Mengenal Alat Deteksi Tsunami di Indonesia
Dikelilingi tiga lempeng tektonik dan berada di jalur cincin api membuat Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana tsunami. Lalu, apa saja alat yang digunakan untuk mendeteksi tsunami di Indonesia?
Dikelilingi tiga lempeng tektonik dan berada di jalur cincin api membuat Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana tsunami. Mengantisipasi hadirnya tsunami, sejumlah lembaga negara menyiapkan dan mengoperasikan berbagai alat deteksi dini tsunami. Mengoptimalkan kinerja alat itu dibarengi dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan kebencanaan menjadi kunci mengurangi risiko tsunami di kemudian hari.
Kerentanan Indonesia terhadap tsunami juga ditegaskan dengan data. Lembaga administrasi kelautan dan atmosfer Amerika Serikat atau National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) mencatat ada 246 kejadian tsunami sejak tahun 416 hingga 2018 di Indonesia. Puncaknya, kedahsyatan sekaligus kengerian tsunami tak lain adalah tsunami Aceh di pengujung 2004 yang merenggut lebih dari 200.000 korban jiwa tak hanya di Indonesia, tetapi juga di 13 negara lainnya.
Tahun 2018, Indonesia bahkan dihajar tiga tsunami besar, yakni di Pulau Lombok (NTB), Kota Palu serta sekitarnya (Sulawesi Tengah), dan Selat Sunda. Bencana itu menewaskan 564 orang di Lombok. Gempa, likuefaksi, dan tsunami di Sulawesi Tengah menyebabkan 3.475 orang tewas dan hilang. Tsunami di Selat Sunda menewaskan 437 orang.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, Indonesia berada dalam jalur cincin api yang dipenuhi oleh sesar aktif dan juga gunung merapi aktif. Aktivitas sesar dan gunung merapi bisa memicu terjadi tsunami.
”Sekitar 90 persen tsunami yang terjadi di Indonesia dipicu oleh aktivitas tektonik, sisanya dipicu oleh faktor nontektonik, seperti aktivitas gunung api ataupun penyebab lainnya, seperti longsor bawah laut,” ujar Daryono ditemui pada akhir Desember tahun lalu.
Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI) Gegar S Prasetya mengatakan, tingginya kejadian tsunami di Indonesia seharusnya dibarengi oleh kesiapan alat deteksi dini tsunami. Hal ini agar otoritas terkait bisa segera mendeteksi kejadian tsunami sehingga informasi dapat dengan cepat diterima masyarakat. Tujuannya, agar warga bisa segera mengevakuasi diri dan keluarga.
Lantas, apa saja alat deteksi dini tsunami yang dimiliki Indonesia?
- Buoy tsunami
Buoy tsunami adalah alat deteksi dini tsunami yang bekerja dengan mendeteksi anomali tinggi muka air laut dan melaporkannya kepada otoritas di Jakarta.Di Indonesia, pengelola dan pembuat buoy adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Terdapat sensor yang mengapung di perairan. Sensor itu ditambatkan ke dasar lautan dengan rantai agar tidak terbawa air laut. Pengiriman informasi anomali muka air laut itu menggunakan satelit. Alat ini dilepaslautkan di perairan bebas sekitar 100 kilometer-150 kilometer.
”Apalagi, tercatat tinggi muka air yang di luar kewajaran atau anomali, maka itu menandakan terjadi tsunami. Informasi ini yang harus segera disampaikan kepada otoritas di Jakarta,” ujar perekayasa utama BPPT, Udrekh.
Udrekh mengatakan, per Desember 2019, saat ini sudah ada empat buoy tsunami yang telah dioperasikan. Empat lokasi tersebar di lautan selatan Jawa Barat, selatan Jawa Timur, selatan Pulau Bali, dan Selat Sunda. Buoy yang ada saat ini dibuat oleh BPPT. Namun, alat sensor masih impor dari Amerika Serikat.
