JAKARTA, KOMPAS -- Perayaan Idul Fitri menjadi momen bagi komunitas muslim Tionghoa Masjid Lau Tze di Sawah Besar, Jakarta Pusat, untuk mempererat tali persaudaraan antar umat beragama. Warga sekitar diajak turut merayakan sukacita Lebaran dan kebersamaan itu melalui salat Idul Fitri bersama.
Jumat (15/6/2018) sekitar pukul lima pagi, Takbir dari Masjid Lau Tze mulai terdengar. Setelah azan subuh, jalan raya di depan Masjid Lau Tze sudah terpasang terpal yang diatasnya diletakkan sajadah karpet. Selepas salat subuh, warga di kawasan Sawah Baru, Karang Anyar, Jakarta Pusat, mulai mendatangi jalan raya depan Masjid Lau Tze itu.
Pegiat Masjid Lau Tze Naga (41) mengatakan, Lebaran tahun ini tidak seramai tahun kemarin. Teman-teman muslim Tionghoa yang datang ke sini lebih sedikit karena mudik.
Kendati begitu, sebagian kecil dari mereka ada yang masih datang dari jauh hanya untuk silaturahmi bersama di Masjid Lau Tze. "Walau tidak semua teman muslim Tionghoa kumpul, tapi masih ramai juga karena warga sekitar kawasan Pecinan juga ada yang salat di sini," kata Naga yang turut menyiapkan tempat salat Id sejak pukul tiga pagi.
Dari jumlah sekitar 20 baris sajadah karpet yang disusun, semua saf terisi penuh. Diperkirakan jumlah jemaah yang hadir sekitar 800 orang. Itu pun belum terhitung dengan jemaah yang membawa koran dan membuat saf sendiri.
Pengisi ceramah dan juga Direktur Rumah Sehat Basnaz Indonesia Meizi Fachrizal Ahmad mengatakan, umat muslim saat ini harus menjunjung tinggi hidup tolong-menolong dan saling memaafkan. "Kita harus membiasakan hidup tolong-menolong dan saling memaafkan. Layaknya anggota tubuh, bila ada satu bagian yang sakit pun akan berpengaruh terhadap bagian lainnya," kata Meizi.
Naga merasa masjid itu adalah satu-satunya \'rumah\' baginya untuk pulang. Ia yang sekarang menetap di Tangerang selalu menyempatkan sekali dalam seminggu untuk mengikuti pengajian rutin.
Pengurus Masjid Lau Tze Ali Karim Oei mengatakan, sejak 1991 masjid ini dibangun sebagai tempat ibadah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Masjid itu diurus Yayasan Haji Karim Oei, yang sudah turun-temurun menjadi wadah syiar Islam bagi orang-orang Tionghoa.
"Yayasan kami menjadi wadah bagi orang Tionghoa untuk mengenal Islam," kata Ali.
Masjid Lautze diresmikan BJ Habibie saat masih menjadi Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia pada 1994. Masjid tersebut memang dibangun sebagai bentuk syiar Islam ke masyarakat Tionghoa.
Adapun Lautze adalah nama dari tokoh Muslim Tionghoa yang telah memeluk Islam pada 1930. Dalam bahasa Tionghoa, "Lautze" berarti "guru".
Bagi Naga, khususnya bagi teman-teman yang sudah lama di Masjid Lau Tze, masjid itu memiliki arti yang berkaitan dengan perjalanan diri. "Hal yang sangat menonjol di sini adalah keterbukaan dan membuka ruang bagi siapa saja," kata Naga.
Eko (60), salah seorang muslim Tionghoa yang sedang menginap di masjid tersebut juga merasakan ada keberagaman. "Di Masjid Lau Tze, huruf han zi (aksara Cina) bisa berdampingan dengan huruf Arab," kata Eko.
Rudi, jemaah lainnya, menyebutkan, nilai kekeluargaan di masjid Lau Tze sangat tinggi. "Mungkin karena sama-sama keturunan Tionghoa dan sama-sama merasa kurang terperhatikan, sama-sama bingung dan sama-sama belajar di sini, jadi merasa senasib sepenanggungan," ujar Rudi. (ADITYA DIVERANTA)