Pemerintah menyegel 64 perusahaan, 20 di antaranya perusahaan asing yang lahan konsesinya terbakar. Perusahaan bertanggung jawab tanpa perlu dibuktikan asal apinya.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
Pemerintah menyegel 64 perusahaan, 20 di antaranya perusahaan asing yang lahan konsesinya terbakar. Perusahaan bertanggung jawab tanpa perlu dibuktikan asal apinya.
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengerahkan sekitar 80 penyidik pegawai negeri sipil dan 80 pengawas lingkungan untuk memproses sanksi bagi perusahaan yang lahan konsesinya terbakar pada tahun ini. Mereka kini menyegel 64 perusahaan yang 20 perusahaannya merupakan penanaman modal asing dari Singapura, Malaysia, dan Hong Kong. Dari jumlah tersebut, delapan di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.
Perbantuan penyidik dari balai-balai Ditjen Gakkum dari Sulawesi dan Jawa ke Unit Penegakan Hukum di Sumatera dan Kalimantan ini dilakukan untuk memperkuat penyelidikan dan penyidikan. Langkah ini pun disebut sebagai bukti keseriusan pemerintah memproses hukum kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan di konsesi perusahaan.
”Kejahatan (kebakaran hutan dan lahan) ini kejahatan sangat serius karena dampaknya langsung membahayakan kesehatan manusia, mengancam biodiversitas, serta gangguan ekonomi serta berdampak luas secara wilayah transboundary (lintas batas negara),” kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani, Selasa (1/10/2019), di Jakarta.
Ia mengatakan, perusahaan berbasis lahan memiliki tanggung jawab mutlak untuk melindungi wilayah kerja dari bahaya kebakaran hutan dan lahan. Ketika terjadi kebakaran, perusahaan wajib mempertanggungjawabkannya tanpa perlu dibuktikan asal apinya.
Ketika terjadi kebakaran, perusahaan wajib mempertanggungjawabkannya tanpa perlu dibuktikan asal apinya.
Ditjen Gakkum KLHK mengakui, sejumlah wilayah konsesi perusahaan yang terbakar merupakan area konflik. Artinya, konsesi perusahaan tersebut diokupansi masyarakat atau lahan/hutan yang diusahakan perusahaan tersebut ternyata menyerobot wilayah kelola masyarakat.
Rasio mengatakan, perusahaan wajib menjaga seluruh luas wilayah yang izinnya diberikan pemerintah dari bahaya kebakaran dan mengatasi konflik. Apabila tak bisa menjaganya, lanjutnya, perusahaan agar mengembalikan sebagian lahan yang berkonflik tersebut kepada negara.
Rasio mengatakan, 64 perusahaan yang disegel tersebut memiliki luas area lahan konsesi terbakar mencapai 14.343 hektar. Luas konsesi terbakar yang disegel tersebut, lanjutnya, masih bisa bertambah luas ketika dilakukan verifikasi ulang. Sebagai catatan, luasan ini lebih kecil dibandingkan total luas terbakar menurut catatan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK yang mencapai 328.722 hektar.
Sebanyak 64 perusahaan yang disegel tersebut memiliki luas area lahan konsesi terbakar mencapai 14.343 hektar.
Penyegelan pada konsesi ini dilakukan pada konsesi perkebunan sawit (47 unit), hutan tanaman (13 unit), restorasi ekosistem (1 unit), dan hutan alam/logging/penebangan (3 unit). ”Jumlah dan luasan ini masih bisa bertambah terus,” katanya.
https://youtu.be/nJ9uClb9fNE
Data forensik digital
Apalagi saat ini, kata Rasio, pihaknya juga mengumpulkan data forensik digital dari citra satelit yang bisa menjadi bukti ataupun petunjuk di masa mendatang. Hal ini bisa digunakan untuk mengejar pembuktian di masa mendatang untuk mengungkap modus pembakaran demi tujuan pembukaan lahan atau modus lain.
Data ini pun bisa menjadi dasar bagi pihaknya untuk menyiapkan perampasan keuntungan perusahaan dari hasil kebakaran untuk pembukaan lahan di konsesi. Jejak digital ini juga untuk menyiasati konsesi-konsesi terbakar yang belum dapat dijangkau aparat karena kesulitan mencapai lokasi kebakaran.
”Walaupun api sudah padam, jejak forensiknya masih ada dan tercatat. Kami tidak akan berhenti untuk terus mengejar pelaku,” katanya.
Walaupun api sudah padam, jejak forensiknya masih ada dan tercatat.
Sementara itu, Mochammad Askary, Kepala Subdirektorat Pemulihan Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, mengatakan, dari daftar 64 perusahaan yang disegel Ditjen Gakkum, teridentifikasi sejumlah perusahaan telah melakukan pemulihan ekosistem gambut.
”Ya, ternyata ada beberapa (perusahaan) sudah restorasi masih terbakar,” ujarnya tanpa menyebutkan perusahaan-perusahaan tersebut.
Ia menyebutkan, hingga kini 64 perusahaan hutan tanaman dan 173 perusahaan perkebunan sawit telah menjalankan kewajiban pemulihan ekosistem gambut. ”Area konsesi relatif tidak terbakar meski di beberapa lokasi tidak seindah yang dibayangkan (terbakar),” ucapnya.
Secara terpisah, Greenpeace Indonesia menyatakan, terdapat sejumlah perusahaan hutan tanaman/bubur kertas dan perusahaan sawit yang lahannya sangat luas pada kebakaran hutan dan lahan 2015-2018 belum mendapatkan sanksi serius.
Kiki Taufik, Juru Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, mengatakan, hal ini membuat perusahaan tak jera untuk tetap melanjutkan praktik buruk pembakaran hutan dan lahan.
Ia mendorong agar penegakan hukum dilakukan lebih serius. Hal itu, di antaranya, dilakukan dengan mencabut izin perusahaan yang lahannya terbakar.