Pertaruhan Masa Depan Manusia
Pemanasan global dan perubahan iklim adalah isu eksistensi. Beragam penelitian merekam dampak pemanasan global dan perubahan iklim, keduanya adalah dua sisi mata uang. Kesimpulannya, jika tak mengambil kebijakan alternatif, ekosistem akan hancur, demikian pula eksistensi manusia.
Kabar terbaru datang dari pertemuan American Geophysical Research Union di Washington DC, Rabu (12/12/2018), seperti dilaporkan BBC.com. Pemaparan Arctic Report Card hasil penelitian University of Virginia menemukan, dalam 20 tahun terakhir, jumlah rusa kutub (Rangifer tarandus) di Arktik berkurang lebih dari separuh. Dari 5 juta jadi 2,1 juta.
Iklim lebih hangat membuat tanaman tinggi tumbuh lebih cepat, mengalahkan rerumputan. Maka, rerumputan berkurang. Hujan yang bertambah telah membeku karena menimpa es mengakibatkan lapisan es menebal sehingga rusa sulit menembus untuk merumput.
Iklim yang hangat juga mendatangkan serangga sehingga rusa kutub butuh banyak energi untuk mengusir atau bersembunyi dari serangga. Saat ini bagian wilayah Antartika Timur pun, menurut para ahli, ”telah bangun”. Hal ini tak pernah terjadi: kedua ujung, utara-selatan, planet Bumi berubah akibat iklim.
Dampak luas
Dampak langsung dari pemanasan global dan perubahan iklim sering kali disampaikan secara ringkas: kenaikan muka air laut, pola cuaca yang tak lagi teratur akibat perubahan pola iklim, dan mencairnya es di kutub. Padahal, pada hakikatnya, dampak perubahan iklim dan pemanasan global jauh lebih luas dari apa yang pernah diketahui.
Dampaknya berbeda di setiap ekosistem. Beberapa fenomena tidak mudah untuk dihubungkan dengan perubahan iklim secara langsung. Parameter-parameter dalam sistem atmosfer, permukaan bumi, dan lapisan di antaranya demikian kompleks sehingga selama ini semua proyeksi senantiasa didasarkan pada pemodelan.
Fakta yang baru diungkapkan pada pertemuan American Geophysical Research Union (AGRU) melihat pada emisi gas metana di Arktik. Pengamatan oleh satelit Advanced Land Observing Satellite (ALOS) milik Jepang menemukan, lapisan tanah beku (permafrost) di Arktik telah berubah menjadi danau karena air beku dalam rongga tanah meleleh akibat pemanasan global.
Zat-zat organik dalam tanah tersebut diuraikan oleh mikroba dan melepas metana-gas ini mudah terbakar di udara bebas. Gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca (GRK) yang dominan di samping karbon dioksida.
Sejumlah kejadian diyakini sebagai dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Sebagian lagi bisa dipandang sebagai peristiwa biasa, seperti gelombang panas di Eropa dan gelombang hawa dingin di AS.
Di bidang kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, perubahan iklim memengaruhi kondisi sosial dan lingkungan yang berdampak pada kesehatan. Hal itu meliputi antara lain udara bersih, air minum yang aman, ketercukupan pangan, dan rumah sehat.
Menurut proyeksi, antara 2030 dan 2050 faktor perubahan iklim bisa menyebabkan 250.000 kematian per tahun lebih banyak. Kematian disebabkan malanutrisi, malaria, diare, dan hawa panas. Pada 2030 biaya kesehatan diperkirakan naik jadi 2-14 miliar dollar AS per tahun dari sektor pertanian, air, dan sanitasi.
Udara panas ekstrem juga memicu kematian langsung karena gangguan kardiovaskular dan pernapasan, terutama pada orang usia lanjut. Gelombang hawa panas 2003 di Eropa menyebabkan 70.000 kematian. Udara panas juga menyebabkan semua unsur alergen di udara meningkat. Penderita asma menjadi rentan.
Adaptasi terabaikan
Di Indonesia, perubahan iklim tak diragukan lagi telah hadir. Daerah yang secara klimatologi kering semakin kering. Sebaliknya, yang basah meningkat intensitas hujannya. Pola hujan dan perilaku badai tropis pun berubah. Segenap perubahan ini menuntut adaptasi baru.
Para peneliti mengingatkan, Indonesia harus mewaspadai kekeringan dan defisit air karena tren hujan terus berkurang. Kajian yang dipublikasikan jurnal Asia-Pacific Network (APN) for Global Change Research, 22 Agustus 2018, menunjukkan, deret hari kering dalam setahun di Indonesia bertambah panjang hingga 20 persen saat suhu global meningkat 2 derajat celsius.
Curah hujan akan turun signifikan di Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur. Sementara daerah-daerah dataran tinggi, Sumatera bagian utara serta sebagian Kalimantan dan Papua, lebih basah.
Masalahnya, Jawa dan Bali adalah lumbung beras terbesar di negeri ini. Dampak itu akan menjadi pukulan besar. Pemerintah dituntut mengubah pola tanam dan mencari komoditas pertanian yang sesuai. Penyeragaman pangan dengan program padi, jagung, dan kedelai (pajale) serta pencetakan sawah baru jelas tidak sesuai pola iklim ini.
Penelitian Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) oleh Siswanto (2015) menemukan, kenaikan suhu rata-rata 1,6 derajat celsius di Jakarta dalam kurun 130 tahun melampaui kenaikan suhu global 0,85 derajat celsius.
Akibatnya, intensitas hujan berkurang, tetapi intensitas hujan ekstrem dalam waktu pendek naik hingga di atas 150 milimeter per hari, dulu amat jarang. Curah hujan ekstrem bisa memicu banjir dan longsor. Jumlah korban naik dari tahun ke tahun.
Tren pemanasan global mengubah pola badai tropis. Umumnya, badai tropis terbentuk minimum 500 kilometer dari khatulistiwa. Kini, siklon tropis terbentuk dan melintas dekat Indonesia.
Siklon tropis Rosie (2008) di barat Banten, Kirrily di sekitar Kepulauan Kei, Inigo bibitnya melintasi Nusa Tenggara, dan badai tropis Vamei (2001) diklaim paling dekat khatulistiwa. Siklon tropis Cempaka dan Dahlia pun amat dekat Jawa.
Sementara langkah mitigasi tertuang di Komitmen Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contributions) dibayangi kebijakan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil: batubara.
Efisiensi energi pun tak didorong penuh. Padahal, efisiensi energi berkontribusi 40-50 persen pengurangan emisi sektor energi. Biaya investasi energi terbarukan tinggal sepertiga dari saat awal dikenalkan.
Semua temuan, fakta, dan data mengonfirmasi dampak pemanasan global dan perubahan iklim sekaligus temuan aksi alternatif untuk mengurangi dampak atau mengatasi.
Semua negara harus bergegas mengadopsi temuan-temuan itu dan mengambil aksi nyata. Mesti konsensus panduan Kesepakatan Paris untuk mencegah kenaikan rerata suhu global 1,5 derajat celsius di atas era pra-industri.
Maka, kita pantas prihatin ketika negara-negara pengemisi besar, seperti Amerika Serikat, Brasil, serta negara-negara penghasil minyak, Arab Saudi dan Kuwait, menafikan hasil kajian Panel Ahli Perubahan Iklim tentang kenaikan rerata suhu global 1,5 derajat celsius. Hari-hari terakhir negosiasi di Katowice, Polandia, berubah jadi detik-detik pertaruhan masa depan kemanusiaan.
(AIK/ICH/ISW)