Waspadai Ancaman Polio dari Papua Niugini
JAYAPURA, KOMPAS—Daerah perbatasan Indonesia-Papua Niugini di Provinsi Papua harus waspada menyusul terjadinya wabah polio di negara Papua Nugini dalam beberapa bulan terakhir. Kemampuan mencegah terinfeksi virus polio sangat bergantung pada kekebalan lingkungan yang terbentuk melalui imunisasi dan surveilans yang baik.
Saat dihubungi dari Jayapura, Rabu (17/10/2018), Kepala Bidang Pencegahan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aaron Rumainum, mengatakan, ada kejadian luar biasa (KLB) polio di Papua Niugini. Total ada sebanyak 18 kasus polio yang tersebar di tujuh provinsi di Papua Nugini.
"Kondisi ini sangat berbahaya bagi anak-anak Papua di perbatasan. Terdapat lima kabupaten/ kota di Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini, yaitu Pegunungan Bintang, Keerom, Merauke, Boven Digoel, dan Kota Jayapura,” katanya.
Terdapat lima kabupaten/ kota di Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini, yaitu Pegunungan Bintang, Keerom, Merauke, Boven Digoel, dan Kota Jayapura.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono, menyatakan, sebagai langkah pencegahan dan seiring pelaksanaan Kampanye Nasional Imunisasi Campak-Rubela, sejak September 2018 anak-anak di lima kabupaten/kota itu tak hanya mendapat vaksinasi campak-rubela (Measles-Rubella/ MR) tetapi campak-rubela-polio (Measles-Rubella-Polio/ MRP). Harapannya, anak-anak di perbatasan bisa tercegah dari infeksi polio.
Indonesia saat ini bergantung pada Papua untuk mencegah virus polio dari Papua Niugini masuk ke Tanah Air. "Kalau Papua jebol bisa bahaya bagi Indonesia terlebih saat ini masih ada beberapa daerah di Papua yang cakupan imunisasinya kurang bagus,” ujarnya.
Data Kemenkes menunjukkan, tren cakupan imunisasi polio 4 Provinsi Papua sejak tahun 2014 hingga 2017 menurun. Tahun 2014 cakupannya 59,2 persen, turun jadi 56,1 persen tahun 2015, naik kembali menjadi 58,3 persen tahun 2016, dan anjlok jadi 41,7 persen tahun 2017.
Namun, menurut Aaron, dari lima daerah di perbatasan masih ada dua kabupaten yaitu Pegunungan Bintang dan Kota Jayapura, yang cakupan MRP-nya belum sampai 90 persen. Cakupan imunisasi MRP di Pegunungan Bintang baru mencapai 32,74 persen sedangkan di Kota Jayapura sebesar 86,42 persen.
Pihaknya berhasil meningkatkan cakupan imunisasi MRP di Merauke, Boven Digoel, dan Keerom berkat komitmen dari pemerintah daerah setempat yang menyediakan anggaran untuk sarana transportasi serta sosialisasi bagi masyarakat secara intensif.
Sementara di Pegunungan Bintang, masalah yang terjadi adalah terbatasnya anggaran untuk menyewa pesawat. Akibatnya imunisasi MRP di lima puskesmas belum terlaksana hingga kini. Adapun di Kota Jayapura, masih ada penolakan di sejumlah sekolah terkait isu sertifikasi halal vaksin MRP. Akibatnya, sosialisasi imunisasi dari pemerintah daerah tidak maksimal.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pegunungan Bintang Jeremias Tapyor mengakui, pihaknya terkendala biaya untuk menyediakan pesawat bagi tenaga medis dalam kegiatan imunisasi. "Kegiatan imunisasi di enam distrik belum terlaksana. Sesuai agenda nasional, seharusnya imunisasi bagi anak di bangku sekolah tuntas akhir Agustus lalu. Sayangnya, kami belum menyelesaikannya karena tak memiliki biaya transportasi udara, " ungkapnya
Bebas polio
Indonesia telah dinyatakan bebas polio oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2014. Sementara Papua Nugini mencapai status bebas polio jauh lebih awal, yakni sejak tahun 2000.
