JAKARTA, KOMPAS — Kalangan remaja rentan mengalami kesehatan jiwa akibat perubahan emosi dan sosial. Jika dibiarkan, remaja akan terjerumus ke dalam perilaku tidak sehat sampai bunuh diri. Perlu usaha preventif menjaga kesehatan jiwa remaja demi menopang tumbuh kembang mereka jadi generasi yang tangguh.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Eka Viora menegaskan, masalah kesehatan jiwa khususnya di Indonesia harus ditanggapi serius karena SDGs tidak akan tercapai jika kesehatan jiwa remaja tidak diperhatikan terutama untuk usia 15 hingga 19 tahun.
“Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2018 menjadi momentum bersama agar generasi muda tumbuh dan sehat jiwa menghadapi perubahan dunia. Itu fokus kita secara bersama,” ujarnya, Selasa (2/10/2018), di Jakarta.
Ia mengungkapkan, akibat perubahan emosi dan sosial, termasuk akibat kemiskinan, abuse, atau tindak kekerasan dapat menyebabkan remaja rentan terhadap masalah kesehatan jiwa.
WHO menyatakan, separuh dari gangguan kejiwaan dimulai dari usia sekitar 14 tahun. Namun, sebagian besar kasus tidak terdeteksi dan tidak tertangani. Sementara data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, prevalensi gangguan mental dengan gejala depresi dan kecemasan mencapai sekitar 14 juta orang untuk usia 15 tahun ke atas. Ini berarti 6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Untuk prevalensi gangguan jiwa berat, di antaranya skizofrenia, 400.000 orang atau 1,7 per 1.000 penduduk.
Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Indra Laksmi Gamayanti, depresi merupakan kasus yang banyak dialami oleh orang muda, yang apabila tidak ditangani dapat mengarah pada terjadinya bunuh diri, penggunaan alkohol dan obat terlarang, perilaku tidak sehat dan berisiko dan lainnya. Semua itu merupakan isu-isu kesehatan mental yang banyak dialami oleh generasi muda.
Eka Viora menambahkan, buruknya kesehatan jiwa remaja dapat terjadi karena beberapa alasan seperti kurang pengetahuan atau kesadaran tentang kesehatan jiwa diantara tenaga kesehatan atau stigma yang mencegah mereka untuk mencari pertolongan.
Intervensi yang dapat dipertimbangkan pada remaja adalah, pentingnya deteksi dini dan penyediaan intervensi berbasis bukti untuk gangguan jiwa dan penggunaan zat pada remaja. Untuk itu kementerian kesehatan menggunakan pedoman dari WHO yaitu mental healthGold Action Program (WHO’s mhGAP).
“Dengan program ini kami akan memperkuat sistem pelayanan kesehatan di Puskesmas. Para tenaga medis (dokter dan perawat) akan mendapat pelatihan terkait pedoman WHO’s mhGAP. Di dalamnya tersedia pedoman berbasis bukti agar tenaga kesehatan dapat mengidentifikasi dan mendukung prioritas kesehatan jiwa remaja,” ujar Eka.
Menghapus stigma
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan, stigma masih terjadi pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Stigma ini justru membuat keadaan semakin memburuk. Untuk itu, Kementerian Kesehatan mendorong sistem layanan kesehatan seperti Puskesmas yang ramah untuk anak dan remaja.
Unit Kesehatan Sekolah (UKS) juga menjadi perhatian Kementerian Kesehatan, Anung menuturkan, UKS menjadi pintu masuk untuk mendeteksi kesehatan jiwa.
Eka meminta, tidak ada lagi anggapan bahwa anak yang masuk UKS atau menghadap ke guru konseling dianggap anak yang bermasalah dan nakal. Justru sebagai pendidik bisa melindungi dan mengerti permasalahan anak didiknya. “Murid yang mendapat bimbingan konseling justru dimarah,” lanjut Eka.
Stigma masih menjadi permasalah kesehatan jiwa pada remaja. Eka mengatakan, justru lingkungan terdekat menjadi aktor yang melakukan atau memberi cap negatif kepada remaja.
Eka menambahkan, kepedulian terhadap kesehatan jiwa remaja harus menjadi perhatian bersama. Tumbuh kembang sosial dan psikologis remaja harus dikelola untuk melindungi remaja dari pengalaman buruk dan faktor risiko yang dapat memengaruhi potensi mereka untuk berkembang, kesehatan fisik, dan mental pada masa dewasa.
Menurut Gamayanti, keluarga juga memiliki peran untuk perkembangan kesehatan jiwa anak. Orangtua yang memiliki tutur bahasa yang baik akan menghasilkan jiwa yang sehat pada anak. Begitu juga sebaliknya orangtua yang kasar baik perilaku dan ucapan akan membuat kesehatan anak terganggu.
“Orangtua jangan pernah membandingkan anaknya dengan anak orang lain, misalnya jika mendapat nilai atau IPK jelek dan mengeluarkan kata-kata negatif. Anak akan merasa terpukul,” ujar Gamayanti. (Aguido Adri)