JAKARTA, KOMPAS—Pemulihan daerah bencana, khususnya Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat, belum memberi ruang bagi kontribusi ilmuwan. Padahal, pemahaman mekanisme bencana dan risiko berdasarkan data ilmu pengetahuan diperlukan demi membangun kembali area terdampak bencana.
Menurut Irina Rafliana dari Center for Interdisciplinary and Advanced Research-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, di Jakarta, Selasa (4/12/2018), peminggiran peran ilmuwan dan ilmu pengetahuan itu bisa dilihat dari keputusan presiden dan instruksi presiden terkait penanganan bencana. Itu juga bisa dilihat dari penyusunan rencana induk rehabilitasi daerah terdampak bencana yang dinilai terburu-buru.
Presiden menetapkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2018 tentang Satuan Tugas Penanggulangan Bencana untuk Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, dan Daerah Terdampak Lain. Presiden juga menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi dan Tsunami di Sulawesi Tengah dan Daerah Terdampak Lain.
”Dalam inpres itu, peran Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dalam pemulihan bencana direduksi jadi semata-mata memikirkan mahasiswa korban bencana. Padahal, seharusnya bisa lebih dari itu,” kata Irina.
Dalam inpres itu, peran Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dalam pemulihan bencana direduksi jadi semata-mata memikirkan mahasiswa korban bencana. Padahal, seharusnya bisa lebih dari itu.
Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Udrekh, mengatakan, kajian ilmiah dari para peneliti amat penting dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Di Jepang, misalnya, ilmuwan berperan penting menjadikan mereka meningkatkan ketangguhan dari tiap kejadian bencana.
Ia mencontohkan, sebelum gempa dan tsunami Jepang 2011, mereka sebenarnya telah mempersiapkan teknologi mitigasi cukup baik mulai dari mempersiapkan penghalang ombak, pepohonan, dan lain-lain. Namun, gempa yang terjadi lebih besar dari perhitungan mereka, sehingga desain mitigasinya juga menjadi keliru. "Tapi proses kajian, implementasi, rehabilitasi dan upaya antisipasi untuk ancaman selanjutnya bisa kita lihat sekarang," ucapnya.
Desain ulang
Menurut Udrekh, upaya mendesain ulang di Jepang pasctsunami 2011 telah memanfaatkan ilmuwan seoptimal mungkin. "Ini menuntut permahaman mengenai gempa dan tsunami yang baik dan juga berbagai pemodelan untuk antisipasi ancaman ke depan," katanya.
Peneliti tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Abdul Muhari meminta pemerintah tidak terburu-buru memutuskan model pembangunan di daerah bencana sebelum mekanisme bencana dan ancamannya ke depan dipahami dengan baik.
Sebagai contoh, sebelum Pemerintah Jepang merelokasi warga di daerah terdampak tsunami 2011 dilakukan kajian mendalam, termasuk mekanisme tsunami dan risiko perulangannya ke depan. Setelah diputuskan relokasi, dilakukan pertemuan dengan warga yang frekuensinya bisa mencapai puluhan kali di tiap komunitas.
Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia Gegar Prasetya mengingatkan, Indonesia saat ini memiliki sejumlah peneliti dan ahli di bidang tsunami, selain kegempaan. Karena itu pelibatan mereka penting agar proses pembangunan kembali ke depan bisa memiliki dasar yang kuat.
Selain itu, pemerintah diminta tidak buru-buru menyetujui usulan pembangunan tanggul laut di Teluk Palu, yang menurut dia tidak akan efektif mengatasi tsunami yang gelombangnya panjang sehingga bisa melewati tanggul. "Tsunami Jepang 2011 menunjukkan tanggul tsunami tidak efektif," ujarnya.
Sosiolog LIPI yang juga Tim Pengarah Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana menegaskan, bencana alam juga merupakan persoalan sosial budaya. Oleh karena itu, selain ilmuwan dari ilmu alam, pelibatan ilmuwan sosial dibutuhkan sejak dari tahap sebelum hingga sesudah bencana. "Mudah-mudahan presiden bisa merevisi kepres dan inpres kebencanaan ini," ucapnya.