Tari Sireh dari Lombok Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Tari sireh yang berasal dari Dusun Buani, Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia pada 2019 ini.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
LOMBOK UTARA, KOMPAS — Tari sireh yang berasal dari Dusun Buani, Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia pada 2019 ini. Tari tersebut masuk dalam kategori seni tradisi pada domain seni pertunjukan.
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali I Made Dharma Sutedja, Kamis (5/9/2019), di Lombok Utara, menuturkan, tari sireh sebelumnya sudah diinventarisasikan sebagai seni pertunjukan di Indonesia pada 2016. Setelah melewati kajian pada tahun lalu, tarian ini akhirnya ditetapkan menjadi salah satu warisan budaya tak benda pada 2019.
”Penyerahan sertifikat secara resmi akan dilaksanakan pada 8 Oktober 2019 bertempat di Jakarta. Harapannya, setelah tari sireh ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, masyarakat semakin sadar untuk melestarikan budaya leluhur yang sarat makna,” ujarnya.
Ia mengatakan, latar belakang munculnya tari sireh di Dusun Buani, Desa Bentek, berawal akibat kesalahan yang dilakukan beberapa perempuan anggota masyarakat Buani saat memamaq atau memakan sirih. Mereka mabuk dan melakukan tarian hingga akhirnya masyarakat menuangkannya dalam sebuah bentuk tarian dengan diiringi musik gambelan sederhana yang dikenal dengan nama gambelan sireh.
”Tidak hanya tari tradisi, tari sirih juga punya banyak fungsi bagi masyarakat setempat, yakni sebagai tari pergaulan, tari penyambutan, tari hiburan, serta fungsi ekonomi dan pendidikan. Fungsi pendidikan untuk menanamkan nilai moral disampaikan melalui syair-syair pantun yang dilantunkan saat pementasan tari sireh,” kata Made.
Biasanya dalam pementasan, tari sireh ditampilkan selama 20 menit. Namun, pementasan bisa disesuaikan dengan permintaan dari pemesan tarian. Tari ini bisa ditampilkan juga dalam durasi lima menit sampai 30 menit.
Harapannya, setelah tari sireh ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, masyarakat semakin sadar untuk melestarikan budaya leluhur yang sarat makna.
Meski durasinya berbeda, pembabakan dalam pementasan harus mengikuti kaidah yang ditentukan, yakni terdiri dari bagian pembuka, isi, dan penutup. Menurut Made, sebagai sebuah karya budaya, tari sireh memiliki nilai budaya historis, nilai estetika, dan nilai etika.
”Nilai historis disampaikan dari tradisi memamaq dan berpantun. Nilai estetika didapat dari kostum serta gerakan tarian yang memunculkan keindahan dan ketertarikan. Sementara nilai etika diperoleh dari tarian yang mencerminkan kelembutan dari lenggokan yang digerakkan si penari,” katanya.
Upaya pelestarian tarian ini dilakukan di Sanggar Sireh Beriuk Sadar di Dusun Buani, Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Lombok Timur. Dari sanggar ini telah dihasilkan enam penari sireh yang mayoritas merupakan anak usia 11 tahun.
Ketua Sanggar Sireh Beriuk Sadar, Sudihartono, mengatakan, sanggar ini diperlukan untuk memastikan tari sireh bisa diteruskan dan dilestarikan, terutama oleh generasi muda. Untuk itu, dukungan dari orangtua dan tokoh masyarakat sangat diperlukan agar semakin banyak anak muda yang terlibat dan turut serta di sanggar ini.
”Kalau tidak dikenalkan sejak dini, anak-anak akan lebih mudah terpengaruh budaya luar sehingga budayanya sendiri justru diabaikan. Kesadaran orangtua untuk mendorong anaknya belajar dan mengenal budaya asli di daerahnya juga sangat penting,” ucapnya.