Perempuan-Perempuan Kritis di Akar Rumput
Mereka tak punya gedung sekolah khusus. Belajar di rumah penduduk dan di mana saja untuk membangun kesadaran kritis perempuan di akar rumput. Sebuah model pemberdayaan bagi masyarakat lapisan bawah.
Putus sekolah dan menjadi ibu rumah tangga dalam usia muda, serta hidup dalam kemiskinan, bukanlah penghalang bagi perempuan-perempuan di pulau-pulau kecil di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan untuk membuat perubahan di desanya.
Dalam tiga tahun terakhir, ratusan perempuan di 10 pulau di Pangkep – yang tidak mengenyam pendidikan formal, tidak tamah sekolah dasar dan sekolah menengah pertama – tersebut memberi warna baru dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya. Tak hanya mampu berpikir kritis, mereka kini bisa berbicara lantang, menyuarakan aspirasi masyarakat akar rumput, termasuk isu-isu yang terkait perempuan.
Tak hanya hadir dan bersuara di setiap forum pertemuan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten, dan mengawasi program pemerintah, para ibu juga berhasil memperjuangkan sejumlah fasilitas untuk layanan khusus perempuan. Mulai dari penyediaan perahu gratis untuk membantu persalinan ibu hamil di kepulauan, pos kesehatan desa, hingga mendorong lahirnya peraturan di desa yang melindungi perempuan dan anak, seperti perdes stop perkawinan anak.
Tak hanya hadir dan bersuara di setiap forum pertemuan Musyawarah Perencanaan Pembangunan di tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten, dan mengawasi program pemerintah, para ibu juga berhasil memperjuangkan sejumlah fasilitas untuk layanan khusus perempuan.
Perubahan tersebut terjadi semenjak mereka mengikuti sekolah perempuan yang diselenggarakan Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal Perempuan) yang bermitra dengan Yayasan Kajian Pemberdayaan Perempuan (YKPM) Sulawesi Selatan. Kegiatan ini didukung oleh program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (Mampu).
Sekolah perempuan hadir sejak akhir 2013 di 10 pulau di empat desa di Pangkep, yakni Desa Mattiro Bombang (Pulau Sakuala, Pulau Salemo, Pulau Sabangko, dan Pulau Sagara), Desa Mattiro Kanja (Pulau Sabutung), Desa Mattiro Uleng (Pulau Kulambing, Pulau Bangko-Bangkoang), dan Desa Mattiro Baji (Pulau Satando, Pulau Sapuli, dan Pulau Saugi). Hingga kini sudah ada 490 perempuan yang ikut dalam sekolah perempuan di 10 pulau tersebut.
Penguatan kapasitas perempuan lewat sekolah perempuan di pulau-pulau tersebut memberikan dampak besar bagi perempuan maupun desa di tempat tinggal mereka. Selain mampu memantau program pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perempuan yang mayoritas ibu-ibu rumah tangga itu juga terlibat langsung dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKP Des) dan melakukan survei Jaminan Kesehatan Nasional-Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI), dan program-program pemerintah lainnya
Bahkan di beberapa pulau, seperti Pulau Salemo, sekolah perempuan mendorong lahirnya surat edaran tentang pelayanan kesehatan untuk ibu hamil di wilayah kepulauan dan mengeritisi peraturan desa yang mendiskriminasi perempuan.
Mengawal pembangunan PLTS
Di Pulau Sabangko, perempuan-perempun berhasil mengawal pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) hingga akhirnya pemerintah membangun PLTS pada akhir 2017. Hasil perjuangan perempuan di Pulau Sabangko kini dinikmati ratusan jiwa penduduk. Kehidupan masyarakat pun berubah.
Di Pulau Sabangko, perempuan-perempun berhasil mengawal pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pos Kesehatan Desa hingga akhirnya pemerintah membangun PLTS pada akhir 2017.
Padahal, dulu ketika PLTS belum ada, sebelum matahari terbenam, semua aktivitas masyarakat di pulai itu sudah harus selesai, karena penerangan hanya mengandalkan lampu minyak. Memang ada sumber listrik dari genset yang dioperasikan pada jam 18.00-22.00, tapi harus membayar 150.000 per bulan.
Kini kondisi tersebut berubah, semenjak PLTS hadir di pulau tersebut. Sudah hampir enam bulan, masyarakat di Pulau Sabangko menikmati listrik 24 jam. Di malam hari, masyarakat dari Desa Mattiro Bombang, Kecamatan Tupabburing Utara, tidak khawatir soal gelap. Tidak ada lagi yang harus makan malam di waktu sore, anak-anak bisa mengerjakan tugas sekolah di malam hari, bahkan saat ini bisa menonton televisi kapan saja.
“Bertahun-tahun kita hidup gelap di malam hari. Penerangan hanya pakai lampu minyak, kalau bangun pagi biasanya hidung sudah hitam semua,”ujar Siti Habibah (62) dengan wajah gembira, saat menyambut Kompas dan Direktur Kapal Perempuan, Misiyah, Kamis (10/5/2018).
Nurlina (28), peserta sekolah perempuan di Pulau Sabangko yang juga satu-satunya perempuan nelayan yang mendapatkan kartu nelayan dari pemerintah, menuturkan, sebelum sekolah perempuan, dirinya merasa rendah diri, tidak bisa bicara, dan tidak mengerti soal kesetaraan jender. Setelah ikut sekolah perempuan, sejak 2014 Nurlina dan perwakilan sekolah perempuan hadir, bahkan menjadi pembicara dalam forum Musrembang hingga tingkat kabupaten.
Setelah ikut sekolah perempuan, sejak 2014 Nurlina dan perwakilan sekolah perempuan hadir, bahkan menjadi pembicara dalam forum Musrembang hingga tingkat kabupaten.
PLTS adalah buah dari perjuangan ibu-ibu sekolah perempuan setempat, setelah akhir 2017 pemerintah kabupaten merealisasikan pembangunan PLTS di pulau tersebut. Masyarakat cukup membayar iuran Rp 35.000 per bulan.
Dampaknya, masyarakat bisa beraktivitas di malam hari. Anak-anak bisa belajar, dan pemeriksaan di pos kesehatan desa bisa dilakukan kapan saja. Ibu-ibu dan anak-anak tidak takut lagi berada di rumah dalam kegelapan karena lampu minyak di rumah dibawa untuk melaut.
Dari sisi ekonomi, pada malam hari, sejumlah ibu rumah tangga juga bisa membuat makan dan kue di malam hari, kemudian menjual di pagi hari. Ketika kue sudah habis bisa dibuat lagi karena listrik 24 jam.
Survei JKN-PBI
Di Pulau Sabutung, ibu-ibu rumah tangga yang ikut Sekolah Perempuan membuat pemerintah desa memperhitungkan posisi mereka. Beberapa waktu lalu, ibu-ibu sekolah perempuan melakukan survei JKN-PBI yang berbasis jender, terutama terkait kesehatan reproduksi. Hasil surveinya tidak kalah dengan survei dari lembaga profesional yang menghasilkan berbagai rekomendasi untuk perbaikan layanan kesehatan.
Di Sekolah Perempuan, mereka gencar mengkampanyekan stop perkawinan anak, membuka pemikiran masyarakat. Bahkan kini mereka mempersiapkan peraturan desa stop perkawinan anak.
“Sekolah saya hanya sampai kelas empat SD, saya menikah umur 13 tahun. Dulu orang nakut-nakuti kalau tidak menikah tidak akan laku-laku. Sekarang saya tahu, perkawinan anak itu berbahaya, saya tidak mau anak saya mengalami nasib seperti saya,” ujar Salmiah (30), salah satu peserta Sekolah Perempuan Pulau Sabatung.
Ibu-ibu Sekolah Perempuan di Pulau Sabutung, selama beberapa tahun terakhir juga memantau penyaluran raskin di desanya. Bahkan, untuk memberdayakan perempuan di desa, sekolah perempuan menggelar pelatihan membuat miniatur kapal yang dijual sebagai suvenir. Begitu besarnya peran dan pengaruh ibu-ibu di pulau tersebut, mendorong sejumlah perempuan remaja yang putus sekolah mengikuti jejak mereka.
Sejak awal tahun, sekitar 20 remaja di pulau tersebut mulai merintis sekolah perempuan remaja. Mereka fokus pada penguatan kapasitas perempuan remaja agar mandiri, melakukan kampanye cegah perkawinan anak, serta mengedukasi perempuan remaja lainnya agar tidak mudah terpengaruh dengan pergaulan jaman ini.
Peran ibu-ibu sekolah perempuan di pulau tersebut diakui pemerintah setempat. “Mereka tidak punya gedung, sekolahnya di alam, tapi mereka bisa melakukan pemantauan layanan kesehatan. Ini pembelajaran yang luar biasa,” ujar Kepala Desa Mattiro Kanja, Muzakkir.
Di Pulau Kulambing, Desa Mattiro Uleng, ibu-ibu rumah tangga tak kalah semangatnya seperti yang ditunjukkan Indotang (38). Perempuan yang dulunya korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kini menjadi perempuan tangguh di Pulau Kulambing. Semenjak ikut sekolah perempuan, pikiran Indotang terbuka, setiap hari ketika berkeliling menjual sayur, dia mengedukasi ibu-ibu dan masyarakat setempat untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Semenjak ikut sekolah perempuan, pikiran Indotang terbuka, setiap hari ketika berkeliling menjual sayur, dia mengedukasi ibu-ibu dan masyarakat setempat untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Ketika mendengar akan ada perkawinan anak di pulaunya, dia hadir memberi pemahaman pada orangtua sang anak sehingga perkawinan anak pun dibatalkan. Indotang bahkan sangat hafal ke-17 tujuan yang tercantum dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs). “Prinsip SDGs tidak boleh ada satu orang pun yang tertinggal dalam pembangunan, termasuk perempuan,” papar Indotang.
