Puluhan aktivis yang menolak revisi UU KPK dan RUU "omnibus law" mengalami hal-hal yang diduga merupakan peretasan akun pada aplikasi WhatsApp. Hingga kini, dugaan peretasan itu masih diselidiki.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 30 aktivis pernah mengalami dugaan peretasan dalam waktu kurang dari setahun terakhir. Modus yang digunakan mirip dengan yang dialami Ravio Patra, yaitu diretas, dikuasai akun Whatsapp kemudian digunakan untuk menyebar konten-konten tertentu.
Ellen Kusuma dari Divisi Keamanan SAFENet, saat dihubungi pada Jumat (24/4/20200), mengatakan, 30 aktivis yang diduga mengalami peretasan ialah mereka yang sebelumnya melakukan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kejadian serupa juga dialami aktivis yang menolak pembahasan undang-undang dengan metode omnibus law.
Hingga kini masih dilakukan upaya pembuktian terhadap dugaan peretasan yang terjadi kepada sekitar 30 aktivis tersebut.
Menurut Ellen, hingga kini masih dilakukan upaya pembuktian terhadap dugaan peretasan yang terjadi kepada sekitar 30 aktivis tersebut. Menurut dia, hal ini tidak mudah dilakukan mengingat dibutuhkannya kemampuan digital forensik dari pihak kepolisian untuk mengungkapkannya.
”Iya (sekitar 30 aktivis) mengalami karakteristik sebuah peretasan, bisa diduga diretas,” kata Ellen.
Dugaan peretasan terakhir dialami oleh Ravio, aktivis yang sering mengkritik tentang kebijakan pemerintah menangani Covid-19 dan mempersoalkan konflik kepentingan salah satu staf khusus presiden. Pada Selasa (21/4) lalu, Whatsapp-nya diretas dan digunakan untuk menyebarkan konten berisi ajakan penjarahan. Pada Rabu (22/4) malam, ia diamankan Polda Metro Jaya, tetapi kemudian dilepaskan pada Jumat (24/4) pagi.
Seperti Ravio, peretasan terhadap 30-an aktivis itu dilakukan terhadap aplikasi percakapan Whatsapp yang terdapat di gawai masing-masing. Modusnya sebagian dilakukan dengan menguasai akun Whatsapp yang bersangkutan untuk kemudian menyebarkan pesan-pesan yang bertentangan dengan hal-hal yang tengah diperjuangkan.
Akan tetapi, ada pula modus lain. Misalnya, dilakukannya doxing setelah gawai sebagian aktivis tersebut dikuasai. Dalam salah satu kasus, imbuh Ellen, foto pribadi salah seorang di antaranya bahkan dimanipulasi untuk menyerang kredibilitas dan integritas aktivis dimaksud. Tujuannya adalah mendeligitimasi aktivis bersangkutan tatkala menyuarakan hal-hal yang diperjuangkan atau diadvokasi.
Jumlah korban, imbuh Ellen, kemungkinan akan naik. Ia menyebutkan bahwa pihaknya mulai intens memantau korban-korban tersebut sejak momentum penolakan revisi UU KPK.
Pakar digital forensik Ruby Alamsyah saat dihubungi terpisah mengatakan bahwa pertanggungjawaban platform teknologi, dalam hal ini Whatsapp, sangat tergantung pada hasil pembuktian ilmiah yang dilakukan. Apakah peretasan tersebut murni karena kesalahan teknis dari platform tersebut ataukah tidak.
Ruby menambahkan, kalau ternyata kesalahan yang ada melibatkan pengguna sendiri, perusahaan penyedia platform tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Ia juga menyebutkan bahwa kesalahan teknis dari platform biasanya hanya terjadi saat adanya bugs baru dan belum diperbaiki. Menurut Ruby, jika ada bugs seperti itu, akan terjadi ke banyak pengguna di seluruh dunia alih-alih hanya satu individu di satu negara.
Communication Lead Facebook Indonesia Putri Dewanti, saat dihubungi, hanya mengirimkan rilis standar terkait hal tersebut. Di dalamnya berisi keterangan bahwa meskipun pihaknya tidak dapat memberikan tanggapan terkait pengguna tertentu, perhatian utama Facebook adalah keamanan orang-orang yang menggunakan layanan.
Sebelumnya dalam diskusi daring Perlindungan Data Pribadi dalam Aplikasi PeduliLindungi yang diselenggarakan Perkumpulan Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) pada Selasa (21/4/2020) malam, peneliti senior The Citizen Lab (bagian dari University of Toronto di Kanada) Irene Poetranto menyebutkan ihwal serangan siber yang dialami masyarakat sipil. Berdasarkan riset Citizen Lab, Irene menyebutkan, masyarakat sipil menghadapi ancaman siber yang sama dengan pemerintah dan perusahaan, tetapi tidak punya kapasitas yang sama dengan perusahaan dan pemerintah untuk menghadapinya.