Melawan Kepunahan Anoa
Sekilo lima puluh ribu,” kata lelaki itu saat menyebut harga daging anoa di sebuah pasar tradisional di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, awal Maret lalu. Saat itu, Kompas menyamar seolah-olah sebagai pembeli. Ia menjanjikan daging tersebut akan tersedia sepekan kemudian.
Anoa, dalam catatan ProFauna Indonesia, adalah salah satu satwa dilindungi yang masih diperjualbelikan di Sulawesi Utara. Daging anoa, oleh sejumlah masyarakat, diburu untuk dikonsumsi. Selain anoa, satwa endemis Sulawesi lain yang banyak diperdagangkan adalah yaki, si monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra).
Ada dua spesies anoa di Sulawesi, yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi). Ciri fisik yang membedakan keduanya adalah ukuran tubuh, bentuk tanduk, tekstur bulu, dan warna kulit. Dalam daftar merah Badan Konservasi Dunia (IUCN), anoa berstatus terancam punah. Sebuah penelitian pada 1990 menunjukkan bahwa populasi anoa di alam liar Sulawesi diperkirakan hanya 2.500 ekor.
Anoa adalah salah satu satwa yang membuat Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris, kebingungan. Saat berkunjung ke Manado pada Juni-September 1859, ia menulis: ”telah terjadi kontroversi apakah satwa ini digolongkan sebagai lembu, kerbau, atau antelop”. Di masa itu pula, Wallace mencatat, perburuan daging anoa telah mengancam populasi satwa unik tersebut.
Ditangkarkan
Menyadari terus terdesaknya habitat anoa, termasuk populasinya yang sulit diterka, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) mendirikan Anoa Breeding Center (ABC) Manado atau pusat penangkaran anoa pada 2015. Berlokasi di wilayah pinggiran kota yang tenang, saat ini ada 10 anoa yang hidup di penangkaran. Tiga anoa di antaranya merupakan hasil perkawinan di ABC Manado.
Menurut Ady Suryawan, Manajer ABC Manado, perlindungan terhadap anoa sudah dimulai sejak 1931. Dua cara yang dilakukan ketika itu adalah perlindungan di habitat alami (in situ) dan di luar habitat (ex situ). ABC Manado merupakan salah satu bentuk upaya konservasi di luar habitat.
”Secara teknis, pusat penangkaran ini diharapkan dapat menambah populasi anoa lewat penelitian dan pengembangan,” kata Ady.
Sejumlah anoa yang dipelihara di ABC Manado merupakan sitaan dan penyerahan sukarela warga. Bermula dari sitaan seekor anoa oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara pada 2011, tak lama kemudian menyusul penyerahan sukarela tiga anoa betina milik salah satu pejabat di Sulawesi Utara. Keempat anoa itu lantas diserahkan ke BP2LHK.
Secara keseluruhan, hanya satu ekor yang berjenis anoa pegunungan, yaitu yang bernama Stella, betina berusia empat tahun. Anoa lain berjenis dataran rendah yang terdiri dari tiga pejantan dan lima betina. Tiga pejantan itu masing-masing bernama Maesa (1 tahun), Rocky (5 tahun), dan Rambo (7 tahun). Adapun kelima betina lain bernama Rita (5 tahun), Denok (8 tahun), Manis (9 tahun), Ana (7 tahun), dan Anara (1 tahun).
Anoa-anoa itu kini bernaung di kandang berpagar besi tidak beratap dengan luas kandang rata-rata 20 meter persegi untuk setiap ekor. Kecuali Ana dan anaknya, Anara, mereka menempati kandang khusus dalam kebun berpagar dengan luas kira-kira 200 meter persegi. Di setiap kandang terdapat tempat berkubang serta wadah pakan dan minum.
Ada petugas khusus yang berjaga dan merawat anoa-anoa tersebut, termasuk bertanggung jawab menyediakan pakan dan minum anoa. Beberapa jenis pakan yang diberikan untuk anoa di ABC Manado ialah kacang panjang, kangkung, jagung muda, irisan pepaya dan wortel, pisang, buncis, ataupun terong. Di ABC Manado juga bersiaga satu dokter hewan yang mengawasi langsung kondisi kesehatan anoa.
Kendala
Target menambah populasi anoa tak ringan. Sejak anoa jantan masuk ke penangkaran pada 2014, pengembangbiakan tak berjalan mulus. Dari lima kali bunting, hanya dua anoa induk yang melahirkan bayi anoa dengan selamat pada 2017 dan awal 2018. Anakan anoa terakhir yang lahir di ABC Manado adalah hasil perkawinan Denok dengan Rambo pada Rabu (25/7/2018).
Menurut Ady, kegagalan kelahiran tersebut disebabkan, salah satunya, pengetahuan para petugas terbatas. Saat bunting, misalnya, porsi pakan anoa harus diatur sedemikian agar tidak berakibat fatal. Masalah lain, menurut dia, ialah masa birahi anoa jantan yang sulit diketahui. Ternyata, anoa jantan hanya memiliki masa birahi sekali dalam sebulan. Itu diketahui setelah disurvei bersama para peneliti satwa liar.
Pengajar di Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas
Sam Ratulangi, Manado, John Tasirin, mengingatkan, anoa, seperti satwa endemis lain, merupakan indikator ekosistem.
Semakin merosotnya populasi anoa menandakan degradasi ekosistem hutan yang pada gilirannya membawa bencana bagi manusia, seperti banjir dan tanah longsor.
Sementara itu, Pendiri ProFauna Indonesia Rosek Nursahid mengatakan, tidak cukup dengan penegakan hukum, pencegahan perburuan liar satwa dilindungi harus terus dilakukan. Salah satunya dengan menggelar patroli rutin. Cara ini ampuh menekan perburuan satwa dilindungi di alam liar.
”Ancaman utama terletak pada perburuan untuk diperdagangkan. Penegakan hukum, selain patroli rutin, dengan cara memproses kasus pidana perburuan dan perdagangan satwa dilindungi, harus ditegakkan. Selain itu, edukasi ke masyarakat tentang pelestarian satwa endemis juga penting,” ucap Rosek. (APO/LUK/VDL)