Pada tahun ini, BPPT berencana menambah pemasangan buoy tsunami sebanyak 8-9 unit di beberapa lokasi di Indonesia. Dengan demikian, pada akhir tahun ini Indonesia, menurut rencana, mengoperasikan 12-13 buoy.
Sejumlah ahli menilai, buoy memiliki kelebihan mampu mendeteksi tsunami jarak jauh yang berasal dari luar Indonesia. Namun, buoy juga memiliki kelemahan, seperti mudah rusak dan dicuri.
Oleh karena itu, buoy terbaru yang dibuat BPPT sudah dimodifikasi untuk mengantisipasi aksi pencurian atau vandalisme. Buoy tersebut adalah generasi ketiga sejak pertama kali dibuat BPPT pada 2006. Bentuknya dimodifikasi agar tidak terkena jaring nelayan, tidak memiliki solar panel, dan tanpa baling-baling.
- Stasiun pasang surut air laut (tide gauge)
Tide gauge atau stasiun pasang surut air laut bekerja untuk mendeteksi anomali tinggi muka air laut. Apabila terjadi kenaikan ataupun penurunan muka air laut secara tidak wajar, ada indikasi ada gejala alam, seperti tsunami yang tengah terjadi.
Alat ini dikelola Badan Informasi Geospasial (BIG). Saat ini terdapat lebih dari 100 stasiun pasang surut di beberapa lokasi di seluruh Indonesia. Stasiun pasang surut dipakai BMKG untuk mengonfirmasi keputusan gempa berpotensi tsunami yang keluar dari hasil permodelan.
”Apabila terjadi gempa yang berpotensi tsunami, kami cek bagaimana tinggi muka air menggunakan tide gauge. Apabila terjadi kenaikan ataupun penurunan air secara signifikan, menguatkan dugaan akan datang tsunami,” ujar Daryono.
- Inexpensive device for sea level measurement (IDSL)
IDSL adalah alat deteksi dini tsunami yang dikembangkan dan dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Berprinsip kerja mirip dengan tide gauge, alat ini memiliki sensor untuk mendeteksi anomali muka air laut. Selain itu, terdapat kamera pemantau (CCTV) yang digunakan untuk menampilkan visual kondisi muka air laut sekaligus untuk mengonfirmasi secara visual data dari sensor.
Data itu kemudian dikirimkan setiap 5 detik ke KKP, BMKG, dan server Join Research Commision (JRC) di Italia. Publik juga bisa mengakses data dengan membuka situs JRC.
Seperti namanya yang langsung menyebutkan ”inexpensive” atau murah, pengoperasian alat ini tidak membutuhkan banyak biaya. Peneliti KKP, Semeidi Husrin, menjelaskan, hanya diperlukan biaya Rp 60.000 per bulan untuk biaya operasional yang digunakan untuk pembelian kuota internet. ”Pengiriman data dari sensor itu ke otoritas menggunakan jaringan internet ponsel,” ujar Semeidi.
Saat ini telah terpasang empat unit IDSL. Lokasi pertama di Pantai Marina Jambu, Serang, Banten. Kedua, di Pulau Sebesi, Selat Sunda. Lokasi ketiga di selatan Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Keempat di Pantai Sadeng, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Radar
Radar tsunami adalah sistem penginderaan jauh yang dipasang di pantai untuk memonitor permukaan air laut berupa kecepatan, arah, ketinggian, dan periode pada segala kondisi cuaca. Jangkauan radar bisa mencapai 300 kilometer di lepas pantai.
Radar dikelola dan dipasang oleh BMKG. Saat ini, BMKG telah membangun dua radar tsunami, yakni di Pantai Parangtritis, Bantul, DI Yogyakarta, dan Pantai Keburuhan, Purworejo, Jawa Tengah. Pembangunan radar tersebut hasil kerja sama dengan Kementerian Urusan Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang.
Radar tsunami dan gempa tersebut memanfaatkan gelombang radio frekuensi tinggi atau gelombang pendek sehingga disebut HF radar. Sistem HR radar mampu memonitor wilayah laut dengan luasan 800 kilometer persegi. Radar ini juga bagian dari sistem peringatan dini tsunami Indonesia (Ina-TEWS).
