Dunia kini lebih mengenal pantai Kuta di Bali sebagai surga wisata. Pada masa kolonial Belanda, Kuta lebih dikenal sebagai pusat ekspor impor yang memperdagangkan berbagai komoditas ke sejumlah negara belahan dunia. Bisnis ini dirintis oleh petualang asal Kerajaan Denmark, Mads Johansen Lange, yang keturunannya kemudian melahirkan keluarga Kesultanan Johor, Malaysia.
Mads Lange atau dikenal sebagai Tuan Lange di kalangan generasi tua masyarakat Bali, terutama di sekitar Kuta, adalah pria kelahiran Denmark tahun 1807. Ia meninggal di Kuta, Bali, tahun 1856. Saat penulis mengunjungi makam Mads Lange di kompleks kuburan Cina di Kuta, Rabu (5/6/2019), terlihat tugu di atas makam Mads Lange. Tugu itu disumbangkan oleh keturunan keluarga Lange dan Kesultanan Johor. Kompleks makam itu sendiri terletak di Jalan Tuan Lange yang dibatasi Jalan Kendedes dan By Pass Ngurah Rai, persisnya di sebelah pangkalan truk sampah.
”Biasa keturunan Tuan Lange yang dari Malaysia (Johor) datang berziarah. Selebihnya tidak banyak orang yang tahu makam ini,” kata Made Widiana, penjaga makam.
Di samping makam Mads Lange terdapat deretan makam Tionghoa dengan batu nisan tertulis marga Ong dan marga The dalam huruf Latin, serta makam tua dengan aksara kanji. Mitra dagang Lange di Bali diketahui adalah seorang peranakan Tionghoa bernama Ong Po Hien. Terdapat batu peringatan kunjungan ke makam Mads Lange bertarikh 2007 Masehi untuk memperingati 200 tahun kelahiran Mads Lange.
Mads Lange dalam 17 tahun kehidupannya di Bali sejak 1849 hingga meninggal tahun 1856 membuka bisnis perdagangan kelapa, persawahan, dan lain-lain yang terhubung dengan Canton (Guang Zhou), Hong Kong, Singapura, Batavia, dan Surabaya dengan pangkalannya di Kuta, Bali.
Semula, dia bermitra dengan seorang nakhoda Inggris, Kapten John Burd, yang bekerja di Kompeni Dagang Denmark untuk membuka factory atau kantor perdagangan di Ampenan, Lombok. Mads Lange juga mengajak tiga adiknya, yaitu Hans, Karl Emilius, dan Hans Henrick, untuk mengembangkan bisnis di Lombok pada 1834 dan kemudian di Bali.
Mads Lange dikenang di Denmark dan Belanda dalam berbagai literatur. Putri Mads Lange, yaitu Cecilia Catharina Lange, kelak menikah dengan Sultan Abubakar, penguasa Johor yang berdarah Bugis. Cecilia Lange menjadi Sultana di Johor dan melahirkan seorang putra yang kemudian menjadi Sultan Ibrahim dan seorang putri, Tengku Ampuan Mariam, yang menikah dan menjadi permaisuri Sultan Pahang. Kerajaan Pahang adalah tetangga Kerajaan Johor di zaman British Malaya dan kini menjadi bagian Kerajaan Malaysia.
Dalam satu kesempatan mengisi seminar di Makassar, Sulawesi Selatan, penulis memperkenalkan foto Cecilia Lange yang dikenal sebagai Enchik Puan Besar Zainab dan kemudian menjadi Permaisuri Sultan Johor. Sang permaisuri menjadi simbol percampuran budaya Bugis, Denmark, Tionghoa, dan Bali yang kemudian diwariskan kepada putra-putranya yang kini memerintah di Kesultanan Johor.
Sejarawan Amerika Serikat, Willard Hanna, yang pernah menjadi anggota staf Kedubes Amerika Serikat di Jakarta, dalam Bali Chronicles, mencatat sepak terjang Mads Lange sebagai mediator konflik dan upaya damai antara Penguasa Kolonial Belanda dan para Raja Bali di Kerajaan Buleleng, Karang Asem, Bangli, Badung, dan Klungkung dalam berbagai konflik tahun 1840-an.
Willard Hanna mencatat, ketika Belanda gagal mengembangkan bisnis Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) di Kuta, Mads Lange justru sukses dan usahanya terus berkembang. Lange berbisnis dengan para elite Bali, pedagang Tionghoa, dan pedagang Bugis. Mads Lange dengan jeli memanfaatkan topografi wilayah Kuta yang merupakan tanah genting—isthmus—yang dapat didatangi kapal dari sisi barat dan timur pada musim apa pun. Berbeda dengan Pelabuhan Buleleng di utara Bali yang hanya dapat didatangi pada musim tertentu.
Semasa itu, tidak ada orang yang mau membuka usaha di Kuta yang dikenal sebagai tempat berandalan dan wabah penyakit. Mads Lange membangun pusat bisnis di punggung bukit di dekat sungai yang kini berada di selatan Pantai Kuta. Tempat ini dapat mengakses pantai barat dan timur Kuta.
Lange mengekspor beras dan minyak kelapa dari Bali serta mengimpor beragam komoditas, antara lain dari India, China, dan Singapura ke Bali. Barang yang diimpor mencakup tekstil India, gambir dari Singapura, hingga uang kepeng dari China yang digunakan semata sebagai uang hingga 1970-an di Bali dan kini digunakan untuk upacara keagamaan. Selain itu, ada pula impor beragam jenis senjata api, mesiu, dan opium.
Keberhasilan membangun bisnis di Kuta membuat Lange mampu membangun armada kapal dagang yang total tercatat 15 unit dengan kapasitas angkut beragam, mulai dari 800-1.500 ton.
Setelah dia meninggal pada usia muda, yakni 49 tahun, berbagai peninggalannya dibagikan kepada Raja Badung dan mitra bisnisnya. Putra pertamanya, William Peter, meninggal di Singapura, dan putra keduanya, Andreas Emil alias Henrik, kelak menjadi tangan kanan Rajah Brooke di Sarawak dan menikahi perempuan Sarawak.
Berbagai batu peringatan di Makam Mads Lange menunjukkan garis keturunan dan kerabatnya yang tersebar di Johor di Malaysia, Singapura, Denmark, hingga Brasil. Sayang, riwayat Tuan Lange yang membuka Kuta ke dunia Barat kini terlupakan.