Persoalan bahasa kontemporer tak sekadar ketahanan bahasa nasional menghadapi gempuran pengaruh bahasa asing dan kian rapuhnya kompetensi bahasa wartawan yang pengaruhnya wajib diperhitungkan di era media digital ini. Problem masa kini bersifat ekstrinsik: bukan perkara tata bahasa; dan boleh jadi tak berpengaruh langsung pada gejala bahasa jangka pendek, tapi berdampak serius pada cara kita memperlakukan bahasa, sistem komunikasi, dan penghargaan atas nilai kemanusiaan. Khususnya soal ini berhulu di ranah politik.
Secara psikologis, saat berbicara dalam monolog atau dialog, saat berpidato kepada massa atau bercakap-cakap dengan satu atau beberapa orang, pembicara tak begitu saja memilih kata atau menata kalimat. Meski tampak spontan dan seolah tercetus tanpa jeda, untuk tiap kalimat dilontarkan, otak pembicara bekerja berdasarkan pengalaman hidup panjang untuk menyesuaikan diksi dan tata kalimat dengan lawan bicara dan status relasi mereka, serta konteks pembicaraan.
Dua tahun terakhir, politisi menggiring opini kita atas makna kosakata santun demi kepentingan politik mereka. Melebihi banyak kosakata lain yang kerap ditandaskan dalam pernyataan publik, santun menempati posisi istimewa. Perkara bahasa lazimnya ialah soal pengetahuan praktis dan netral, tapi naif jika kita diam terperangkap netralitas tak kritis, atau menutup pikiran dari pengaruh ekstrinsik (politik) yang menjerumuskan dalam bencana moral dan sosial karena kita serampangan berbahasa.
Manakala politikus memanipulasi kosakata seenak lidah, kita wajib saling mengingatkan dan meluruskan makna. Bahasa tak hanya soal bertutur baik dan benar. Lebih dari itu, bahasa ialah fondasi kultural, moralitas, dan ikrar visi bangsa.
Kata santun mendadak jadi jargon ”perjuangan” sejumlah politikus saat seorang pejabat kota dalam berbagai pemberitaan pers kerap dikutip melontarkan interjeksi yang ceplas-ceplos dalam pernyataan publik. Lawan-lawan politiknya tak peduli meski gaya pribadi pejabat itu ditujukan pada bawahan yang kinerjanya di bawah standar atau terhadap pihak yang diindikasikan memanipulasi anggaran pembangunan.
Akhirnya, tiba waktunya pemilihan kepala daerah dan berbulan-bulan kata santun jadi jargon politik paling lantam untuk menyudutkan petahana. Boleh dibilang, inilah pemilihan pejabat kota paling dramatis, menguras emosi warga kota, dan menghimpun kepedulian dari segenap pelosok negeri. Akhirnya, terpilihlah sepasang pejabat baru. DPRD dan warga kota berharap mereka berdua jadi teladan kesantunan.
Menurut kamus, santun adalah halus dan baik budi bahasa dan tingkah laku; sabar, tenang, dan sopan; welas asih dan penolong. Tercakup dalam makna itu sikap kepemimpinan: mengayomi. Jika kita telaah saksama, kesantunan tak sebatas tutur kata. Maknanya menuntut penerapan dalam perilaku, terlebih pada pemimpin, sebab santun ialah watak khusus yang wajib melekat pada pemimpin. Patut digarisbawahi, santun bukan lemah atau lembek, atau lamban. Sebaliknya, tegas bukan lawan kata santun. Santun ialah inti konsistensi dan kekuatan jiwa kepemimpinan.
Pemimpin santun luwes menempatkan diri di struktur kepemimpinan. Bijak menerima kritik. Tak mudah menyalahkan pihak lain saat kebijakan ataupun penerapannya keliru. Ia taat prosedur sehingga tak menyepelekan bawahan jika memecat. Sikap santun jadi benteng jiwa pemimpin dari sinisme diri saat ia harus mengakui ketidakmampuan di satu sektor atau menerima koreksi lembaga lain yang sejajar atau lebih tinggi. Orientasinya ialah mewujudkan kesejahteraan warga dengan adab luhur.