Koleksi Alfred Wallace Menyimpan Misteri Keragaman Hayati
Oleh
Luki Aulia & Aris Prasetyo
·5 menit baca
Selama delapan tahun menjelajahi Kepulauan Nusantara, naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, dan para asistennya, mengumpulkan sekitar 128.000 spesimen yang sebagian besar kupu-kupu, serangga, dan burung. Hampir semua koleksi Wallace yang awet tersimpan di kebun raya serta museum di Inggris dan sejumlah negara menanti untuk dieksplorasi lebih jauh.
Koleksi pribadi Wallace yang kini disimpan di museum dan kebun raya Inggris Raya, seperti Natural History Museum, British Museum, Royal Botanic Garden Kew, Royal Botanic Garden Edinburgh, dan British Library itu sumbangan keluarganya setelah Wallace tiada. Ada juga sumbangan dari keluarga kolektor pribadi yang pernah membeli ”duplikat” koleksi Wallace dari agen Wallace, Samuel Stevens. Selain koleksi pribadi, museum juga rutin membeli ”duplikat” koleksi Wallace seperti yang selalu dilakukan Natural History Museum (NHM) antara 1857 dan 1865.
Ahli biologi dan sejarawan Inggris yang mempelajari Wallace sejak 17 tahun lalu, George Beccaloni, memperkirakan Wallace mengumpulkan 5.000 spesimen fauna baru dan sejumlah pakis dari kepulauan Nusantara. Wallace menyimpan 18 persen spesimen dari 128.000 spesimen yang didapat sebagai koleksi pribadi. Kalau dihitung-hitung, ada 3.000 kulit burung dari 1.000 spesies serta 20.000 kumbang dan kupu-kupu dari 7.000 spesies. Pada 1873, Wallace menjual koleksi spesimen burung ke NHM.
Seusai mengembara Nusantara, Wallace mempelajari kembali seluruh koleksi terbaik untuk menyusun gambaran lebih utuh mengenai proses evolusi dan biogeografi. Hasilnya, ia memublikasikan 21 artikel ilmiah dengan menggambarkan 295 spesies baru (120 kupu-kupu, 70 kumbang, dan 105 burung). Langkah Wallace dilanjutkan para naturalis hingga terbit 350 publikasi. Naturalis generasi selanjutnya berhasil mengidentifikasi 4.700 spesies baru dari spesimen koleksi Wallace. Sekitar 250 spesies kemudian diberi nama wallacii atau wallacei.
Upaya identifikasi spesimen koleksi Wallace masih dilakukan sampai sekarang karena banyak yang masih misteri. Ini bisa terjadi karena kondisi dan informasi spesimen yang tidak lengkap atau ketiadaan ahli yang mampu mengidentifikasi spesimen itu. Kepala Penelitian untuk Kawasan Asia di Bagian Identifikasi dan Penamaan Tanaman, Royal Botanic Gardens, Kew, Andre Scuitman mencontohkan spesimen tanaman tertentu yang masih disimpan di herbarium (ruangan khusus bersuhu dingin untuk menyimpan spesimen) dan belum diidentifikasi karena tak ada ahli kelompok tanaman itu.
”Spesimen bisa disimpan hingga 100 tahun. Kami punya spesimen kering sejak 1800-an. Selama kering dan suhu herbarium di bawah 20 derajat celsius pasti awet. Ada juga koleksi pakis dan anggrek Wallace yang masuk herbarium tahun 1857,” kata Andre.
Dahulu, oleh Wallace, sumbangan tanaman itu hanya diberi label tempat penemuan, yakni Borneo (kini Kalimantan). Kini, spesimen itu sudah dilengkapi dengan tambahan informasi titik koordinat lokasi lengkap dengan foto tanaman dan lingkungan sekitarnya. Saat ini terdapat 7 juta spesimen simpanan Kew di herbarium yang dibangun pada 1872 dengan spesimen tertua teh dari Assam, India. Selain itu, kata Andre, Kew juga memiliki bank benih hidup tanaman dalam kondisi hibernasi yang suatu saat nanti bisa dihidupkan kembali.
