JAKARTA, KOMPAS – Potensi gelombang tinggi diperkirakan masih akan terjadi di beberapa perairan selatan Indonesia pada 27-29 Juli 2018. Selain dipengaruhi oleh mascarene high atau pusat tekanan tinggi di wilayah Samudra Hindia, gelombang tinggi juga terjadi karena angin monsun Australia atau angin timuran.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dalam siaran persnya menyampaikan, sejumlah wilayah masih akan dilanda gelombang tinggi 4-6 meter. Beberapa wilayah tersebut adalah perairan utara Sabang, barat Pulau Simeulue, barat Nias-Mentawai, barat Lampung, selatan Enggano, selatan Banten, selatan Jawa, dan selatan Bali hingga Sumbawa. Gelombang tinggi juga akan terjadi di Selat Bali-Lombok-Alas bagian selatan, Samudra Hindia barat Sumatera dan Samudra Hindia selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Timur.
Kepala Bidang Informasi Meteorologi Maritim BMKG, Eko Prasetyo, Kamis (26/7/2018), mengatakan, pada periode 27-29 Juli 2018, mascarene high atau pusat tekanan tinggi di Samudra Hindia masih akan mempengaruhi ketinggian gelombang. “Selain ketinggiannya, frekuensi terjadinya gelombang tinggi tersebut juga cenderung meningkat,” kata Eko.
Mascarene high adalah suatu kondisi tekanan tinggi yang dapat memicu kecepatan angin bergerak ke tekanan yang lebih rendah di utara.
Eko menambahkan, masyarakat juga perlu waspada terkait ancaman gelombang pasang air laut. Tiap daerah memiliki periode pasang air laut yang berbeda. Dengan mengamati periode tersebut, diharapkan masyarakat bisa mendeteksi dini pada daerah masing-masing.
“Ada daerah yang tren pasang pagi, ada juga yang malam. Biasanya kalau pagi pada jam 7-9 pagi. Kalau malam biasanya di jam 8-10 malam,” kata Eko.
Kepala Sub Bidang Analisa dan Prediksi Meteorologi Maritim, Zairo Hendrawan, mengatakan, selain dipengaruhi pusat tekanan tinggi, gelombang tinggi juga dipengaruhi oleh angin monsun Australia atau yang bergerak dari wilayah timur Indonesia menuju utara.
"Saat ini di Australia gelombang lautnya bisa mencapai 12 meter. Ini karena pusat tekanan tingginya mencapai 1.020 milibar. Angin itu akan mengalir menuju tekanan rendah di wilayah utara Indonesia,” ungkap Zairo.
Kekeringan
Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto, mengatakan, berdasarkan monitoring hari tanpa hujan, beberapa daerah terancam mengalami kekeringan. Daerah tersebut adalah Jawa Barat yaitu Cangkol dan Wanasaba (85 hari tanpa hujan), Yogyakarta: Lendah dan Srandakan (92), Jawa Tengah: Bangsri (102), Jawa Timur: sekitar kawah Ijen (111), Bali: Sambireteng (112), Nusa Tenggara Barat: Jerowaru (117), dan Nusa Tenggara Timur: Wangapu (99).
Berdasarkan pantauan dari tingkat ketersediaan air pada tanaman, bebeberapa daerah mengalami kekeringan pada lahan pertanian. Antara lain Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. Daerah-daerah tersebut sudah mengalami defisit air. “Artinya tanaman pada daerah itu sudah tidak bisa mengambil air dari dalam tanah atau disebut titik layu permanen,” ungkap Siswanto.
Berdasarkan analisis tingkat kemudahan kebakaran lahan dan hutan dari faktor meteorologi, ada beberapa daerah yang masuk dalam kategori “sangat mudah” terbakar pada Jumat, (27/7/2018). Daerah tersebut antara lain Aceh, Jambi, Sumatera Selatan, dan Papua bagian selatan.
“Kategori itu dilihat dari kelembaban udara, kecepatan angin dan tingkat kekeringan wilayah. Tidak harus di kawasan hutan,” kata Siswanto.
Siswanto mengatakan, pemerintah daerah yang mengalami ancaman kekeringan harus mengimbau pada masyarakatnya untuk menghemat penggunaan air. Selain itu, usaha penyediaan air bersih juga harus disiapkan bagi daerah yang mengalami kekeringan.
“Pemerintah daerah terkait bisa melakukan monitoring sumber-sumber mata air agar kekeringan bisa dipantau dan diantisipasi lebih baik,” kata Siswanto.