Sertifikasi ISPO, Pintu Masuk Atasi Kebakaran Hutan dan Deforestasi
Penerapan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Berkelanjutan atau ISPO diharapkan bisa mendorong upaya perlindungan hutan dan rawa gambut yang memberikan kontribusi signifikan pada penanggulangan krisis iklim.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan baru mengenai sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Berkelanjutan atau ISPO mencantumkan salah satu tujuannya, yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca. Perlindungan hutan dan rawa gambut menjadi faktor penting untuk ditekankan pada praktik sertifikasi tersebut agar perkebunan mampu berkontribusi signifikan pada penanggulangan krisis iklim.
”Benang merah antara perkebunan sawit, perubahan iklim, serta kebakaran hutan dan lahan adalah gambut,” kata Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Minggu (4/4/2020), di Jakarta.
Emisi gas rumah kaca dari pembukaan gambut dan kebakaran yang acap kali mengikuti kegiatan terlarang itu membuat emisi gas rumah kaca Indonesia sangat tinggi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, kebakaran periode Januari-Agustus 2019 telah membakar 328.724 hektar hutan dan lahan, telah melepaskan emisi gas rumah kaca dari gambut seluas 89.563 hektar sebesar 82,7 juta ton setara CO2 dan kebakaran pada lahan mineral seluas 239.161 ha sebesar 27 juta ton setara CO2e (Kompas, 9 September 2019). Sebagai perbandingan, angka acuan Indonesia terkait pelepasan emisi karbon dari gambut sebesar 47 juta ton CO2e (kondisi tahun 2010).
Upaya merehabilitasi gambut yang telanjur dibuka, dikeringkan, dan mengalami subsidensi tidaklah mudah sehingga terus-menerus melepaskan emisi. Teguh Surya menunjukkan RPJMN 2019-2024 bahkan mencatat keberhasilan restorasi gambut sangat kecil. Pada areal konsesi, keberhasilannya hanya mencapai 8 persen.
Karena itu, Perpres No 44/2020 diharapkannya bisa membantu upaya perlindungan ekosistem-ekosistem rawa gambut yang tersisa dari ancaman pembukaan lahan, baik yang telah berizin maupun (apalagi) yang bodongan. ”Tujuan dari perpres ini adalah keberterimaan pasar dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Isu perlindungan gambut sangat relevan sekali terkait keduanya,” katanya.
Aspek pencegahan deforestasi untuk perkebunan sawit sangat penting.
Selanjutnya, kata dia, aspek pencegahan deforestasi untuk perkebunan sawit sangat penting. Selain luas kebun sawit Indonesia sudah sangat luas, lebih dari 16,3 juta hektar, peluang meningkatkan produktivitas, terutama pada perkebunan rakyat, masih sangat tinggi.
Ia mengatakan, sertifikasi ISPO yang bersifat wajib ini agar bisa memastikan penghentian deforestasi baru meski Presiden mengeluarkan kebijakan moratorium sawit (Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit terbit pada 19 September 2018). Inpres tersebut dinilai tak cukup karena hanya berlaku selama tiga tahun atau hingga 2021.
Apabila kebijakan tersebut tak berlaku lagi, ia mengkhawatirkan perkebunan kelapa sawit dapat berekspansi lebih jauh ke dalam kawasan hutan dan tidak akan ada perlindungan sama sekali untuk hutan alam, terutama yang diklasifikasikan sebagai hutan alam sekunder. ”Prinsip dan kriteria ISPO yang baru harus mampu memperbaiki kelemahan ini jika ISPO memang ditujukan untuk menjadi instrumen bagi keberlanjutan dan bukan sekadar legalitas,” ujarnya.
Hal ini dapat dilakukan dengan menyatakan secara eksplisit dalam kriteria dan indikator bahwa perkebunan kelapa sawit tidak dapat lagi dibangun dari konversi hutan alam. Selain itu, pelaku usaha juga wajib melindungi hutan alam yang tersisa di dalam area izin kelapa sawit. Jika perlindungan hutan dan gambut ini bisa dijalankan Indonesia dalam Sertifikasi ISPO, ia yakin langkah tersebut sangat membantu pencapaian komitmen pengendalian perubahan iklim Indonesia (NDC).
Tak buka lahan dengan membakar
Secara terpisah, Fandi dari Direktorat Perkebunan pada Yayasan Auriga Nusantara mengungkapkan, ujian legitimasi sertifikasi ISPO yaitu terkait kasus kebakaran pada konsesi perkebunan sawit. ”Prinsip ISPO harus bisa diterapkan untuk mencegah kebakaran pada tahun-tahun berikutnya,” ucapnya.
Apalagi, kata dia, dua-tiga bulan lagi, sejumlah besar wilayah Sumatera dan Kalimantan kembali memasuki musim kemarau. Ia menyatakan sangat penting bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan-peraturan teknis serta memastikan pemilik konsesi perkebunan tak membuka lahan dengan cara membakar dan melindungi arealnya dari kebakaran.
Muhammad Teguh Surya menambahkan, pemerintah bisa memanfaatkan pasal peralihan, Pasal 26, pada Perpres No 44/2020 sebagai instrumen pencegahan kebakaran. Pasal peralihan tersebut membuka peluang pencabutan sertifikat ISPO pada pelaku usaha yang tidak menerapkan prinsip dan kriteria ISPO, di antaranya pengurangan emisi gas rumah kaca yang dalam hal ini adalah pengendalian kebakaran lahan dan deforestasi.
”Pasal peralihan ini merupakan peluang karena banyak perusahaan bandel tetap mendapatkan sertifikat ISPO. Ini merusak upaya perbaikan tata kelola (kebun sawit),” ucapnya. Karena itu, ia berharap melalui perpres ini pemerintah memprioritaskan evaluasi kepada para pemegang sertifikat ISPO dan melakukan penegakan hukum.
Terkait pasal peralihan ini, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dedi Junaedi mengatakan, hal tersebut diatur lebih detail dalam draf peraturan menteri pertanian. ”Nanti dilakukan penilikan ulang sesuai (sistem sertifikasi) ISPO baru,” katanya.