SURABAYA, KOMPAS – Keterlibatan anak dalam aksi pengeboman dan terorisme di Surabaya dan kota-kota lain di Indonesia menunjukkan anak masih rawan terlibat dalam konflik orang dewasa. Itu merupakan gejala kuat masih besarnya ancaman terhadap anak-anak Indonesia dari kondisi ramah anak. Kampanye pengarusutamaan hak anak harus terus didengungkan, disertai upaya memenuhi hak-hak dasar anak.
Hal itu disampaikan pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pinky Saptandari Endang Pratiwi di Surabaya, Jumat (27/7/2018) saat bicara di depan seminar Peran Perguruan Tinggi dalam Perlindungan Anak berbasis Komunitas. Hadir juga Direktur Yayasan Alit, LSM yang bergerak di bidang hak anak, Yuliati Umrah, Direktur Perlindungan Anak pada Universitas Gregorian, Roma, Franz Marcus.
Peristiwa pengeboman di Surabaya menunjukkan, bagaimana anak menjadi korban tewas dan korban hidup atas ulah orang dewasa. Bagaimana orang dewasa melibatkan anak dalam konflik dan ideologi orang dewasa.
“Ini pelanggaran serius terhadap upaya pemenuhan hak nak. Peristiwa bom meledak di rumah sendiri di Bangil, Pasuruan, juga telah membuat anak-anak terluka parah karena terpapar atau dipaparkan dengan ideologi kekerasan," kata Pinky. Selain anak meninggal dunia di pihak pelaku dan korban, anak juga harus berhadapan dengan kekerasan di pihak pelaku maupun korban.
Upaya pengarusutamaan hak anak, kata Pinky, diurai berupa hak atas akta kelahiran, hak pendidikan usia dini, hak ikut wajib belajar 9 tahun. Anak juga berhak atas lingkungan belajar yang aman, terbebas dari perlakukan salah, kekerasan, eksploitasi ekonomi dan seksual, perlindungan anak marjinal dan minoritas, pelayanan informasi dan ruang partisipasi bagi anak, serta ruang publik aman untuk belajar, bermain, rekreasi dan aktivitas budaya.
Upaya pemenuhan hak anak, sudah dijabarkan pemerintah dalam bentuk pembuatan kriteria bagi kota untuk menjadi kota yang layak anak. Dalam hal ini Surabaya sudah mendapat penghargaan kota layak anak. Untuk itu selanjutnya perlu diupayakan bahwa upaya melakukan pengarusutamaan hak anak itu bisa dilakukan dengan menyeleraskannya dengan upaya pengarusutamaan gender.
Caranya mengembangkan kebijakan kabupaten dan kota sebagai kota layak anak. Penggabungan dua kebijakan itu merupakan cara yang tepat untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM).
Yuliati mengutarakan pengalamannya selama 20 tahun mengelola LSM Yayasan Alit, melakukan upaya-upaya membantu memecahkan masalah anak. Diantaranya perlindungan terhadap perdagangan anak dengan alasan pariwisata.
Alit bekerja menanggulangi masalah anak, yaitu pekerja anak, anak yang dilacurkan, perkawinan anak yang jumlahnya masih tinggi di Indonesia, masalah anak dalam lingkaran konflik dan politik seperti yang dialami anak-anak jadi korban atau bahkan disuruh menjadi pelaku pengeboman.
Juga masalah anak-anak yang korban kekerasan fisik, psikis dan seksual, serta perdagagan. “Masalah anak juga termasuk angka kematian bayi yang tinggi dan kerawanan kesehatan anak,” katanya.