JAKARTA, KOMPAS - Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru di Sumatera Utara dikhawatirkan berdampak terhadap lingkungan, khususnya ekosistem orangutan tapanuli. PLTA ini diperkirakan juga dapat menyebabkan bencana alam seperti banjir dan gempa bumi.
Pengkampanye Energi dan Perkotaan Walhi Indonesia Walhi, Dwi Sawung, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (28/2/2019), mengatakan, pembangunan PLTA Batang Toru bisa merusak habitat orangutan tapanuli yang diperkirakan tersisa 800 individu. "Jika PLTA Batang Toru dibangun, maka orangutan tapanuli akan melakukan perkawinan dengan satu keluarga sebab mereka tidak dapat keluar dari wilayahnya," kata Sawung.
Ia menjelaskan, orangutan tapanuli yang melakukan perkawinan dalam satu keluarga akan mengalami penyakit genetik. Salah satunya, mereka tidak memiliki keturunan. Akibatnya, dua hingga tiga generasi ke depan, orangutan tapanuli akan punah. Adapun orangutan jenis ini hanya ada di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Ia menambahkan, PLTA Batang Toru didesain sebagai peaker yang berarti PLTA tersebut akan menyuplai listrik pada saat kebutuhan sedang tinggi.
Menurut Sawung, operasional PLTA ini menggunakan sistem buka tutup bendungan, sehingga akan ada waktu aliran sungai menyusut beberapa waktu.
Berdasarkan data dokumen Amdal (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) PLTA Batang Toru 2014 dan Adendum Amdal 2016 dijelaskan, volume aliran atau debit sungai normal rata-rata sebesar 106 meter kubik per detik, sedangkan aliran pasti adalah 52,6 meter kubik per detik. Berarti, 95 persen dari waktu debit Sungai Batang Toru akan 52,6 meter kubik per detik atau di atasnya.
Diperkirakan potensi tenaga yang dihasilkan dari volume aliran sungai normal sebesar 106 meter kubik per detik yakni sebesar 230 Megawatt. Adapun kapasitas pembangkit PLTA yang akan diinstalasikan adalah 4 kali 127,5 megawatt turbin, sehingga totalnya 510 megawatt. Untuk menghidupkan keempat turbin tersebut secara serentak membutuhkan aliran air 228 meter kubik per detik.
Ketua Tim Kuasa Hukum Walhi Ronald Siahaan mengatakan, berdasarkan penelitian dari ahli, lokasi pembangunan PLTA Batang Toru berada wilayah rawan bencana alam. "Berdasarkan penelitian dari ahli geofisika, 20 tahun ke depan wilayah tersebut berpotensi terjadi gempa bumi sehingga infrastruktur yang dibangun akan hancur dalam 3 menit," ujar Ronald.
Gugatan
Walhi telah menggugat amdal pembangunan PLTA Batang Toru pada Agustus 2018. Putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negeri Medan akan keluar pada Senin (4/3/2019).
Ronald menceritakan, dalam gugatan tersebut Walhi menghadirkan saksi ahli dari bidang tata ruang, geofisika, kehutanan, dan ahli orangutan. Jelang putusan tersebut, Walhi bersama jaringan internasional akan menggelar aksi kampanye secara serentak di beberapa negara pada Jumat (1/3/2019).
Walhi akan melakukan kampanye dengan tujuan agar Bank of China menghentikan pendanaan pembangunan PLTA Batang Toru. Sawung mengatakan, sebelumnya Walhi telah mengirimkan surat kepada Bank of China agar menghentikan pendanaan untuk pembangunan PLTA Batang Toru.