JAKARTA, KOMPAS - Ektremisme menyebar cepat di media sosial dan menyasar remaja. Terkait hal ini, orangtua berperan besar supaya anak tidak mudah terhasut dengan paham tersebut.
Realitas itu tercermin dalam pemutaran film dokumenter berjudul Jihad Selfie karya Noor Huda Ismail, di Griya Gus Dur, Jakarta, dalam Festival Kebinekaan yang digagas oleh Khairiyah of Indonesia, Kamis (21/2/2019).
Film yang terbit pada medio 2016 itu mengisahkan tentang sosok Teuku Akbar Maulana (20), pemuda asal Kabupaten Aceh Barat Daya, Nangroe Aceh Darussalam, yang pernah terpapar ekstremisme saat mendapatkan beasiswa setingkat SMA dari Pemerintah Turki untuk sekolah agama di International Anatolian Mustafa Germirli Imam Khatip High School di Kayseri, tahun 2013.
Akbar adalah seorang murid yang cerdas, atraktif, dan populer di antara teman-temannya. Namun, kegalauan remaja dalam mencari jati diri terus membayanginya.
Bagi generasi milenial seperti Akbar, media sosial adalah realitas tersendiri yang berpengaruh nyata dalam kehidupannya. Seperti juga ketika ia mendapati kawan lamanya di Facebook, Yazid, yang berpose memegang senjata AK-47 berdampingan dengan bendera Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Akbar terpukau dengan kegagahan Yazid di foto. Ditambah, foto-foto tersebut mendapatkan likes dan komentar banyak dari teman-teman perempuan seumuran Akbar.
”Keren juga dilihat orang kita berjihad. Orang ini bisa, orang ini bisa, ooo saya lebih bisa juga! Saya lihatlah foto-foto Yazid. Gagah sekali pegang tembak (senjata). Sudah pegang AK-47. Sudah melebihi TNI, sudah melebihi Kopassus,” ujar Akbar.
Akbar lantas menghubungi Yazid melalui Facebook Messenger dan WhatsApp. ”Lagipula fasilitas di sana lengkap. Makanan daging kuda, kebab, setiap hari katanya. Mereka bergaji. Mungkin cara saya untuk keliling Timur Tengah dengan ’berjihad’, begitu saya pikir,” ujar Akbar.
Beruntung, pada Juni 2014, Akbar secara kebetulan bertemu dengan Noor Huda Ismail, pemerhati ekstremisme global. Perjumpaan dengan Huda membuat Akbar berubah pikiran dan memilih kembali pulang ke orang tua.
Cara baru
NIIS memahami bahwa kegandrungan generasi milenial terhadap media sosial merupakan simbol eksistensi. NIIS kemudian memanfaatkan hal itu dengan menyebarkan foto dan video yang disisipkan doktrin-doktrin.
"Di salah satu video saya lihat, mereka bergaya sambil membopong senjata, kemudian pada video itu bertuliskan \'tanah ini hanya untuk laki-laki\'. Saat melihat itu, saya terpancing untuk bisa mengikuti jejak mereka," kata Akbar.
Akbar mengatakan, media sosial saat ini berperan besar dalam membentuk jati diri anak muda seumurannya. Celah ini yang digunakan oleh NIIS dalam menyebarkan ekstremisme kepada generasi muda.
Pendiri RuangObrol Rosyid Nurul Hakiim mengatakan, metode perekrutan untuk bergabung dengan kelompok kekerasan melalui media sosial merupakan cara baru yang berkembang seiring zaman. Adapun orang yang direkrut adalah remaja yang tidak ada ikatan dengan jaringan kelompok radikal yang sudah ada di Indonesia.
Peran orangtua
Jihad Selfie juga menjadi pengingat bahwa keluarga berperan besar dalam perkembangan jiwa anak. Beberapa anak yang bergabung dengan NIIS seperti terlihat dalam film itu, tidak mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga.
"Meski terdengar klise, komunikasi antara anak dan orangtua amat krusial sehingga anak tidak mudah terhasut kepercayaan buruk," ujar Hakiim.
Sementara menurut Akbar, kedekatan hati dengan kedua orangtua, terutama ibu membuat dirinya tersadar dari hasrat untuk bergabung dengan NIIS.
"Untuk itu, saya mencoba membagikan pengalaman saya ini supaya teman-teman yang lain tidak terjerumus. Semoga, meski sekecil apa pun yang saya lakukan, semoga bermanfaat," pungkas Akbar. (DIONISIO DAMARA)