Cegah Banjir Berulang, Teknologi Modifikasi Cuaca Dioperasikan
Operasi modifikasi cuaca dilakukan dengan menggunakan dua pesawat dan akan dilaksanakan hingga akhir Januari 2020. Ada sekitar 8 ton garam yang akan disemai agar hujan bisa turun sebelum memasuki kawasan Jabodetabek.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi modifikasi cuaca mulai dimanfaatkan sebagai upaya mitigasi bencana banjir dan longsor di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Jabodetabek. Namun, pemanfaatan teknologi saja tidak cukup. Perbaikan lingkungan harus jadi prioritas.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menuturkan, curah hujan yang tinggi bukan penyebab utama terjadinya bencana banjir dan longsor. Penyebab utama bencana tersebut lebih karena rusaknya tutupan vegetasi menjadi permukiman dan pertambangan serta adanya alih fungsi lahan, terutama pada kawasan resapan air.
”Teknologi seperti modifikasi cuaca memang sangat membantu untuk mengurangi curah hujan. Namun, kejadian banjir yang terjadi sekarang seharusnya bisa menjadi peringatan masyarakat agar dalam melakukan kegiatan usaha tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan,” tuturnya di sela-sela peluncuran teknologi modifikasi cuaca sebagai upaya mereduksi curah hujan di kawasan Jabodetabek, di Jakarta, Jumat (3/1/2020).
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menguatkan pandangan Doni. Menurut dia, perubahan iklim, termasuk cuaca ekstrem yang kian intens, akibat kerusakan lingkungan.
Kenaikan suhu permukaan, misalnya, hampir merata di seluruh Indonesia dengan rata-rata mencapai 1 derajat celsius dibandingkan dengan 30 tahun lalu. Indikator lainnya dapat dilihat dari curah hujan yang semakin tinggi.
Curah hujan tertinggi terjadi di kawasan Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, yang mencapai 377 milimeter per hari. Sebelumnya, curah hujan tertinggi di kawasan ini tercatat 340 milimeter pada 2007 dan 160 milimeter pada 1996.
”Menariknya, curah hujan yang tinggi ini memiliki siklus tertentu, tetapi siklusnya justru semakin memendek. Jika biasanya curah hujan yang ekstrem terjadi pada periode 10 tahun, kini bisa terjadi hanya kurang dari lima tahun. Artinya, ada indikasi terjadi perubahan lingkungan yang kemudian memicu perubahan iklim,” katanya.
Terkait teknologi modifikasi cuaca (TMC), Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan, teknologi ini bertujuan mereduksi curah hujan. Dengan begitu, intensitas hujan yang turun di kawasan Jabodetabek bisa berkurang.
Secara teknis, penerapan TMC dilakukan dengan menyemai awan menggunakan Nattrium Klorida (NaCl) agar hujan bisa turun sebelum masuk kawasan Jabodetabek. Hujan tersebut diupayakan dapat turun di wilayah Selat Sunda dan Laut Jawa.
Kepala Balai Besar Teknologi TMC BPPT Tri Handoko Seto mengatakan, pesawat yang akan beroperasi yakni satu Casa dan satu CN-295. Ada sekitar 8 ton garam yang akan disemai untuk mendukung operasi TMC. Operasional TMC di kawasan Jabodetabek sudah mulai dilakukan Jumat (3/1/2020) dan menurut rencana akan beroperasi hingga akhir Januari.
”Untuk pemanfaatan TMC di wilayah lain di Indonesia masih dalam pembahasan. Kami perlu prioritaskan daerah yang bisa dilakukan TMC, mengingat sumber daya yang terbatas. Selain Jabodetabek mungkin akan ada satu wilayah lain lagi,” ucap Seto.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro menuturkan, masyarakat di Indonesia harus bisa beradaptasi hidup di negara dengan risiko bencana yang tinggi. Sebagai negara dengan dua musim, potensi bencana terkait hidrometeorologis rentan terjadi.
”Teknologi bisa menjadi salah satu cara untuk mengurangi dampak bencana yang mungkin terjadi. Kita perlu terus tingkatkan pemanfaatan teknologi, mulai dari upaya pencegahan hingga mitigasi bencana,” kata Bambang.