”Doxing” diduga hanya menjadi salah satu cara untuk menundukkan kalangan tertentu. Praktik itu dilakukan secara terencana dengan tahapan-tahapan yang jelas. Benarkah itu cara pembungkaman terhadap mereka yang kritis?
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
”Doxing” diduga hanya menjadi salah satu cara untuk menundukkan kalangan tertentu. Praktik itu dilakukan secara terencana dengan tahapan-tahapan yang jelas.
JAKARTA, KOMPAS - Upaya pembungkaman terhadap sejumlah suara kritis diduga terjadi secara terstruktur dan terencana sejak sekitar tiga tahun terakhir. Praktik doxing tersebut hanya menjadi salah satu cara yang dilakukan selain peretasan dan tekanan secara langsung.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati, Senin (17/2/2020), menyebutkan, pihaknya mulai menyadari fenomena doxing sekitar tahun 2017. Namun, ia mengatakan, sangat mungkin fenomena tersebut sudah terjadi sebelum itu.
Akan tetapi, menurut dia, sejauh ini belum ada catatan penegakan hukum yang dilakukan terhadap pelaku doxing, khususnya doxing terhadap pihak-pihak yang bersuara kritis terhadap kekuasaan.
Menurut Asfinawati, doxing hanya salah satu metode yang dipergunakan untuk pembungkaman. Peretasan perangkat teknologi, seperti telepon, bahkan hingga upaya pembungkaman di ranah dunia nyata relatif terjadi.
"Doxing hanya salah satu metode yang dipergunakan untuk pembungkaman. Peretasan perangkat teknologi, seperti telepon, bahkan hingga upaya pembungkaman di ranah dunia nyata relatif terjadi
Ketiga metode tersebut, imbuh Asfinawati, cenderung memiliki pola tersendiri. Hanya saja, doxing ataupun peretasan yang terjadi secara virtual relatif baru terjadi. Sementara di ranah luring, ia mengatakan, praktiknya sudah terjadi sejak lama. Praktik tersebut bisa terjadi dengan cara sang aktivis di organisasi tertentu dihubungi mantan anggota dalam organisasi tersebut.
Hal ini pada ujungnya berupa upaya pembungkaman.
”Kalau aku dengar ceritanya dari banyak orang, ini akhirnya lama-lama aku namakan (upaya) penundukan. Ini polanya meredam supaya tidak ada gejolak, tetapi tidak substantif. Doxing salah satu (metode) saja,” sebut Asfinawati.
Upaya pembungkaman lewat peretasan ini seperti pernah dialami Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo pada September 2019. Saat itu akun Whatsapp, Telegram, dan Facebook miliknya dikuasai pihak lain.
Akun-akun itu lantas menyebarkan pesan-pesan yang berkebalikan dengan perjuangannya untuk menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Rimawan bahkan harus kehilangan akun Facebook lamanya. Ia juga mesti mengganti perangkat telepon dan nomor teleponnya sekaligus.
Terencana
Direktur SAFENet Damar Juniarto menyebutkan, dari sejumlah kasus doxing yang ditangani, dapat dipastikan bahwa tindakan tersebut dilakukan secara terencana. Dari sejumlah kasus, perempuan berada dalam posisi yang cenderung lebih rentan sebagai korban.
Selain menggunakan data pribadi tanpa hak, modus yang juga dipergunakan adalah data tersebut ditampilkan di sejumlah aplikasi yang ada sangkut pautnya dengan kegiatan prostitusi daring. Hal ini membuat para korban menerima ribuan pesan setiap harinya yang terkait dengan praktik prostitusi.
”Ini kami bilang jahat sekali. Ini bukan sekadar doxing, melainkan sudah jadi serangan,” kata Damar.
Peristiwa itu menimpa enam perempuan aktivis saat mengadvokasi hak masyarakat sipil. "Doxing" yang terjadi, ujar Damar, dilakukan secara terencana dengan sejumlah tahapan, bukan spontanitas.
”Ini kami bilang jahat sekali. Ini bukan sekadar doxing, melainkan sudah jadi serangan”
Tahap pertama, pelaku mencari tahu identitas calon korban. Tahap kedua, mencari sejumlah aplikasi atau laman daring terkait praktik prostitusi yang bisa memublikasikan data atau identitas para korban. Ketiga, mengiklankan korban sekaligus laman atau aplikasi tadi.
Model doxing secara terencana itu juga ditemukan Damar tatkala mengadvokasi kasus lain. Sebagian di antara kasus itu terkait dengan isu yang memantik reaksi dari organisasi kemasyarakatan tertentu. Sebagian lagi terkait isu yang membangkitkan respons banyak pihak karena berhubungan dengan kepentingan publik yang lebih besar.
"Doxing, sekalipun dialami warga biasa, tidak bisa dianggap sebagai perundungan yang lebih cenderung berupaya merendahkan martabat. Pasalnya, ada tujuan yang hendak dicapai doxing, yakni menghentikan perjuangan atau advokasi yang dilakukan korban"
Ia juga menegaskan bahwa doxing, sekalipun dialami warga biasa, tidak bisa dianggap sebagai perundungan yang lebih cenderung berupaya merendahkan martabat. Pasalnya, ada tujuan yang hendak dicapai doxing, yakni menghentikan perjuangan atau advokasi yang dilakukan korban.
Korban doxing kerap kali takut melapor ke pihak berwajib. Korban juga trauma tatkala harus mengulangi ingatan mengenai peristiwanya.
Dosen dan peneliti ilmu komunikasi Universitas Indonesia, Inaya Rakhmani, mengatakan, terkait dengan praktik doxing dan secara langsung melakukan penetrasi data pribadi yang disimpan di dalam perangkat, hal itu terkadang merupakan tindakan vandalisme semata. Inaya mengatakan bahwa antara vandalisme dan tindakan kriminal mestilah dibedakan.