Peringatan Awal Krakatau
Sebanyak 429 orang meninggal dunia dan 154 orang hilang akibat tsunami yang menerjang pesisir Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12) malam. Padahal, bencana kali ini bukanlah ancaman terbesar di Selat Sunda. Letusan Gunung Krakatau 135 tahun lalu telah memicu tsunami hingga lebih dari 20 meter danmenewaskan 36.417 jiwa.
Letusan gunung api di Selat Sunda pada 27 Agustus 1833 merupakan salah satu yang terkuat dalam sejarah, dengan level 6 skala Volcanic Explosivity Index (VEI). Letusan ini hanya kalah dari letusan skala 7 Gunung Tambora tahun 1815 dan letusan skala 8 Gunung Toba di Sumatera Utara, 74.000 tahun lalu.
Letusan Krakatau disebut berkekuatan 21.574 kali lipat daya ledak bom atom yang meleburkan Hiroshima (De Neve, 1984). Tak hanya melenyapkan seluruh Pulau Krakatau, letusan itu juga menghancurkan kehidupan di pesisir Banten dan Lampung.
Kengeriannya dilukiskan dalam catatan pribumi, seperti ”Syair Lampung Karam” yang ditulis Muhammad Saleh dan dalam sejumlah catatan kolonial.
Setelah letusan yang menghancurkan tubuh gunungnya sendiri, pada 29 Desember 1927, Anak Krakatau terlahir kembali. Sejak itu, gunung ini tumbuh sangat pesat. Menurut Suhadi (2004), pada tahun 1983, luas Anak Krakatau mencapai 156,75 hektar (ha) dengan ketinggian 201,5 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tahun 2004, luasnya menjadi 212,5 ha dan tinggi 286,63 mdpl. Pengukuran Pusat Vulkanologi, dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pada September 2018, Anak Krakatau telah mencapai ketinggian 338mdpl.
Cepatnya pertumbuhan Anak Krakatau tak lepas dari keaktifan geologi di kawasan ini. Anak Krakatau berada di zona tumbukan atau subduksi, antara kerak dasar Samudra Indo-Australia dan kerak Benua Asia. Di daerah ini, gunung api mempunyai daya tumbuh intrusif sebesar 93 persen dan secara ekstrusif 7 persen (Wohletz dan Heiken, 1972).
Pertumbuhan intrusif mencerminkan besarnya volume magma yang menerobos kulit bumi dan kemudian membentuk batuan beku terobosan di bawah gunung api. Pertumbuhan secara ekstrusif adalah erupsi magma ke permukaan bumi, baik secara eksplosif maupun secara leleran, menghasilkan bahan piroklastika dan aliran lava, yang pada akhirnya akan membangun tubuh kerucut gunung api muda yang labil.
Seiring tumbuhnya Anak Krakatau, pesisir Banten dan Lampung kembali disesaki penduduk, bahkan kemudian tumbuh menjadi pusat pertumbuhan industri strategis dan wisata. Di Banten saja, setidaknya ada 7 kawasan industri strategis, 2 pembangkit listrik, 4 kawasan pariwisata, dan berbagai fasilitas ekonomi rakyat. Lebih mengkhawatirkan lagi, di dalam kawasan industri ini terdapat 35 industri pengolah bahan kimia berikut 26 pelabuhan kimia.
Artinya, bencana letusan ataupun tsunami berpotensi mengakibatkan bencana ledakan kimia ataupun gas beracun yang mengancam lebih 500.000 jiwa di Cilegon, Serang, dan Pandeglang. Studi Fatma Lestari dan tim (2018) menyebutkan potensi bencana katastropik di kawasan industri Cilegon, jika risiko benana ini tidak dikelola dengan baik.
Padahal, ancaman bencana di pesisir Selat Sunda sebenarnya tidak hanya berasal dari Krakatau. Kawasan ini juga menyimpan potensi gempa besar yang tak kalah mematikan. Dalam Peta Sumber Gempa Bumi Nasional 2017 disebutkan, potensi gempa bumi di Selat Sunda bisa mencapai M 8,7.
Kajian Yudhicara dan K Budiono (2008) menyebutkan, tsunamigenik atau sumber tsunami di Selat Sunda ini berasal dari beragam sumber. Disebutkan, dari 19 kali tsunami di Selat Sunda yang didata Soloviev dan Go (1974), tiga di antaranya disebabkan erupsi Anak Krakatau, yaitu pada tahun 416, 1883, dan 1928. Sedangkan tsunami yang dipicu gempa bumi terjadi pada tahun 1722, 1852, dan 1958. Penyebab lainnya, akibat longsoran baik di kawasan pantai maupun di dasar laut, yaitu pada tahun 1851, 1883, dan 1889.
