Orientasi Seksual Bukan Ancaman, RUU Ketahanan Keluarga Berpotensi Diskriminatif
Salah satu muatan RUU Ketahanan Keluarga dinilai mendiskriminasi kelompok rentan, yakni LGBT (lesbian, gay, biseksual, transjender). Padahal, LGBT dinyatakan sebagai bukan gangguan oleh organisasi internasional.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI/INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alih-alih melindungi, Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga dinilai telah mendiskriminasi suatu kelompok masyarakat. Pasal 50 RUU Ketahanan Keluarga menyatakan, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender) adalah propaganda yang ”mengancam” ketahanan keluarga secara nonfisik. Belum jelas bahaya yang ditimbulkan dari ”ancaman” tersebut.
”Ancaman nonfisik” yang disebutkan selain LGBT adalah individualisme, sekularisme, serta pergaulan dan seks bebas. Adapun ”ancaman fisik” meliputi antara lain penganiayaan, pembunuhan, pembantaian, dan perjudian.
Perlindungan warga dari ”ancaman” dilakukan guna mencapai ketahanan nasional seperti tertuang dalam RUU Ketahanan Keluarga Pasal 1 Ayat 3. Secara sederhana, ketahanan nasional diperlukan untuk menghadapi rintangan internal dan eksternal. Tujuannya agar identitas dan kelangsungan hidup bangsa terjamin serta tujuan nasional tercapai.
Pernyataan LGBT sebagai ”ancaman nonfisik” dinilai diskriminatif. Pasalnya, orientasi seksual telah disepakati sebagai bukan gangguan kejiwaan maupun penyakit. Mengategorikan LGBT sebagai ”ancaman” pun terbilang salah kaprah.
Pada 1948, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan homoseksualitas sebagai penyimpangan seksual. Homoseksualitas dinilai sebagai refleksi dari gangguan mental. Hal ini tertuang pada International Classification of Diseases Keenam atau ICD-6.
Ketetapan tersebut berubah pada ICD-10. Homoseksualitas tidak lagi dinyatakan sebagai gangguan mental. Hal ini ditetapkan pada 17 Mei 1990 dalam Pertemuan Kesehatan Dunia (World Health Assembly) Ke-43.
Status homoseksualitas sebagai gangguan jiwa juga dicabut oleh American Psychiatric Association Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders pada 1973.
Bukan gangguan
Pakar neurosains dr Ryu Hasan mengatakan, segala bentuk orientasi seksual bukan merupakan gangguan kejiwaan. Hal ini tercantum dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III yang berlaku di Indonesia.
”Orientasi seksual bukan sebuah masalah. Yang berpotensi menimbulkan masalah adalah aktivitas seksual. Ini juga berlaku buat heteroseksual. Sepanjang yang bersangkutan punya pemahaman akan kesehatan seksual, orientasi seksual apa pun tidak menjadi masalah,” kata Ryu di Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa lesbian, gay, dan biseksual tergolong sebagai orientasi seksual. Sementara itu, transjender tergolong sebagai identitas jender.
Orientasi seksual, jender, dan jenis kelamin merupakan tiga hal yang berbeda. Ketiganya ”terprogram” secara alamiah di otak dan tubuh masing-masing individu. Adakalanya jenis kelamin seseorang tidak sesuai dengan jender dan orientasi seksualnya.
”Lesbian, gay, dan biseksual bukan gangguan medis. Di sisi lain, transjender bisa menjadi gangguan hanya jika individu merasa terganggu dengan disforia jender yang ia alami. Hal ini bisa diatasi dengan konseling untuk menghilangkan perasaan terganggu itu. Ada pula yang pada akhirnya menempuh operasi menjadi transeksual,” kata Ryu.
Lesbian, gay, dan biseksual bukan gangguan medis. Di sisi lain, transjender bisa menjadi gangguan hanya jika individu merasa terganggu dengan disforia jender yang ia alami. Hal ini bisa diatasi dengan konseling untuk menghilangkan perasaan terganggu itu.
Ia menambahkan, orientasi seksual tidak berhubungan dengan moralitas. Ancaman kejahatan seksual maupun risiko aktivitas seksual bisa terjadi kepada siapa pun tanpa pandang bulu.
Diskriminatif
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menganggap RUU Ketahanan Keluarga telah mendiskriminasi kelompok LGBT. Menjadikan LGBT sebagai salah satu ”ancaman nonfisik” dinilai menafikan fakta bahwa mereka adalah anggota masyarakat.
”RUU ini berpotensi membuat kelompok LGBT berada di posisi rentan. Mereka bisa menjadi sasaran tindakan korektif di masa depan,” kata Asfinawati.
RUU Ketahanan Keluarga dipandang problematik karena negara campur tangan mengatur ranah privat warganya. RUU ini juga dinilai berupaya mengatur moralitas warga negara.
”Bagi saya, ada upaya untuk mengimplementasikan moralitas suatu kelompok menjadi moralitas negara. Ini berbahaya sehingga harus dicegah,” katanya.
Saat dihubungi secara terpisah, komisioner Komisi Nasional Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga mengancam posisi kelompok LGBT yang sudah rentan. Mereka terancam disalahkan masyarakat dan didiskriminasi.
Menurut dia, regulasi seharusnya dibuat dengan melibatkan warga negara. Menyusun regulasi pun perlu mempertimbangkan hak warga.
”Pendekatannya harus berdasarkan hak warga, termasuk yang memiliki orientasi seksual minoritas,” kata Siti.