5. Kabel laut atau cable based tsunameter (CBT)
Kabel laut atau cable based tsunameter (CBT) adalah alat deteksi dini tsunami yang dipasang di bawah laut. Pada alat ini terdapat sensor yang mampu mendeteksi getaran gempa. Informasi itu dikirimkan ke otoritas di Jakarta menggunakan kabel fiber optik.
Seperti halnya buoy, kabel laut dibuat dan dikelola oleh BPPT. Udrekh mengatakan, sampai dengan Desember 2019, CBT kini telah terpasang di tiga lokasi. Menurut rencana, BPPT juga akan memasang advance CBT yang menggunakan teknologi lebih mutakhir di perairan Indonesia.
Adapun tiga lokasi kabel laut yang sudah terpasang berada di bawah laut di dekat Pulau Sertung, Selat Sunda, sepanjang 2,8 kilometer. Lokasi kedua terpasang sepanjang 7,5 kilometer di bahwa laut dekat Pulau Sipura, Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat. Lokasi ketiga berada di bawah laut dekat Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Kabel laut punya keunggulan sulit dicuri ataupun dirusak sebab berada di bawah laut. Selain itu, penanaman kabel laut membuat peneliti mampu menaruh sensor lebih dekat dengan sumber gempa. Kendati demikian, kabel laut belum teruji betul keandalannnya.
Pengadaan kabel laut juga membutuhkan biaya sangat tinggi. Sampai dengan 2020, BPPT memiliki anggaran hingga Rp 500 miliar untuk pemasangan CBT, advance CBT, dan buoy.
Otoritas dan prosedur
Berbagai alat deteksi dini tsunami tersebut menyampaikan data kepada otoritas yang menginformasikan tsunami, yakni BMKG. Kendati demikian, alat-alat tersebut juga perlu didukung informasi lain untuk mengetahui apakah tsunami bersumber dari gempa atau non-gempa, seperti longsoran gunung berapi. Informasi itu bisa diperoleh dari seismograf, yakni alat pengukur gempa bumi atau alat pemantau aktivitas gunung berapi yang dimiliki Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Setelah tsunami Aceh 2004, Indonesia tergerak untuk menyiapkan sistem deteksi dini dan mitigasi tsunami. Pada 2005 terbentuklah Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) yang baru beroperasi penuh lima tahun berselang. BMKG menjadi lembaga terdepan dalam mengelola informasi dari Ina-TEWS.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, BMKG bertugas mencatat gempa, menganalisisnya dengan permodelan, lalu memutuskan apakah gempa itu berpotensi tsunami atau tidak.
Setelah itu, BMKG secepat mungkin menyampaikan informasi gempa tersebut kepada pemerintah daerah setempat. Jika memiliki sirene tsunami, pemda dapat segera menyalakannya supaya mendorong warga untuk segera evakuasi diri.
Meski Indonesia telah melengkapi diri dengan berbagai alat deteksi dini tsunami, Gegar menilai, evakuasi yang paling efektif adalah evakuasi mandiri. Evakuasi yang dilakukan warga secara inisiatif ketika merasakan gempa tanpa harus menunggu informasi atau peringatan melalui sirene tsunami.
”Teori pada umumnya tsunami terjadi sekitar 30 menit setelah gempa. Tapi, bisa saja lebih cepat, seperti di Palu itu hanya sekitar 3 menit. Artinya, warga hanya punya waktu yang sangat singkat untuk menyelamatkan diri. Maka, evakuasi mandiri adalah yang terbaik,” ujar Gegar.
Namun, pada saat terjadi bencana, umumnya warga yang dilanda panik dan bingung apakah harus segera evakuasi diri atau menanti informasi kebencanaan dari otoritas setempat. Maka dari itu, kehadiran alat deteksi dini tsunami yang diandalkan sangat dibutuhkan.