"Tsunami dari runtuhnya sebagian tubuh Anak Krakatau ini bukan yang terburuk yang bisa terjadi. Ini baru peringatan awal," kata Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia Gegar Prsetya. Berdasarkan kajian yang pernah dilakukannya pada tahun 2008, jika Anak Krakatau yang runtuh lebih besar, ketinggian air di sepanjang Anyer, Carita, dan Labuan, bisa mencapai 7 meter.
Tsunami dari runtuhnya sebagian tubuh Anak Krakatau ini bukan yang terburuk yang bisa terjadi. Ini baru peringatan awal.
Peringatan dini
Secara teknis, tsunami di pesisir Selat Sunda sebenarnya bisa diantisipasi melalui sistem peringatan dini. Masalahnya, sistem peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS) yang dibangun sejak 2008, hanya disiapkan mengantisipasi tsunami yang dipicu gempa bumi. Sistem ini tidak disiapkan untuk antisipasi tsunami dari gunung api atau longsoran bawah laut.
Ahli tsunami dari Institut Teknologi Bandung Hamzah Latief mengatakan, secara teknis tsunami dariKrakatau bisa dideteksi dini. "Sebenarnya lebih mudah dibandingkan gempa, karena sumber bahayanya jelas lokasinya dibandingkan gempa bumi. Hal yang sulit adalah sulit koordinasinya karena melibatkan antar institusi," ujarnya.
Menurut dia, alat pemantau perubahan muka air laut di pulau-pulau sekitar Anak Krakatau, seperti Sertung, Panjang atau Rakata. Sesuai perhitungan peneliti tsunami dari Indonesia yang bekerja di GNS Science, Selandia Baru, Aditya R. Gusman, waktu tiba tsunami di Serang, yaitu pukul 21.27 WIB atau sekitar 24 menit setelah runtuhnya sebagia tubuh Anak Krakatau. Sedangkan di Banten sekitar 30 menit, dan di Pelabuhan Panjang, Lampung sekita 50 menit.
Namun, peringatan dini tsunami hanya satu komponen dari pengurangan risiko bencana. Menurut Gegar, yang lebih penting adalah mengevaluasi tata ruang di zona bahaya, selain membangun kesiapsiagaan masyarakat.
Dalam praktiknya, InaTEWS yang dibangun sejak tahun 2008 belum terbukti bisa menyelamatkan jiwa. Terakhir, sistem ini tidak berhasil memperingatkan masyarakat di Teluk Palu dari ancaman tsunami. Selain karena matinya listrik dan telekomunikasi, tsunami yang terjadi lebih cepat dibandingkan kemampuan BMKG mengeluarkan peringatan dini tsunami.
Menumpukan keselamatan dari peralatan peringatan dini bisa menyebabkan rasa aman palsu. Seharusnya ada peringatan dini lain yang bisa dibangun, yaitu akal sehat dan kesiapsiagaan yang harusnya sudah dimiliki masyarakat yang tinggal di daerah rentan. Literasi bencana menjadi kunci. Dan evakuasi mandiri harus menjadi pilihan terdepan. begitu Anak Krakatau meletus, kita sudah harus berjaga-jaga.
Selama ini, kita seolah mengabaikan peringatan Anak Krakatau. Cara pikir masyarakat dan pemerintah di pesisir Banten dan Lampung itu mengingatkan pada keadaan sebelum letusan Krakatau 1883.
”Memang, setiap orang pernah mendengar cerita tentang letusan di zaman kuno, dan ada orang yang mengamati peta dan beranggapan mereka pernah mendengar cerita ketika Jawa dan Sumatera merupakan satu pulau yang kemudian terbelah menjadi dua akibat peristiwa vulkanik mahadahsyat di zaman dahulu. Sebagian orang waktu itu beranggapan Krakatau sudah lama padam dan tidak lagi berbahaya,” tulis Simon Winchester(2003).
Sejarah memang selalu berulang. Anak Krakatau sebelum tsunami kali ini bagi kebanyakan orang hanyalah tontonan, dan batu pijar yang kerap dilontarkannya dalam letusannya seolah kembang api tahun baru yang sama sekali tidak berbahaya. Sejarah kehancuran itu terkubur dalam-dalam di benak masyarakat.