebagai project leader untuk menyusun general guideline for multi-hazard early warning system. Lalu, menyusun technical spesification (spesifikasi teknis) untuk sistem peringatan dini banjir, bencana letusan gunung api, dan tsunami. Ini kebanggaan,” kata Faisal dengan penuh syukur dan bahagia.
Haru dan bahagia juga disampaikan Deputi Bidang Penelitian dan Kerja Sama Standardisasi Badan Standardisasi Nasional (BSN) I Nyoman Supriyatna. Keberhasilan Indonesia mengangkat standar nasional menjadi standar internasional menjadi bukti bahwa internasional mulai memperhitungkan posisi Indonesia.
”Saat ini, Indonesia bukan hanya sebagai pengguna standard lagi, melainkan Indonesia mampu dan bisa menjadi pembuat standar,” katanya.
Standar ISO ini sebagai pedoman peringatan dini yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa manusia, khususnya untuk yang mempunyai daerah rawan longsor. Selain itu, alat ini memperkuat daya saing Indonesia karena dibutuhkan beberapa peralatan yang bisa diproduksi oleh industri dalam negeri.
Alat-alat ini, lanjutnya, perlu dibuatkan SNI-nya. Kemudian, standar ISO ini mendorong munculnya Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang melakukan pengujian dan penilaian kesesuaian peralatan tersebut.
Indonesia pun menjadi rujukan dunia untuk sistem peringatan dini multibencana. Peran dan kiprah Indonesia dalam mitigasi bencana di dunia pun semakin penting dan strategis. Bangga Indonesia!