Kepanikan Dipicu Ketidakjelasan Informasi Covid-19
Pemerintah harus terbuka mengenai apa saja yang sudah dilakukan maupun rencana ke depan mengenai penanggulangan Covid-19. Ketertutupan informasi Covid-19 membuat warga justru dilanda kepanikan.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transparansi pemerintah dalam upaya penanggulangan wabah Covid-19 menjadi hal yang mutlak untuk meredakan kepanikan di masyarakat. Masyarakat akan memercayai informasi yang salah atau hoaks apabila komunikasi pemerintah tidak transparan dan otoritatif.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho, Senin (9/3/2020) di Jakarta, mengatakan, sifat menakutkan dari virus yang mudah menyebar, vaksin maupun obat yang belum ditemukan ilmuwan, diduga menjadi pemicu masifnya hoaks virus korona.
”Ditambah masih rendahnya kemampuan berpikir kritis masyarakat Indonesia membuka jalan bagi banjirnya hoaks Covid-19 di media sosial,” kata Septiaji.
Septiaji mengatakan, selama dua bulan kemunculan virus SARS-CoV-2 dan wabah Covid-19, sebanyak lebih dari seratus topik kabar hoaks telah menyebar di Indonesia.
Sebanyak 34 atau sekitar sepertiga dari total hoaks yang beredar adalah kabar bohong yang berkategori false reporting atau laporan keliru di Indonesia. Hoaks kategori ini mengacu pada kabar yang menyatakan di suatu tempat di Indonesia sudah ada kasus positif Covid-19.
Sebanyak 30 hoaks juga memberikan informasi yang salah mengenai asal-usul, metode penyebaran dan pencegahan virus, serta penyembuhan Covid-19.
Menurut Septiaji, sinergi setiap anggota kelompok masyarakat menjadi penting dalam upaya penanggulangan hoaks ini. Tidak hanya dari pihak pemerintah, tetapi platform internet, media massa, lembaga pemeriksa fakta, dan seluruh masyarakat juga memiliki peran untuk menjaga akurasi informasi yang beredar.
Septiaji mengatakan, pihaknya mengapresasi pemerintah yang sudah menunjuk Juru Bicara Pemerintah RI untuk Covid-19 serta pusat portal informasi di situs http://infeksiemerging.kemkes.go.id. Namun, ia menyayangkan ketidakpastian informasi juga berasal dari pemerintah.
”Masyarakat kadang bingung dengan pernyataan saling kontradiktif di antara pejabat publik, yang kemudian disimpulkan karena ketiadaan commander-in-chief untuk membangun narasi sekaligus membuat klarifikasi ketika hoaks melanda,” kata Septiaji.
Informasi itu tidak bisa dipercaya sampai sumbernya juga dipercaya.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, pihaknya akan terus menyisir internet dari peredaran hoaks. Setiap hoaks yang ditemukan juga akan disebarkan ke media massa dan instansi pemerintah.
Semuel meminta masyarakat tidak membagikan informasi mengenai Covid-19 sebelum akurasi kabar tersebut dapat dipertanggungjawabkan. ”Informasi itu tidak bisa dipercaya sampai sumbernya juga dipercaya,” kata Semuel.
Hingga Senin (9/3/2020) pukul 08.00 WIB, Ditjen Aplikasi Informatika mencatat sudah ada 179 kabar hoaks yang berkaitan dengan penyebaran penyakit Covid-19 beredar di Indonesia.
Secara terpisah, pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, mengatakan, pemerintah tidak dapat serta-merta meminta masyarakat untuk menjadi tenang begitu saja di tengah penyebaran Covid-19.
Pemerintah, menurut Firman, semestinya terbuka mengenai apa saja yang sudah dilakukan maupun rencana ke depan mengenai penanggulangan Covid-19.
Dengan keterbukaan informasi secara global, masyarakat dapat mengetahui apa penanganan Covid-19 yang dilakukan di belahan dunia yang lain. ”Ketika dirasa negara sendiri kurang komprehensif (penanganannya), maka akan timbul pertanyaan. Terus seperti itu,” kata Firman.
Dampak negatif
Septiaji mengatakan ada sejumlah dampak serius akibat peredaran hoaks mengenai Covid-19. Kepercayaan publik terhadap otoritas kesehatan, pemerintah, media massa, dan kalangan akademisi dapat menurun.
Kedua, kepercayaan masyarakat terhadap fasilitas kesehatan yang menjadi korban hoaks juga akan berkurang. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat enggan berobat ke fasilitas kesehatan tersebut.
”Padahal, di masa-masa epidemi semacam ini, hubungan antara masyarakat dan fasilitas kesehatan harus baik,” kata Septiaji.
Hoaks juga dapat mengganggu upaya pencegahan dan pengobatan Covid-19. Berdasarkan catatan Mafindo, ada 12 hoaks terkait pencegahan penyebaran virus SARS-CoV-2 serta muncul 9 hoaks mengenai pecegahan dan pengobatan Covid-19.
Apabila masyarakat memercayai ”pengobatan” yang ternyata tidak memiliki dasar medis yang kuat dan menghindari langkah-langkah yang disarankan oleh pihak otoritas dan kalangan medis, upaya penanggulangan Covid-19 akan tidak berjalan efektif.
Sentimen anti-China dan xenofobia juga akan menguat apabila hoaks terus beredar dan dipercaya oleh masyarakat. Sebanyak 23 topik hoaks dicatat oleh Mafindo sebagai sebuah upaya untuk memberikan stigma negatif kepada China.
Xenofobia dan tindak kekerasan berdasarkan ras yang menggunakan Covid-19 sebagai justifikasi juga sudah terjadi. Surat kabar terkemuka Inggris, The Guardian, melaporkan bahwa seorang mahasiswa asal Singapura, Jonathan Mok (23), mengalami pemukulan di London, Inggris, oleh sekelompok orang.
Penyebaran hoaks ini, menurut Septiaji, bahkan dapat mempertajam polarisasi politik yang masih membara pasca-Pemilu 2019.
Septiaji mengatakan, hoaks dengan nada anti-China, xenophobia, serta penanganan penderita wabah, baik di Indonesia maupun di China, cenderung disebarkan oleh mereka yang ketika Pemilu 2019 menggunakan isu anti-China.
”Psikologi post truth sering kali menyulitkan dalam memberikan penyadaran bahwa informasi yang dipercayai itu adalah hoaks,” tulis Septiaji dalam laporannya.
Tes masif
Penerapan tes Covid-19 secara masif juga diminta segera dilakukan pemerintah. Hingga Minggu (8/3/2020), pemerintah telah memeriksa 620 spesimen untuk mengetahui ada atau tidak paparan virus korona baru (Kompas, 9/1/2020).
Sukarelawan KawalCOVID19, Miki Salman, mengatakan, jumlah tersebut masih sangat sedikit dibandingkan dengan yang dilakukan sejumlah negara lain. Dengan jumlah tes yang sedikit, skala permasalahan menjadi tidak mudah dipahami.
”Kami minta kepada pemerintah agar tes dipermudah (aksesnya). Kalau jelas, kepanikan akan mereda dan publik akan lebih tenang,” kata Miki.
Korea Selatan, contohnya, telah menerapkan tes secara masif. Bloomberg melaporkan bahwa dengan kebijakan tersebut, lebih dari 140.000 orang telah dites. Tes yang dilakukan secara masif tersebut memungkinkan Pemerintah Korea Selatan dapat menemukan pusat penyebaran virus.
Tes yang masif ini juga memungkinkan warga yang telah terkena virus mendapat perawatan secara dini, membuat tingkat kematian menjadi kurang dari 1 persen.