Rosniati, Fasilitator YKPM yang mendampingi para ibu-ibu sekolah perempuan di Pangkep, mengatakan tiga bulan pertama, sebelum sekolah perempuan dimulai, dia bersama Nurhayati dan staf lapangan lainnya, turun ke pulau-pulau tersebut. Mereka menggali informasi dan mencari perempuan-perempuan miskin yang bisa diajak untuk belajar di sekolah perempuan.
“Kami tinggal dengan masyarakat, menginap di rumah-rumah penduduk melihat aktivitas mereka seperti apa, mulai dari bangun pagi sampai malam hari. Dengan begitu, kami mendapatkan ibu-ibu yang cocok untuk peserta sekolah perempuan, setelah itu baru memulai sekolahnya,” ujar Rosniati.
Membutuhkan waktu bagi perempuan-perempuan untuk terbuka dengan dunia luar. Apalagi bagi ibu-ibu yang hanya tinggal di rumah. Rata-rata yang ikut sekolah perempuan tidak tamat sekolah dasar, paling tinggi sekolah sekolah menengah pertama.
“Dalam waktu enam bulan sudah mulai berani bicara di kalangan internal sekolah perempuan, satu tahun kemudian rata-rata sudah berani mengikuti forum-forum di desa, misalnya menghadiri Musrenbang dusun atau menghadiri pertemuan-pertemuan kecil, bahkan menjelaskan kepada aparat desa tentang sekolah perempuan,” papar Misiyah.
Penghapusan kemiskinan
Sekolah perempuan telah dikembangkan Kapal Perempuan sejak tahun 2000 di komunitas-komunitas miskin pedesaan, perkotaan, pesisir, dan kepulauan terpencil. Peserta dari beragam etnis, suku, agama, dan usia. Mereka tidak punya gedung sekolah khusus, tetapi belajar di rumah penduduk, lahan kosong, pinggiran sungai dan pantai, kantor rukun warga atau balai desa.
“Sekolah perempuan merupakan salah satu model pendekatan untuk penghapusan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup perempuan di akar rumput,” katanya.
Selain di Sulsel, Sekolah Perempuan yang memiliki slogan”Belajar dari Pinggiran, Bergerak Mengakhiri Kemiskinan” juga dikembangkan Kapal Perempuan di Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Gresik (Jawa Timur), Kabupaten/Kota Kupang (Nusa Tenggara Timur), Kota Padang (Sumatera Barat), Jakarta Selatan dan Jakarta Timur (DKI Jakarta).
Selain menjadi wadah untuk membangun kesadaran kritis, sekolah perempuan juga bertujuan memperkuat kepemimpinan perempuan, kecakapan hidup mengembangkan sumber-sumber ekonomi perempuan. Karena dengan meningkatkan kapasitas perempuan-perempuan di akar rumput, selanjutnya mereka memiliki komitmen untuk melakukan perubahan sosial di di ranah keluarga, komunitas, dan mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk memperjuangkan pemenuhan hak atas perlindungan sosial.
Selain menjadi wadah untuk membangun kesadaran kritis, sekolah perempuan juga bertujuan memperkuat kepemimpinan perempuan, kecakapan hidup mengembangkan sumber-sumber ekonomi perempuan.
“Kami percaya bahwa dengan memperkuat kepemimpinan perempuan yang berasal dari kalangan yang benar-benar miskin akan mampu mengubah kondisi dan posisi mereka,” kata Misiyah.
Melalui sekolah perempuan, ibu-ibu dan perempuan di daerah terpencil mendapat pendidikan terkait isu jender, seperti pemahaman konsep jender, bentuk-bentuk ketidakadilan jender, faktor penyebab dan prinisip-prinsip memperjuangkan kesetaraan gender dan penyadaran atas isu-isu krusial perempuan misalnya penghapusan perkawinan anak, kekerasan perempuan, sunat perempuan, dan lain-lain.
Para ibu juga mendapatkan informasi terkait hak-hak perempuan miskin atas perlindungan sosial seperti mendapatkan jaminan kesehatan gratis, pendidikan, layanan hukum, serta latihan membangun organisasi serta memperkuat kepemimpinan perempuan, termasuk penguatan ekonomi perempuan dan pengumpulan data dan advokasi.
Apa yang dilakukan ibu-ibu melalui sekolah perempuan di Pangkep bagaikan oase di tengah berbagai persoalan yang dihadapi perempuan-perempuan di Tanah Air. Mereka membuktikan ketika perempuan-perempuan di akar rumput berdaya, mereka bisa menghadirkan perubahan, demi kemajuan daerahnya, dan tentu saja kemajuan Bangsa Indonesia.