Perubahan iklim yang menguat menuntut adaptasi dan transisi segera untuk meminimalkan dampak. Sebagai negara kepulauan yang rentan terdampak perubahan, Indonesia mulai menyiapkan strategi adaptasi di berbagai sektor.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
MADRID, KOMPAS—Perubahan iklim yang menguat menuntut adaptasi dan transisi segera untuk meminimalkan dampak. Dengan tren saat ini, kenaikan suhu global bisa mencapai 3-4 derajat celcius pada akhir abad ini.
“Kondisi akan mengubah pekerjaan, kesehatan, pendidikan, peluang di masa depan,” kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, dalam forum di Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC-COP) Ke-25, di Madrid, Spanyol, Kamis (12/12/2019).
Kondisi akan mengubah pekerjaan, kesehatan, pendidikan, peluang di masa depan.
Menurut Guterres, jutaan pekerja berada di garis depan terdampak iklim. “Banyak pekerja di sektor seperti pariwisata dan pertanian kehilangan mata pencaharian. Yang lain harus bertahan terhadap kondisi kerja yang memburuk,” katanya.
Jawaban atas krisis iklim ini, menurut dia, terletak pada transformasi dan persiapan yang dilakukan. “Bagaimana kita membangun kekuatan kita, merancang kota, dan mengelola tanah kita.”
Guterres juga menekankan, komitmen nasional berdasarkan Kesepakatan Paris juga mencakup transisi yang adil bagi orang-orang yang pekerjaan dan mata pencahariannya terpengaruh ketika kita beralih ke ekonomi hijau. “Untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, kita tidak boleh meninggalkan siapa pun di belakang,” kata dia.
Sebagai negara kepulauan yang rentan terdampak perubahan, Indonesia mulai menyiapkan strategi adaptasi di berbagai sektor. Untuk menghadapi ancaman perubahan iklim, Indonesia telah memperbarui Rencana Adaptasi Nasional yang diluncurkan pada hari yang sama di Paviliun Indonesia.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan, selain membuat target pengurangan emisi nasional, Kesepakatan Paris 2015 mengamanatkan tiap negara memiliki rencana adaptasi nasional. Pada tahun 2016, Indonesia membuat rencana adaptasi ini, namun kini kembali diperbarui berdasarkan perkembangan terbaru.
Data Bappenas menyebutkan, sekitar 90 persen desa di Indonesia rentan terdampak perubahan iklim dengan skala moderat hingga tinggi. Dalam dokumen rencana adaptasi ini, penilaian dilakukan pada empat sektor yang rentan terdampak, yakni kelautan dan pesisir, pertanian, air dan kesehatan.
Dengan kenaikan muka laut rata-rata 0,8 - 1,2 sentimeter (cm) per tahun, gelombang di Indonesia bakal meningkat 1,5 meter sehingga 5,8 juta kilometer persegi wilayah perairan Indonesia membahayakan bagi pelayaran kapal kecil. Perubahan iklim juga memicu kekurangan air, dengan volume 439,21 meter kubik per kapita per tahun di Pulau Jawa.
Tak hanya itu, serangan penyakit demam berdarah juga diperkirakan akan meningkat. Pukulan juga bakal dialami sektor pertanian seiring dengan ketidakstabilan pola cuaca dan curah hujan.
Indonesia berpotensi kehilangan Rp 102,36 triliun dari keempat sektor ini pada tahun 2020. Sementara pada tahun 2025, potensi kerugian ekonomi bisa mencapai Rp 115,53 triliun.
“ Perubahan yang bisa terjadi berdasarkan data saintifik terakhir ini membuat kita harus memperbarui Rencana Adaptasi Nasional. Saat ini baru soft launching dan masih akan kita sempurnakan lagi,” kata Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Arifin Rudiyanto.
Sri Tantri Arundhaty, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK, menambahkan, dalam rangka adaptasi, pemerintah membangun 2.000 desa siaga iklim. “Kita memiliki panduan membuat asesmen dan rencana adaptasi. Masalahnya bagaimana mengaplikasikannya, sesuai rencana Bappenas,” ungkapnya.