Awalnya hanya untuk pakan ikan, ”mariles” atau bibit kelapa sawit sembarangan itu dikembangkan jadi tanaman berkualitas. Ini cerita sukses dari Muara Manompas, Muara Batang Toru, Tapanuli Selatatan, Sumatera Utara.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
Kata mariles bagi pekebun sawit di Sumatera Utara adalah kata pelesetan yang berasal dari kata marihat dan lelesan. Marihat merupakan jenis bibit unggul kelapa sawit dan lelesan memiliki arti seadanya atau hasil dari memungut di sembarang tempat. Kira-kira artinya adalah bibit sawit seadanya.
Julhadi Siregar, Ketua Gabungan Kelompok Tani Sawit Maju Bersama di Muara Manompas, saat ditemui awal Februari 2020, mengatakan, awalnya biji sawit masuk ke daerah itu karena dikenalkan oleh orang Riau. Saat itu, daerah Muara Manompas masih berganti-ganti jenis tanaman dari padi hingga buah-buahan.
Namun, sawit yang diperkenalkan tersebut bukan tujuan untuk diambil minyaknya. ”Mereka (orang Riau) itu kasih tahu kalau biji sawit bagus buat umpan lele,” katanya. Tips ini ketika dipraktikannya benar-benar menghasilkan. Biji sawit yang ditaruh di dalam bubu (jebakan ikan) dipenuhi dengan ikan lele.
Karena itu, warga menanam sawit di daerah tersebut untuk dimanfaatkan sebagai umpan ikan. Seiring waktu, sawit menjadi booming dan warga secara beramai-ramai mengganti komoditas tanamannya dengan buah asal Afrika ini. Bibit didapatkan dari buah sawit di berbagai sumber yang dibenihkan secara mandiri.
Tanpa pengetahuan awal terkait budidaya sawit, warga menggunakan metode try and error untuk merawat kebunnya. Euforia sawit ini pun terus berkembang hingga membuat petani setempat mengganti tanaman jeruk manis, padi, dan pisang sibarangan. Ini seiring berdirinya pabrik kelapa sawit yang menerima setoran bagi sawit-sawit rakyat.
Tanpa pengetahuan akan budidaya sawit, Julkifli Nababan, petani sawit setempat, mengatakan, melakukan pemupukan jika memiliki uang. ”Kalau pas ada uang banyak, kami sebar pupuk sebanyak-banyaknya. Kalau tidak ada uang, tidak kami pupuk,” katanya.
Tak heran, hasil petani sangat rendah, hanya 10 ton tandan buah segar per hektar per tahun. Idealnya, angka ini masih bisa ditingkatkan dua kali lipatnya jika menggunakan benih unggul disertai perawatan yang benar dan tepat.
Dengan ketelanjuran bibit yang tidak berkualitas, petani setempat yang terkendala modal untuk melakukan peremajaan atau penggantian bibit, peningkatan produktivitas bisa dilakukan dengan cara perbaikan cara pemeliharaan. Cara-cara ini yang didapatkan sebagian pekebun di Muara Manompas sejak mengikuti sekolah lapang yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan bersama CI Indonesia dalam program Good Growth Partnership (GGP).
Sekolah lapang yang diselenggarakan sejak tahun 2018 tersebut mengajarkan petani untuk mempraktikkan pengelolaan kebun secara tepat dan ramah lingkungan. Ini mengubah kebiasaan pekebun mandiri setempat.
”Saya dulu semprot herbisida pakai pompa door smeer (pompa pencuci mobil), guyur saja. Semua (rumput, ilalang) bersih dan saya tidak pikir kehidupan penting yang ada di tanah,” kata Julkifli Nababan, pekebun mandiri. Dari semula 9 liter herbisida, ia kini hanya menggunakan 3 liter.
Contoh lain, ia kini mengubah kebiasaan menaruh tangkai tanaman kering berserakan, menjadi teratur atau di antara dua batang sawit. Tujuannya agar tidak menjadi sarang tikus yang merusak batang serta menjaga kelembaban tanah agar tidak kering di saat kemarau.
Petani setempat juga menggunakan teknik ramah lingkungan untuk mengendalikan kumbang tanduk dan ulat. Caranya, untuk penanganan ulat, mereka menanam bunga pukul delapan agar ulat ”menyerang” tanaman ini, bukan menyerang tanaman sawit. Kumbang tanduk dikendalikan dengan menggunakan jebakan dengan umpan berupa feromon.
Untuk pengendalian tikus, mereka sempat menggunakan predator alami burung hantu. Namun, saat Kompas melongok ke ”rumah” burung hantu, tidak ada lagi penghuninya. Julkifli mengatakan, penggunaan burung hantu ini kontradiktif dengan warga setempat yang memelihara burung walet di sekitarnya. Ini karena burung hantu juga memburu walet itu.
Hasilnya, menurut evaluasi kegiatan sekolah lapang petani sawit, rata-rata peningkatan produktivitas sebesar 3 persen. Jika dibandingkan kebun demplot dengan penerapan praktik yang ideal, rata-rata peningkatannya bisa mencapai 57 persen.
”Dulu hasilnya sering buah landak (tidak berisi dan berupa duri-duri),” katanya. Buah landak ini meski bisa lolos dari toke, tetapi akan tersaring pada saat memasuki pabrik. Seperti di PT Perkebunan Nusantara 3 Hapesong di Tapanuli Selatan, buah sawit yang dikirimkan oleh mobil-mobil boks dan truk dihampar untuk disortir antara buah yang baik dan buruk (busuk, ”landak”, maupun kempes).
”Kerja sama dengan pemasok kami lakukan tiga bulan lalu dievaluasi kuantitas dan kualitas,” kata Monika Manurung, Masinis Kepala PTPN 3 Hapesong. Ini kudu dilakukan pabrik karena buah-buah berkualitas buruk tersebut hanya akan menjadi pengotor dalam proses pengolahan tanpa menghasilkan minyak nabati.
PN 3 Hapesong ini mengaku masih membutuhkan pasokan sawit berkualitas dari petani. Pasalnya, perusahaan milik pemerintah tersebut sejumlah lebih dari 85 persen pasokannya didapat dari petani atau di luar kebun perusahaan. Hingga kini kapasitas pabrik sekitar 30 metrik ton per jam belum bisa maksimal. ”Kami bersaing dengan mills (pabrik kelapa sawit) di sekitar sini,” katanya sambil menyebut dua perusahaan sawit lainnya di daerah tersebut.
Menurut Field Program Manager Conservation International Indonesia Isner Manalu, kebutuhan pasokan kelapa sawit ini bisa didapatkan melalui intensifikasi perkebunan mandiri masyarakat, bukan melalui ekstensifikasi yang bisa mengancam hutan-hutan tersisa setempat. Karena itu, kini program GGP yang dijalankan CI Indonesia adalah memberikan penyuluhan kepada 760 petani sejak dua tahun terakhir melalui sekolah lapang.
Tak cukup sekadar meningkatkan kualitas sawitnya, pekebun mandiri didorong untuk memenuhi sejumlah regulasi pemerintah seperti legalisasi demi memenuhi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Mulai dari status kepemilikan lahan hingga praktik-praktik berkelanjutan menjadi pekerjaan rumah yang kini masih menjadi tantangan pekebun mandiri, seperti di Muara Manompas.