Namun, dalam laporan Respons Wabah Polio pada 100 Hari Pertama yang disusun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Unicef, Global Polio Eradication Initiative, dan Pemerintah Papua Nugini, disebutkan kasus penularan virus polio di Papua Niugini kembali muncul sejak Juni 2018.
Virus polio yang ditemukan berasal dari vaksin polio yang bermutasi setelah terbuang melalui feses di lingkungan (Vaccine-Derived Polio Virus tipe 1/ VDPV1). Virus itu berhasil diisolasi dari seorang anak berusia 6 tahun di Provinsi Morobe. Virus serupa juga didapatkan dari dua anak yang sehat di lingkungan yang sama. Itu membuktikan virus polio tersebut bersirkulasi di lingkungan.
Papua Niugini masih menggunakan vaksin polio tetes (Oral Polio Vaccine/ OPV) yang memakai virus hidup yang dilemahkan dan efektif untuk mencegah virus polio tipe 1,2, dan 3. Virus itu berpeluang bereplikasi dalam saluran cerna dan terbawa ke lingkungan bersama kotoran.
Virus di lingkungan itu bisa bermutasi meski peluangnya 1 dari 2,7 juta dosis (Kompas, 14/3/2016). Adapun Indonesia kini sudah menggunakan vaksin polio IPV (Inactivated Polio Vaccine) yang dibuat dari virus polio tidak aktif dan diberikan dengan cara disuntikkan.
Sejak saat itu hingga 30 September 2018, ketika laporan dibuat, tercatat 14 kasus polio di Papua Niugini. Sebagai respons, vaksinasi polio lalu dilakukan dalam dua tahap untuk melindungi balita. Tahap pertama vaksinasi menyasar 303.907 anak di tiga provinsi dan tahap kedua menyasar 690.953 anak di 9 provinsi.
Sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Australia pun telah mengeluarkan imbauan kepada warganya yang akan bepergian ke Papua Niugini untuk menjalani imunisasi polio sebelum berangkat.
Promosi kesehatan lemah
Sementara itu, saat pembukaan Forum Ilmiah Tahunan (FIT) IV Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) di Bandar Lampung, Rabu (17/10/2018), Ketua Umum IAKMI Ridwan Mochtar Thaha, berpendapat, masyarakat amat rentan untuk sakit karena lemahnya upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan pun kini justru lebih disibukkan oleh urusan kuratif dan administrasi kapitasi sebagai pertanggungjawabannya sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Kasus Asmat akhir tahun lalu dan cakupan imunisasi MR di luar Pulau Jawa yang sekarang baru sekitar 60 persen menjadi salah satu contoh promosi kesehatan dan surveilans tidak berjalan. Di satu sisi prevalensi merokok pada anak muda tinggi. Perokok dari kelompok umur 15-19 meningkat dua kali lipat dari 12,7 persen tahun 2001 menjadi 23,1 tahun 2013.
Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) Tahun 2016 juga menunjukkan, 54,8 persen laki-laki umur 15-25 tahun adalah perokok. Padahal, merokok adalah salah satu faktor risiko utama penyakit tidak menular yang membebani Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ridwan menekankan, urusan kesehatan tak pernah tuntas tanpa peran tenaga kesehatan masyarakat yang optimal. Gerakan Masyarakat Hidup Sehat yang digulirkan pemerintah tidak berjalan jika kondisi puskesmas seperti saat ini. Dengan menjadi FKTP, puskesmas fokus pada upaya kuratif. Tidak ada, misalnya, upaya memantau ibu hamil, kecukupan gizinya, perencanaan kehamilan, dan persalinannya. “Surveilans penyakit juga apakah jalan,” ujarnya.
Menurut Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Subandi Sardjoko, tidak hanya jumlahnya yang mencukupi tenaga kesehatan yang berkualitas juga harus disiapkan agar Indonesia bisa mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Sementara itu, Presiden Joko Widodo dalam Kongres XIV Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia di Jakarta, kemarin, mengingatkan agar defisit dan keterlambatan pembayaran biaya operasional rumah sakit dari BPJS Kesehatan tak terjadi lagi. BPJS Kesehatan diharapkan membenahi manajemen pembayaran tagihan dari RS. (NINA SUSILO/INSAN AL FAJRI)