Besar, tetapi Rapuh
Besarnya jumlah penduduk usia produktif itu adalah peluang sekaligus tantangan. Jika berkualitas dan produktif, mereka adalah sumber daya pembangunan yang andal.
Pengantar Redaksi
Menyambut kemerdekaan ke-75 tahun Indonesia pada 17 Agustus 2020 dan ulang tahun ke-55 Harian “Kompas” pada 28 Juni mendatang, Harian “Kompas” mengadakan rangkaian diskusi panel menyosong 100 tahun Indonesia pada 2045. Diskusi pertama berlangsung Januari 2020 dengan panelis Rektor Unika Atmajaya Jakarta A Prasentyantoko, pengajar Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika, Executive Director CSIS Philip J Vermonte, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro; dan Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Turro S Wongkaren. Laporan diskusi dirangkum Ninuk M Pambudy, A Tomy Trinugroho, Dewi Indriastuti, Anthony Lee, dan M Zaid Wahyudi.
Seabad Indonesia merdeka, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 319 juta jiwa. Indonesia yang saat ini menjadi negara keempat di dunia dengan jumlah penduduk terbanyak, diprediksi akan turun ke peringkat kelima setelah India, China, Nigeria, dan Amerika Serikat.
Jumlah penduduk usia produktif masih cukup besar meski bonus demografi secara nasional sudah berlalu tujuh tahun sebelumnya, sekitar 210 juta orang. Proporsi jumlah anak berumur kurang dari 18 tahun akan semakin berkurang dan jumlah warga senior berumur lebih dari 65 tahun kian besar.
Sebanyak 70 persen penduduk tinggal di perkotaan. Urbanisasi akan terus berlangsung dan migrasi antardaerah maupun antarnegara akan semakin masif. Kota-kota kian padat dan membesar. Sejumlah kawasan perdesaan pun berkembang menjadi kota-kota baru yang umumnya kota ‘kaget’.
Besarnya jumlah penduduk usia produktif itu adalah peluang sekaligus tantangan. Jika berkualitas dan produktif, mereka adalah sumber daya pembangunan yang andal. Namun jika mereka sakit-sakitan, rendah kompetensinya atau menganggur, bukan hanya ekonomi yang terancam namun juga stabilitas politik dan sosial.
Menyiapkan penduduk usia produktif agar berkualitas dan produktif adalah proses panjang, lintas periode politik. Konsistensi dan keberlanjutan program mutlak dibutuhkan karena hasil pembangunan manusia saat ini baru bisa dirasakan hasilnya beberapa tahun ke depan.
Mereka yang menjadi penduduk usia produktif pada 2045 adalah orang yang lahir antara 1980 hingga 2030. Itu berarti kelompok ini akan didominasi oleh Generasi Z atau Generasi Phi yang melek teknologi digital, gemar berkumpul dan berjejaring, serta mobile atau suka berpindah.
Bagian terbesar dari penduduk usia produktif tersebut adalah kelompok pekerja yang membutuhkan tersedianya lapangan kerja yang bermutu. Terlebih, energi dan aspirasi mereka besar karena rata-rata kondisi kesehatan mereka lebih baik dibanding generasi sebelumnya. Jika mereka tidak bekerja atau bekerja dengan upah rendah, maka mereka akan mudah termakan isu-isu negatif. Rendahnya kesejahteraan mereka adalah bahan bakar bagi intoleransi, radikalisme, berita bohong hingga kegaduhan sosial politik.
Selain memastikan tersedianya lapangan kerja lengkap dengan segala jaminan sosial pendukungnya, pemerintah juga perlu menyiapkan penduduk usia produktif itu agar mampu menjadi tenaga kerja yang berkualitas dan produktif. Persoalannya, tantangan kerja 25 tahun ke depan diprediksi akan jauh berbeda dengan saat ini. Di era revolusi industri 4.0, perlu kehati-hatian dalam mengembangkan sumber daya manusia ke depan.
McKinsey Indonesia pada 2019 memperkirakan akan ada 23 juta pekerjaan di Indonesia pada 2030 akan tergantikan oleh robot dan kecerdasan buatan. Pekerjaan yang hilang itu adalah pekerjaan yang bersifat rutin atau pengulangan, seperti pengumpul data, operator mesin atau bagian produksi.
Meski demikian, ada 27-46 juta pekerjaan baru, yang sebagian adalah jenis pekerjaan yang belum ada sebelumnya. Pekerjaan baru itu muncul sebagai antisipasi perkembangan teknologi, peningkatan daya beli masyarakat, pembangunan infrastruktur yang digencarkan pemerintah, serta layanan kesehatan.
Situasi itu perlu diantisipasi dan disiapkan mulai sekarang. Terlebih, situasi dasar sumber daya manusia Indonesia saat ini jauh tertinggal dibanding negara-negara lain, termasuk dengan negara-negara dengan pendapatan domestik bruto besar anggota G20 maupun negara ASEAN.
Indeks Perkembangan Anak (Child Flourishing Index) yang diluncurkan Organisasi Kesehatan Dunia, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-Anak (Unicef) dan The Lancet Commissions yang diluncurkan 18 Februari 2020 menempatkan anak-anak Indonesia pada rangking 117 dari 180 negara. Dengan nilai 0,54, perkembangan anak Indonesia tidaklah kurang, namun juga tidak mencukupi.
