”Superspreader”, Risiko Dua Arah Penularan Covid-19 dari Pejabat Publik
Sejumlah pejabat publik dari menteri hingga kepala daerah dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Dengan segala aktivitas para pejabat tersebut, mereka berpotensi menjadi penular super atau ”superspreader” wabah ini.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
Virus korona tidak diskriminatif. Sejumlah pejabat publik di Indonesia juga telah positif tertular penyakit virus korona, Covid-19. Peran mereka sebagai pejabat publik mengandung risiko tersendiri dalam penularan pandemi ini. Kecenderungan untuk menggelar atau menghadiri acara yang dihadiri massa membuat mereka riskan berperan tanpa sadar sebagai superspreader.
Batuk-batuk dan sesak napas membuat Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana tidak bisa melanjutkan pidatonya pada acara pelantikan kepala desa di wilayahnya pada Jumat (20/3/2020). Beberapa hari kemudian, pada Selasa, ia mengungkapkan telah positif terinfeksi virus SARS-CoV-2.
Sulit untuk memperkirakan dari mana Cellica tertular. Sebagai orang nomor satu di Karawang, ia hadir di banyak acara masyarakat selama masa 14 hari inkubasi virus korona. Dari kunjungan ke pasar induk hingga apel hari ulang tahun pemadam kebakaran dan seminar pendidikan.
Sekitar dua pekan sebelumnya, Cellica juga menghadiri Musyawarah Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Jawa Barat. Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana juga hadir dalam acara tersebut.
Yana ternyata juga positif tertular virus korona beserta 5 peserta lainnya. Kini, sekitar 400 peserta acara tersebut masuk kategori orang dalam pemantauan (ODP).
Seminggu setelah acara Hipmi tersebut, Cellica juga menghadiri Kongres V Partai Demokrat. Sebanyak 600 kader partai dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarta Convention Center pada 15 Maret 2020. Belum ada temuan peserta kongres yang positif korona sejauh ini.
Tetapi, jika tanpa disadari pejabat itu sudah terinfeksi dan tetap beraktivitas seperti sedia kala—baik rapat maupun ke tengah kerumunan massa—maka mereka dapat menjadi superspreader.
Selain Celica dan Yana, nama Wali Kota Bogor Bima Arya dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga terdapat pada daftar pejabat pemerintahan yang positif korona. Selasa kemarin, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Zulfikri juga telah dinyatakan positif.
Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Syahrizal Syarif, mengatakan, tidak semerta-merta seorang pejabat pemerintah otomatis menjadi seorang superspreader.
Super spreader, atau penular super, kata Syarizal, adalah orang yang menularkan penyakit ke orang lain dengan jumlah melebihi kecepatan penularan penyakit tersebut.
Kecepatan penularan ini biasa disebut sebagai angka R0. Covid-19, kata Syahrizal, memiliki R0 pada angka 2 hingga 3. Artinya, satu orang dapat menularkan ke 2-3 orang lainnya.
Apabila melalui pelacakan kontak (contact tracing) seseorang ditemukan menularkan penyakit lebih dari angka tersebut, dia dapat disebut seorang superspreader. ”Orang ini bisa siapa saja,” kata Syahrizal.
Namun, kecenderungan aktivitasnya yang membuat seorang pejabat publik ataupun tokoh masyarakat memiliki risiko tinggi untuk tertular ataupun menulari.
Syahrizal mengatakan, tokoh masyarakat sering berada dalam acara kerumunan orang, dan juga sering menerima jabatan tangan serta tidak menjaga jarak. Jadi, mereka termasuk risiko tinggi tertular Covid-19.
”Tetapi, jika tanpa disadari pejabat itu sudah terinfeksi dan tetap beraktivitas seperti sedia kala—baik rapat maupun ke tengah kerumunan massa—mereka dapat menjadi superspreader,” kata Syahrizal.
Septian Hartono, sukarelawan KawalCovid19, mengatakan, fenomena sejumlah pejabat publik tertular ini dimungkinkan karena jumlah kontak yang mereka lakukan tergolong tinggi. ”Jadi gampang kena, mudah menularkan juga,” kata Septian.
Semakin besar jumlah kerumunan, semakin tinggi juga risiko penularannya. Direktur program Quantitative Bioscience di Georgia Institute Technology Joshua Weitz mengalkulasikan, di Amerika Serikat, apabila ada kerumumunan massa sejumlah 15.000 orang, ada 95 persen peluang acara tersebut dihadiri satu orang yang telah terinfeksi korona.
Jika kerumunan hanya beranggotakan 250 orang, peluang adanya seseorang yang terinfeksi korona hadir pada acara tersebut hanya 5 persen. ”Jadi sangatlah penting memperkecil jumlah kerumunan dan tetap jaga jarak,” kata Weitz kepada National Geographic.
Untuk itu, Syahrizal mengingatkan para pejabat agar menerapkan jaga jarak dan mengurangi interaksi sosial dengan orang lain. ”Kalau rapat harus berjarak. Dan yang penting harus mendidik masyarakat agar patuh tinggal di rumah dan menjaga risiko jika keluar rumah,” ujarnya.
Pasien 31
Di Korea Selatan, fenomena superspreading identik dengan ”Pasien 31”, perempuan berusia 61 tahun warga kota Daegu. Pasien ini sempat mengeluh demam pada 7 Februari, tetapi menolak dites korona.
Dia kemudian dites 10 hari kemudian dan ditemukan positif keesokan harinya. Namun, dalam jangka waktu beberapa hari tersebut, Pasien 31 telah mengunjungi sejumlah tempat publik; dari prasmanan di hotel, pemandian umum, hingga dua kali ke gereja, Gereja Shincheonji Daegu. Total, dipercaya, pasien ini berkontak dengan 1.160 orang.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Korea Selatan (KCDC) pada 18 Maret mengumumkan bahwa penyebaran virus yang terkait dengan Gereja Shincheonji adalah 4.482 kasus, atau sekitar 60 persen total kasus di negara tersebut pada saat itu.
Fenomena superspreader dengan jumlah masif juga pernah terjadi pada pandemi SARS 2003. Kejadian bermula ketika Lui Jianlun, dokter asal Guangdong, China—asal mula virus penyakit tersebut—pergi menginap selama satu malam di sebeuah hotel di Hong Kong pada 21 Februari 2003.
Mungkin hanya satu malam, tetapi Jianlun telah menularkan kepada setidaknya 16 tamu hotel yang menginap di lantai yang sama.
WHO mencatat, dalam empat bulan setelah kejadian tersebut, lebih dari 4.000 kasus dan 550 pasien meninggal akibat SARS di seluruh dunia, memiliki kaitan dengan Jianlun.