Tidak ada satu pun spesimen yang tidak dieksplorasi terus-menerus oleh ilmuwan. Bahkan, dengan kecanggihan teknologi kini data bisa mudah dicari dan diunduh dari situs Kew. Upaya serupa juga dilakukan museum dan kebun raya lain. Harapannya, data bisa diakses dan dimanfaatkan masyarakat untuk mengembangkan sains dan menjaga masa depan keragaman hayati.
Kepala Kebijakan Sains dan Komunikasi di NHM John Jackson menambahkan, 6 juta koleksi flora yang tersimpan di NHM sejak 1650-an merupakan harta karun data bagi riset sains lanjutan atau untuk kepentingan industri. Dengan mempelajari koleksi, ilmuwan diharapkan bisa mempelajari apa yang terjadi pada situasi lingkungan alam masa lalu dan masa kini sehingga bisa memberi rekomendasi terbaik bagi masa depan. ”Untuk membuat kebijakan terkait lingkungan hidup di masa depan, perlu informasi utuh dari pengalaman masa lalu,” ujarnya.
Cegah kepunahan
Koleksi spesimen tak akan ada gunanya jika sekadar dikumpulkan dan disimpan, apalagi jika masuk kebun raya, seperti di Royal Botanic Garden Edinburgh (RBGE), Skotlandia. Ahli Botani Tropis dan Kepala Monografi Sapotaceae di RBGE Peter Wilkie menjelaskan, fungsi kebun raya justru mengupayakan cara menumbuhkan kembali tanaman setelah identifikasi selesai. Namun, diakui Peter, proses mengenali tanaman tertentu tidak mudah. Jika belum ada ahli, spesimen itu akan disimpan. Di herbarium RBGE tersimpan koleksi tertua dari 1697.
Salah satu upaya pelestarian, RBGE sudah dua kali berhasil menumbuhkan tanaman endemis bunga raksasa Rafflesia arnoldii atau bunga bangkai dari Sumatera sejak Juni 2015. Supervisor Kebun RBGE Louise Galloway menjelaskan dalam 24 jam bunga bangkai tumbuh 3 sentimeter dalam rumah kaca bagian ”Tropis Dataran Rendah”. Suhu rumah kaca minimal 19 derajat celsius pada malam hari dan 21-25 derajat celsius pada siang hari. Upaya ini dilakukan karena tanaman ini masuk kategori rawan pada 1997 oleh International Union for Conservation of Nature Red List of Threatened Plants.
”Di rumah kaca kami ada 440 spesies flora dari Indonesia. Kami berusaha menghidupkan kembali tanaman sesuai kondisi tempat asalnya. Namun, masih banyak simpanan spesies yang kami belum tahu,” kata Peter.
Upaya melestarikan tanaman dari Indonesia ini dilakukan bekerja sama dengan Pusat Penelitian Botani Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ahli botani LIPI, Marlina Ardiyani, menjelaskan, kerja sama ilmiah LIPI dan RBGE sudah lama. Kerja sama itu meliputi penambahan koleksi spesimen, penggarapan proyek bersama, pengidentifikasian jenis baru, dan pengembangan sumber daya manusia.
Sementara itu, Direktur British Council Indonesia Paul Smith menambahkan, buku Wallace yang berjudul The Malay Archipelago merupakan gambaran kekayaan sumber daya alam, budaya, agama, dan suku bangsa Indonesia. Karya dan konsep Wallacea adalah warisan bersama Indonesia dan Inggris. British Council berkomitmen mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam upaya konservasi dan perkembangan ilmu pengetahuan di Wallacea.
”Bersama-sama mitra dari Indonesia dan Inggris, kami ingin menginspirasi rakyat Indonesia akan pentingnya ilmu pengetahuan dan merawat keragaman Nusantara,” kata Smith.