Belanja Jor-Joran Alat Deteksi Tsunami
Belanja alat deteksi dini tsunami BPPT mencapai Rp 500 miliar. Sebagian untuk merakit buoy yang sebelumnya selalu rusak dan hilang. Ahli menilai, pengadaan buoy adalah pemborosan.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menghabiskan Rp 500 miliar untuk pengadaan alat deteksi dini tsunami, seperti buoy dan kabel laut. Padahal, sejak 2012, tak ada lagi buoy yang tersisa karena hilang dan rusak. Pengadaan berulang alat deteksi yang sulit dirawat dinilai sebagai pemborosan.
Perekayasa Utama BPPT Udrekh mengungkapkan, sebanyak Rp 500 miliar dialokasikan BPPT untuk membuat dan menempatkan empat unit buoy tsunami serta memasang kabel laut (Cable Based Tsunameter) di sejumlah perairan di Indonesia pada 2019. Buoy ditempatkan di perairan Selat Sunda, selatan Pangandaran, selatan Jawa Timur, dan selatan Bali. Buoy itu terpasang di lautan sekitar 100-150 kilometer dari daratan.
Indonesia total pernah melepaslautkan 22 buoy, namun sejak 2012 Indonesia tidak pernah lagi mempunyai buoy. Data dari BPPT, perakitan buoy tsunami mulai dilakukan sejak 2006. Namun sejak 2012, Indonesia sudah tidak pernah punya lagi buoy.
Buoy itu hilang dan rusak. Bagian-bagian dari buoy, seperti aki, panel surya, dan antena kerap kali dicuri. Selain itu, buoy juga mudah rusak sehingga tidak bekerja dengan optimal sebagai alat pendeteksi tsunami. Harga satu unit buoy berkisar antara Rp 3 miliar – Rp 4 miliar.
Adapun tiga lokasi kabel laut yang telah terpasang ada di Selat Sunda yakni di Pulau Sertung serta di Kepulauan Mentawai yakni di Pulau Sipura dan Pulau Siberut. Di Pulau Sertung terpasang CBT sepanjang 2,8 kilometer dan masing-masing sepanjang 7,5 kilometer di Pulau Sipura dan Pulau Siberut. Sehingga total panjang kabel laut yang telah terpasang adalah 17,8 kilometer. Ini adalah kali pertama Indonesia memasang kabel laut.
Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI) Gegar Prasetya menilai pembelanjaan jor-joran buoy dan kabel laut sebagai alat deteksi dini tsunami itu tidak tepat guna. Seringnya bagian-bagian buoy itu dicuri dan dirusak, membuat usia pemakaian buoy hanya berlangsung singkat. Padahal, biaya pembelian dan pembuatan buoy tidak murah.
“Kita (Indonesia) sudah belanja miliaran untuk pasang buoy tapi hanya bertahan beberapa bulan saja, kan itu pemborosan saja,” kata Gegar, beberapa waktu lalu.
Sedangkan untuk kabel laut, Gegar menilai, alat itu belum teruji betul. Pada tsunami 2011 di Jepang, kabel itu belum mampu memberikan informasi kegempaan dan tsunami seperti yang diharapkan.
Gegar menambahkan, mahalnya alat-alat itu membuat perairan Indonesia hanya terawasi di lokasi-lokasi tertentu saja dan menyisakan daerah lain tanpa pengawasan. “Buoy dan kabel laut itu mahal. Indonesia memiliki ratusan titik rawan gempa dan tsunami, pemasangan buoy dan kabel itu hanya bisa di beberapa lokasi saja,” ujar Gegar.
Selain itu, buoy dinilai tidak cocok untuk mendeteksi tsunami di Indonesia. Karakteristik tsunami Indonesia lebih banyak bersumber yang cukup dekat dari pesisir pantai serta berada di perairan dangkal. Sedangkan buoy lebih cocok untuk mendeteksi tsunami dari jarak jauh dan berada di perairan dalam.
Ahli tsunami dari BPPT Widjo Kongko mengatakan perlu atau tidaknya pemasangan buoy memang menuai perdebatan. Ia menilai, Indonesia masih memerlukan buoy untuk mengantisipasi ancaman tsunami yang datang dari negara lain.
“Selain di Indonesia, tsunami juga bisa datang dari perairan negara lain. Seperti pada tsunami di Jepang pada 2011 yang gelombangnya tiba di Papua dan menewaskan beberapa orang. Ini bisa kita deteksi lebih dini dengan buoy,” ucap Widjo.
Alat lebih murah
Seharusnya, lanjut Gegar, pemerintah Indonesia bisa lebih bijak dalam menganggarkan belanja alat deteksi dini tsunami. “Dengan kondisi keuangan negara yang tidak melimpah, lebih baik negara menganggarkan belanja alat deteksi dini yang bisa diandalkan dengan harga yang terjangkau,” ujar Gegar.
Peneliti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Semeidi Husrin mengatakan, pada 2012, kantor KKP di Sumatera Barat, pernah melepaslautkan tsunami buoy ke perairan untuk menjadi alat deteksi dini tsunami.
“Di 2012, kami punya buoy itu kantor Padang itu akhirnya hanya tahan beberapa bulan. Lalu kena vandal, bagiannya ada yang dicuri. Ada juga yang rusak. Pengalaman yang kurang mengenakan,” kata Semeidi.
