Memasuki usia ke-54 hari ini, harian Kompas kembali memberikan penghargaan Cendekiawan Berdedikasi. Penghargaan ini melanjutkan tradisi yang diinisiasi Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama pada 2008.
Kali ini, penghargaan diberikan kepada Prof Ramlan Surbakti, MA, PhD, pengajar Ilmu Politik di Universitas Airlangga, serta Prof dr Herawati Supolo Sudoyo, PhD, ahli genetika manusia di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Ketua Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Penghargaan diberikan sebagai ungkapan terima kasih kepada para kontributor artikel yang ikut bergulat bersama Kompas sejak 28 Juni 1965 menyumbangkan pikiran dan karyanya mengenai berbagai persoalan agar Indonesia menjadi lebih baik dan kokoh sebagai bangsa. Penghargaan juga diberikan kepada para peneliti yang bekerja tidak semata hanya demi ilmu, tetapi juga untuk pemajuan masyarakat, tidak tergoda untuk larut dalam keriuhan popularitas, apalagi bersikap pragmatis dalam godaan politik dan ekonomi.
Paruh pertama tahun ini ditandai peristiwa besar, yaitu penyelenggaraan Pemilu 2019 secara serentak. Peristiwa ini menjadi eksperimen dalam demokrasi Indonesia karena pemilihan presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif pusat hingga tingkat dua dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Hal paling terasa dari pemilu tahun ini adalah polarisasi di masyarakat ketika ada dua calon maju untuk jabatan presiden. Pada saat terjadi polarisasi, kehadiran cendekiawan yang tidak terjebak dalam pragmatisme politik sangat dibutuhkan. Pengetahuan dan keilmuan cendekiawan dituntut memberikan pencerahan di tengah perubahan zaman yang membuat hubungan-hubungan di masyarakat semakin kompleks, berubah cepat, tidak lagi mengenal batas negara karena teknologi digital dan globalisasi.
Dalam perubahan cepat tersebut masyarakat dapat mengalami kebingungan. Perlu juga diingat, saat ini dan hingga beberapa waktu ke depan gelombang berita palsu atau informasi yang sengaja disesatkan melanda masyarakat di mana-mana, termasuk Indonesia. Cendekiawan diharapkan membukakan cakrawala pengetahuan, memberikan arah, menemukan jalan baru untuk menembus kebuntuan, dan bahkan menjadi perekat karena tidak menyekat diri.
Suara masyarakat
Masyarakat membutuhkan cendekiawan yang berdedikasi pada keilmuannya dan menyuarakan kepentingan publik. Meminjam pandangan Edward Said (berdarah Palestina-Amerika, Guru Besar Sastra yang aktif melakukan diskursus pemikiran politik dan sosial) dalam Representations of the Intellectual, The 1993 Reith Lectures (Vintage Books, 1994), intelektual adalah individu yang diberkahi dengan kecakapan untuk mewakili, menyuarakan pesan, pandangan, sikap, filosofi, atau opini untuk dan bagi masyarakat.
Cendekiawan memiliki peran publik khusus di masyarakat yang tidak dapat dikurangi menjadi sekadar profesional tanpa memiliki pandangan dan pendapat atau menjadi anggota masyarakat yang memiliki kompetensi yang hanya berkutat pada urusannya sendiri.
Peran tersebut, demikian Said, dijalani dengan kesadaran bahwa seorang intelektual akan mengajukan pertanyaan tidak mengenakkan, menggugat kekolotan dan dogma (bukan memproduksinya) menjadi seseorang yang tidak mudah dikooptasi kekuasaan, apa pun bentuknya, dan korporasi karena alasan keberadaannya adalah untuk mewakili warga dan isu yang kerap terlupakan atau dihindari.
Dalam konteks itu, harian Kompas memberikan penghargaan kepada para intelektual, menemani mereka yang terkadang menjadi kesepian di jalan yang ditempuh untuk menyuarakan pendapat serta opini untuk dan bagi publik. Ini pula semangat yang terkandung di dalam pedoman Kompas, Amanat Hati Nurani Rakyat, menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan.