JAKARTA, KOMPAS — Guru memiliki peran besar untuk menciptakan ruang belajar yang menyenangkan. Oleh karena itu, guru dituntut menghadirkan iklim belajar positif sehingga memberi ruang bagi murid untuk mengembangkan potensi dan menjauhkan perilaku negatif. Zaman pun menuntut agar guru tak lagi galak.
Psikolog klinis anak dan remaja sekaligus dosen di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Naomi Soetika mengatakan, pola guru mengajar dan mendidik harus diubah seiring dengan perubahan zaman.
”Guru harus bisa menciptakan iklim belajar yang positif di kelas,” kata Naomi saat menjadi pembicara pada seminar ”Strategi Mengajar di Kelas”. Seminar itu diselenggarakan PT Melintas Cakrawala Indonesia, Sabtu (15/9/2018), di Jakarta.
Naomi menjelaskan, iklim yang positif di kelas bisa diciptakan melalui atmosfer emosi. Guru perlu mendorong relasi antarteman atau siswa untuk saling menghargai. Selain itu, guru perlu membuat kompetisi yang positif. Dalam hal ini, guru harus obyektif, tidak boleh memihak satu murid atau murid yang cerdas.
Guru pun perlu berinteraksi secara personal dengan muridnya. Ini bertujuan untuk mengenal potensi kecerdasan dan profil kepribadian murid. ”Bukan kekurangan dari siswa yang diekspos, tetapi sebaliknya fokus pada kelebihan sehingga tumbuh kepercayaan diri pada siswa. Setelah itu, guru bisa mulai meningkatkan hal yang kurang dari murid,” kata Naomi.
Berdasarkan pengalaman yang didapat, ia menuturkan, iklim belajar yang positif harus diciptakan. Jika pola mengajar guru Indonesia tidak mengedepankan sisi kreativitas, potensi pada diri anak akan terkubur. Kelas pun harus menyenangkan dan menjadi tempat untuk menggali potensi anak.
Sekolah ramah anak
Naomi mengatakan, jangan ada lagi hukuman di sekolah. Pendekatan hukuman juga tidak lagi relevan. Hukuman yang diberikan untuk mendisiplinkan anak justru membuat anak tidak berkembang dan merusak iklim di kelas atau di sekolah.
Hukuman berefek buruk kepada anak. Efek buruk itu antara lain membuat mereka takut, merasa tidak aman, merasakan kebencian atau tertekan, dan bahkan bisa membuat mereka lepas kendali. Disiplin bisa diajarkan dengan jalan memberikan penghargaan dan apresiasi kepada peserta didik.
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi atau akrab disapa Kak Seto menuturkan, tanpa disadari banyak kekeliruan cara belajar di kelas.
Seto memberi contoh sederhana, yaitu murid akan senang ketika sekolah diliburkan atau mereka pulang cepat karena guru rapat. ”Kenapa? Karena sekolah menjadi penjara. Karena sistem pembelajaran yang tidak nyaman,” ujarnya.
Seto menambahkan, kasus pendidikan di Indonesia yang selalu diwarnai dengan tawuran, perundungan, narkoba, dan perilaku lain negatif lain adalah cermin pendidikan di Indonesia.
”Orangtua, guru, lembaga pendidikan, dan pemerintah perlu membuka diri dan bertanggung jawab terhadap pendidikan di Indonesia, terutama terhadap perilaku negatif anak,” ujarnya.
Anak mempunyai keunikan, kreativitas, dan potensi. Namun, itu semua tidak tersalurkan karena pendidikan itu belum menyentuh seluruh aspek kemampuan anak.
Oleh karena itu, menurut Seto, pendidikan karakter perlu diperkuat di sekolah. Ada nilai-nilai luhur yang perlu diberikan, seperti sopan santun, rendah hati, penuh hormat, tidak mudah putus asa, semangat, dan kreatif.
Selain itu, ada standar isi yang terpenuhi, seperti etika, estetika, iptek, dan nasionalisme. ”Sekolah dan pendidikan adalah hak, bukan kewajiban. Itu harus dipahami. Suasana belajar harus berpihak pada hak anak dan jadikan pendidikan Indonesia berkarakter,” ujarnya.
Naomi meminta guru bisa membuat anak-anak senang saat mengikuti proses belajar. Agar suasana lebih menyenangkan, guru diminta tak memberikan suasana tegang saat masuk kelas. Dengan demikian, semangat belajar murid tumbuh.
Ia juga menyampaikan agar anak diberi ruang supaya bisa berpikir kreatif. Caranya adalah dengan membuka dialog serta tidak membantah dan menyalahkan argumen murid. (AGUIDO ADRI)