Saat ini KKP sudah memiliki alat deteksi dini tsunami bernama Inexpensive Device for Sea Level Measurement (IDSL). Semeidi menjelaskan, IDSL bekerja dengan sensor yang mendeteksi anomali ketinggian muka air laut dan CCTV untuk konfirmasi secara visual. Alat yang bisa mengirimkan data tiap lima detik ini dibanderol dengan harga sekitar Rp 40 juta. Artinya harga satu buoy yang Rp 4 miliar, setara dengan 100 unit IDSL.
Semedi mengatakan, biaya perawatan IDSL hanya sekitar Rp 60 ribu per bulan saja. Biaya itu adalah biaya pulsa internet 6 gigabita untuk mengirimkan data tinggi muka air dan visual dari CCTV tiap 5 detik. DIbandingkan dengan biaya perawatan buoy yang mencapai paling tidak Rp 150 juta untuk biaya perjalanan kapal per hari.
Hal senada diungkapkan Ahli gempa dan tsunami dari LIPI Danny Hilman. Dengan kondisi keuangan negara yang terbatas, seharusnya negara bisa mengalokasikan belanja alat deteksi dini yang lebih murah namun bisa diandalkan serta bisa dipasang di banyak lokasi di Indonesia.
“Jika 100 unit IDSL dipasang di seluruh Indonesia itu sudah sangat membantu kerja alat deteksi dini tsunami. Kalaupun ada satu alat yang rusak, masih ada 99 lainnya. Kalau satu buoy rusak atau hilang, ya sudah kita tidak punya lagi alat deteksi,” tutur Danny.
Sensor
Menanggapi tudingan pemborosan, Udrekh tidak ambil pusing. Ia menjelaskan, seusai tsunami di Selat Sunda pada Desember 2018, Presiden meminta seluruh lembaga negara termasuk BPPT untuk membuat dan memasang alat deteksi dini untuk mengantisipasi ancaman tsunami.
“Intinya kami ingin menjaga Indonesia dari ancaman tsunami. Awalnya dari presiden perintahkan, lalu BPPT jelas menawarkan sesuatu yang kami bisa lakukan yaitu rancang bangun. Kami bisa membuat tsunami buoy dan kabel laut maka itu yang kami bangun,” kata Udrekh.
Udrekh menganalogikan, belanja alat deteksi dini tsunami seperti halnya pengendara sepeda motor yang mau mengeluarkan uang membeli helm demi keselamatan. Namun, pengendara motor itu tetap berharap jangan sampai terjadi kecelakaan meskipun sudah menggunakan helm. “Kami tidak pernah berharap tsunami itu datang. Tapi bukan berarti alat deteksi itu jadi mubazir kan?” kata Udrekh.
Ia mengapresiasi juga KKP yang telah berinovasi membuat alat seperti IDSL. “Buat saya semakin banyak alat dan sensor, makin baik. Jadi semuanya berfungsi, tapi bukan mana yang lebih baik, tapi semua potensi harus diusahakan. Yang dilakukan IDSL itu juga penting,” ucap Udrekh.
Mengenai kerapnya buoy dirusak dan dicuri, ia mengatakan, untuk buoy yang terbaru sudah dimodifikasi sehingga mengurangi risiko hilang dan rusak. “Bentuknya sudah dimodifikasi agar tidak kena jaring nelayan, tidak ada solar panel, dan tanpa baling-baling supaya tidak mengundang untuk dicuri,” kata Udrekh.
Pemasangan buoy dan kabel laut, lanjut Udrekh, BPPT sudah berkoordinasi dengan Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Ketiga lembaga inilah yang diamanatkan pemerintah untuk merancang, membuat, dan menaruh alat deteksi dini tsunami.
BPPT bertugas untuk menaruh sensor gempa dan tsunami di lautan atau sedekat mungkin dengan sumber gempa. Adapun BIG bertugas untuk mendeteksi tsunami dengan tide gauge yang berfungsi melihat anomali tinggi muka air laut dengan sensor yang dipasang di daratan. Sedangkan BMKG bertugas mencatat besaran gempa melalui seismometer dan mendeteksi tsunami menggunakan permodelan.
Saat ini kecuali buoy dan kabel laut, alat-alat sudah terpasang dan bisa terpantau dan diakses secara terbuka di situs National Ocean Data Center (NODC) yaitu nodc.id. Di situs itu terpantau lokasi Tide Gaude, IDSL, High Frenquency Radar BMKG. Adapun Buoy dan kabel laut belum terintegrasi di data NODC karena membutuhkan waktu pengintegrasian data usai rampung dipasang akhir tahun lalu.
Yudi Adityawarman, Chief Engineering NEOnet (Nusantara Earth Observation Network) BPPT mengatakan, NODC mengintegrasikan data-data dari 13 kementerian lembaga terkait kelautan, termasuk data-data alat-alat mitigasi bencana.
“Pengumpulan data ini agar menjadi decision support system pemerintah, sehingga kebijakan yang diambil bisa makin kuat karena berdasarkan data-data di lapangan. Termasuk kebijakan mitigasi bencana dari lembaga yang punya tugas pokok yakni BMKG,” ucap Yudi.
Namun, data buoy yang baru dipasang BPPT bisa ditengok di ruang monitor Read Down Station (RDS) atau Pusat Data Buoy Indonesia yang terletak di Lantai 20 Gedung 1 Kompleks Kantor Kemenkomaritim dan BPPT, Jakarta. Dalam ruangan sekitar 5 x 5 meter itu terdapat empat monitor yang menampilkan data-data dari buoy.
“Buoy kami sudah aktif. Apabila sensornya menampilkan sesuatu, kami segera laporkan ke BMKG,” kata Yudi.