Sementara itu, Indeks Modal Manusia (Human Capital Index) yang dikeluarkan Bank Dunia 2018 untuk mengukur peluang yang bisa dicapai anak saat berumur 18 tahun menempatkan anak Indonesia pada peringkat 87 dari 157 negara. Dari indeks tersebut, 53 persen anak Indonesia yang lahir saat ini akan bisa mencapai potensi optimal mereka. Rangking itu menempatkan anak Indonesia pada peringkat enam di ASEAN.
Kedua data itu menunjukkan perlu investasi negara dan usaha lebih besar untuk membekali anak-anak Indonesia dengan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik agar mereka bisa menggapai potensi mereka secara penuh.
Nyatanya, anak Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan rumit, mulai dari kematian anak balita, penyakit infeksi, tengkes, putus sekolah, kekerasan, kesehatan reproduksi, hingga kemampuan kognitif mereka. Tanpa percepatan penanganan, Indonesia akan makin tertinggal dibanding negara-negara tetangga akibat besarnya jumlah penduduk dan kondisi geografis yang kompleks.
Kompleksnya persoalan penduduk membuat pembangunan manusia seharusnya dipersiapkan sesuai alur hidup mereka, from womb to tomb, sejak janin hingga mati. Kesuksesan pembangunan di setiap tahap kehidupan akan berdampak serius pada fase kehidupan berikutnya. Karena itu, investasi bangsa perlu spesifik sesuai umur dan perkembangan mereka.
Persoalan tengkes yang menjadi momok pembangunan manusia Indonesia harus segera dituntaskan. Hingga kini, Indonesia jadi salah satu negara dengan jumlah anak balita tengkes tertinggi di dunia. Padahal, tengkes bukan lagi jadi persoalan di banyak negara maju.
Meski demikian, tengkes tetap akan sulit diatasi selama malanutrisi pada remaja putri atau selama kehamilan tak diselesaikan. Tengkes berimbas pada buruknya kemampuan kognitif anak, rendahnya produktivitas bangsa, hingga sulitnya menahan laju pertumbuhan penderita penyakit degeneratif. Konsekuensinya, panjangnya harapan hidup, kesejahteraan dan kemajuan ekonomi sulit digapai.
Namun, kuatnya egosektoral membuat konsep pembangunan manusia yang utuh itu seringkali tak terwujud. Akibatnya kerepotan menyelesaikan persoalan kependudukan sering dihadapi meski solusinya diketahui.
Tengkes tetap akan sulit diatasi selama malanutrisi pada remaja putri atau selama kehamilan tak diselesaikan.
Kualitas pendidikan juga harus menjadi perhatian serius. Perlu ada sistem yang memastikan semua anak bisa menempuh jenjang pendidikan setinggi-tingginya. Paradigma sekolah demi mengejar gelar atau status sosial juga perlu diselesaikan mengingat ketidakcocokan antara pendidikan dengan kualifikasi pekerjaan masih sangat tinggi.
Mutu lembaga pendidikan pun perlu segera digenjot. Perguruan tinggi terbaik Indonesia saat ini baru ada di rangking 766 dunia versi Webometrics 2020. Kualitas lembaga vokasi pun masih jauh yang terlihat dari stagnannya keluhan industri sejak lama. Meski ada sejumlah lembaga pendidikan dengan prestasi unggul, jumlahnya masih sangat sedikit dan belum merata.
Untuk urusan kesehatan, peningkatan akses layanan kesehatan melalui jaminan kesehatan nasional perlu dilengkapi dengan gencarnya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Budaya hidup sehat masih menjadi tantangan besar seiring masih tingginya berbagai kasus penyakit infeksi dan terus meningkatnya kasus penyakit degeneratif yang berbiaya mahal.
Jika bisa menjaga kesehatan penduduk usia produktifnya, lanjut Turro, Indonesia berpeluang meraih bonus demografi kedua, yaitu dengan melimpahnya penduduk senior yang masih sehat dan produktif. Sebaliknya jika gagal, Indonesia akan menghadapi lonjakan beban akibat banyak warga senior yang ringkih, usia hidupnya makin panjang namun sakit-sakitan.
Pemajuan perempuan juga jadi pekerjaan rumah besar karena separuh penduduk Indonesia adalah perempuan. Meski tingkat pendidikan perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki, partisipasi mereka di dunia kerja masih rendah dan umumnya di sektor informal. Persoalan budaya yang memicu diskriminasi pada perempuan juga harus diselesaikan agar investasinya negara memberi hasil optimal.
Perbaikan pola investasi negara terhadap pembangunan manusia itu harus dimulai dari sekarang. Meski Presiden Joko Widodo menjadikan sumber daya manusia sebagai prioritas dalam periode kedua kepemimpinannya, tetapi masih diperlukan penegasan program dan langkah detail untuk mewujudkannya. Keberlanjutan program itu juga harus dijaga, siapapun yang akan menjadi Presiden Indonesia berikutnya.
Semakin Indonesia tak terarah dalam membangun manusia, ganti kebijakan saat rezim berganti, mutu manusia Indonesia akan makin tertinggal dibanding bangsa-bangsa lain. Besarnya jumlah penduduk sudah seharusnya diikuti dengan kualitas manusia yang baik. Jika tidak, manusia Indonesia hanya bagaikan buih di lautan yang dengan mudah dipermainkan ombak negara-negara lain.