Audit kepatuhan kepada pelaku usaha kehutanan dan perkebunan yang beroperasi di daerah-daerah rawan kebakaran. Hal itu bertujuan untuk mencegah terjadinya tragegi kebakaran hutan dan lahan yang berulang.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah didorong untuk kembali melakukan audit kepatuhan kepada pelaku usaha kehutanan dan perkebunan yang beroperasi di daerah-daerah rawan kebakaran. Langkah yang pernah dilakukan pada tahun 2014 di Riau itu bisa kembali diaktifkan karena relevan dengan kondisi saat ini.
Hingga kini kepatuhan perusahaan berbasis lahan tersebut dinilai masih rendah. Berbagai temuan ketidakpatuhan tersebut ditunjukkan Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, Senin (11/5/2020), di Jakarta, dalam diskusi virtual Restorasi Gambut di Konsesi Perkebunan yang digelar Badan Restorasi Gambut (BRG).
Peralatan pemadam kebakaran yang minim hingga menara api (menara pemantauan) yang dibangun seadanya setinggi lima meter menunjukkan ketidakseriusan perusahaan untuk mengantisipasi kebakaran. “Sarana dan prasaran pengendalian kebakaran yang minim dan tidak memadai baik jumlah maupun spesifikasinya masih menjadi satu dari beberapa faktor utama penyebab kebakaran tidak mudah dikendalikan,” kata Bambang Hero.
Untuk itu, pemerintah didorong kembali melakukan audit kepatuhan untuk memastikan korporasi memenuhi berbagai kewajiban pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Ini agar pemerintah tak percaya begitu saja dengan pengakuan perusahaan yang menyatakan siap menghadapi musim kemarau.
Pada tahun 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mengecek kesiapsiagaan korporasi kehutanan dan perkebunan. “Semua (perusahaan) bilang mengatakan siap dan fasilitas ada. Maka (Presiden) minta lakukan evaluasi,” kata Bambang Hero yang juga ketua tim audit kepatuhan saat itu.
Tim mengaudit 17 perusahaan logging, hutan tanaman industri, dan perkebunan sawit yang seluruhnya tidak patuh (Kompas, 11 Oktober 2014). Ia mengatakan dorongan audit kepatuhan masih relevan meski pemerintah memiliki seperangkat regulasi yang lebih detail. Sejak tahun lalu, ia menyarankan agar audit kepatuhan kembali dilakukan menyeluruh pada seluruh provinsi rawan kebakaran hutan dan lahan setelah terjadi kebakaran.
Audit sebagai bentuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan ini menjadi penting agar tragedi asap tak berulang. Dari sisi anggaran negara sebagian dana siap pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) digunakan untuk membiayai pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Bagi perusahaan, yang tak berniat membakar, kejadian kebakaran membuat lahan dan tanaman rusak.
Selain itu, audit kepatuhan mengingatkan perusahaan untuk mengecek berbagai fasilitas seperti embung, sumur bor, dan sekat kanal yang dibangun. Sarana dan prasarana fisik ini pun harus dicek agar berfungsi bila terjadi kebakaran.
“Banyak kejadian, saat terjadi kebakaran tak bisa memadamkan karena selang ada tetapi mesin tidak ada. Atau sudah berat-berat dibawa, ternyata selang bolong-bolong dihajar tikus. Semua harus sejak awal serius agar tidak dihajar oleh kebakaran,” tuturnya.
Audit kepatuhan bisa dibarengi dengan supervisi restorasi gambut. Itu bertujuan membantu perusahaan mengatur tata air agar areal gambut konsesi tidak mudah terbakar dan tetap tersedia air bagi produktivitas tanaman saat kemarau. “Perlu waktu cukup untuk memperbaiki hal-hal yang keliru,” kata Bambang.
Supervisi
Terkait supervisi ini, sejak tahun 2018, Badan Restorasi Gambut (BRG) melakukannya pada 29 perusahaan perkebunan sawit yang menyediakan diri untuk diasistensi oleh para pakar. Meski demikian, pada kebakaran tahun lalu, area yang dikelola dua perusahaan masih terbakar.
Banyak kejadian, saat terjadi kebakaran tak bisa memadamkan karena selang ada tetapi mesin tidak ada. Atau sudah berat-berat dibawa, ternyata selang bolong-bolong dihajar tikus.
“Informasi dan kemauan perusahaan untuk menjalankan rekomendasi sangat penting karena punya sarana prasarana lengkap pun tidak menjamin bebas kebakaran,” kata Dermawati Sihite Kasubpokja Supervisi Pengelolaan Lahan Konsesi BRG.
Pada 29 perusahaan yang disupervisi itu, 15 perusahaan di antaranya tak memiliki peta ketebalan gambut, tujuh perusahaan memiliki petanya tapi tidak sesuai peta indikatif, dan tujuh perusahaan lainnya memiliki peta dan sesuai peta indikatif. Peta menjadi bagian penting untuk mendapat gambaran dan bahan perencanaan pengelolaan konsesi.
Dari sisi kelengkapan neraca air, 23 perusahaan tak memiliki perhitungan neraca air dan enam perusahaan memiliki neraca air sederhana. Neraca air dan desain tata air adalah salah satu poin penting dalam melaksanakan kegiatan restorasi hidrologi.
Direktur Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian, Ardi Praptono, memaparkan, Kementerain Pertanian memiliki sejumlah regulasi dan program untuk mendorong restorasi gambut dan pencegahan/penanganan kebakaran hutan dan lahan. Salah satunya adalah, Peraturan Menteri Pertanian No 5 tahun 2018 tentang Pembukaan dan/atau Pengolahan Lahan Tanpa Membakar.
Selain melarang pembukaan dan pembersihan lahan dengan cara membakar, dalam regulasi itu, pemerintah mewajibkan pelaku usaha perkebunan memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan perkebunan. Ini tidak hanya mencakup sarana fisik tetapi juga sumber daya manusia dan manajemen organisasinya.
“Perusahaan perkebunan wajib melaporkan kegiatan pembukaan/pengolahan lahan tanpa membakar dan sistem sarpras yg dimiliki kepada pemberi izin tiap satu tahun sekali,” kata dia.