Verifikasi Legalitas Produk Kayu Dilemahkan, Hutan Indonesia Terancam
Indonesia lama merintis Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Tapi, Peraturan Menteri Perdagangan 15/2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan malah bakal mengizinkan ekspor kayu tanpa verifikasi legal.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan dinilai mengancam kelestarian hutan Indonesia. Jika aturan itu efektif berlaku pada 27 Mei 2020, maka ekspor kayu tak lagi wajib menyertakan dokumen verifikasi legal.
Tanpa verifikasi legal, sistem legalitas dan keterlacakan produk kayu menjadi lemah. Akibatnya, bakal terbuka celah kayu hasil pembalakan liar merembes keluar untuk diproduksi sebagai komoditas kayu olahan dan barang jadi.
“Apa artinya membuka keran investasi, kalau untuk kepentingan sesaat. Sumber daya hutan \'diperkosa\' karena praktik pembakalan liar akan menghancurkan hutan. Belum lagi dampak bencana yang diderita masyarakat akibat kerusakan hutan,” kata EG Togu Manurung, pakar ekonomi kehutanan IPB University, Kamis (19/3/2020), di Jakarta.
Pelemahan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) akan membawa kembali Indonesia pada stigma sebagai negara penghasil produk kayu dari hasil pembalakan liar dan perusakan hutan. Upaya Indonesia untuk merintis SVLK sejak tahun 2003 pun menjadi sia-sia.
Apalagi, SVLK ini juga awalnya sedang didorong untuk memastikan produk kayu tak sekadar legal dan terlacak sumber bahan bakunya. SVLK juga didesain untuk memastikan kayu tersebut didapatkan dari hutan yang dikelola secara lestari/berkelanjutan. Upaya yang telah dibangun ini dinilainya kontradiktif dengan keputusan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan No 15 tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Menurutnya, dengan SVLK yang memberi jaminan keterlacakan hulu-hilir seperti saat ini saja masih terjadi sejumlah kasus pembalakan liar. Mengacu pemberitaan Kompas, pembalakan liar masih terus terjadi di kawasan hutan konservasi di Jambi dan Riau. Belum lagi hasil operasi resmi Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menggagalkan penyelundupan ratusan kontainer berisi kayu merbau illegal dari Papua di Surabaya.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia Soelthon G Nanggara mengatakan, kayu-kayu illegal ini akan lebih mudah merembes ke tempat pemrosesan kayu olahan. Artinya, bila SVLK tak diberlakukan dari hulu ke hilir, produk kayu illegal akan mudah bercampur dengan kayu-kayu illegal. Ini akan menurunkan kredibilitas pembeli pada SVLK yang telah menjadi “brand nasional” Indonesia.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) bidang Organisasi dan Hubungan Antarlembaga Wiradadi Soeprayogo mengatakan terkejut dengan penerbitan Permendag 15 tahun 2020. “Surprise-nya karena kemarin kami merasakan ada belenggu adanya SVLK dengan kelengkapan V-Legal sebagai persyaratan wajib agar bisa keluar dari custom (Bea dan Cukai) Indonesia ke negara mana pun,” kata dia.
Namun ia menyatakan heran Permendag 15 tahun 2020 membebaskan semua produk kayu dari kewajiban dokumen V-legal, termasuk kayu olahan. “Produk kami itu 85-90 persen tidak memakai kayu dari hutan alam seperti bangkirai atau merbau, paling banter jati-nya Perhutani," kata dia. Beda dengan produk lain seperti plywood yang bahan bakunya didapatkan dari kayu hutan.
Wiradadi mengatakan sejak empat tahun terakhir pihaknya acapkali meminta Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan mebel dan kerajinan dari kewajiban SVLK. Ini didasarkan dari pengalaman perdagangan dengan pihak Uni Eropa yang dirasanya diskriminatif.
Ia menjumpai produk mebel dari negara lain yang tak menjalin kerjasama dengan Uni Eropa malah produknya mudah memasuki Uni Eropa. “Kalau ditanyakan ke Uni Eropa itu (katanya) yang tandatangan (perjanjian) cuma Indonesia,” kata dia.
Selain itu, Wiradadi pun menyebutkan pengurusan dokumen V-legal tidaklah murah. Ia menyebutkan per lembar dokumen V Legal membutuhkan biaya Rp 250.000 – 300.000 per lembar.
Kemudian untuk mengikuti sertifikasi dalam SVLK, pelaku usaha mengeluarkan biaya Rp 20 juta – 30 juta per tahun untuk penilikan atau surveillance. Lalu setiap tiga tahun harus memperbaharui/memperpanjang sertifikasinya. “Ini membuat daya saing kita semakin turun,” kata dia.
Ia pun menyebutkan data penjualan mebel sejak bertahun-tahun tak bergerak dari 2,5 miliar – 2,7 miliar dollar AS. Ini berbeda dengan data Sistem Informasi Legalitas Kayu Online yang menunjukkan nilai perdagangan produk kay uterus meningkat sejak kewajiban SVLK ditetapkan.
Dihubungi Kamis malam, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono mengatakan masih berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan terkait Permendag 15/2020. “Kan berlaku masih tiga bulan, ini kami manfaatkan merevisi permendag ini,” kata dia.
Ia mengatakan dalam revisi nantinya justru dilakukan penguatan terhadap SVLK. Selain itu, ia mengatakan industri kecil menengah yang mengolah mebel/furniture dari bahan baku kayu rendah risiko akan kembali dipermudah. Dikatakan rendah risiko karena umumnya berasal dari kayu rakyat atau bukan dari kawasan hutan. Ia mengatakan pemerintah akan membantu IKM dalam mendapatkan V-Legal melalui anggaran pemerintah.
Bambang Hendroyono yang juga Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari mengatakan revisi Permendag ini pun nantinya juga akan disinergikan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait SVLK. “Kami akan surati Kementerian Perdagangan dan membahas lebih lanjut,” kata dia.