Akurasi Data, Instrumen Penting Pengendalian Pandemi Covid-19
Rencana pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran Covid-19 terus menuai kritik. Salah satunya karena rencana itu tanpa berbasiskan pada data yang valid.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akurasi data dibutuhkan dalam mengendalikan pandemi Covid-19. Setiap kebijakan pemerintah pun hendaknya berbasiskan pada data yang lengkap dan akurat. Namun, hingga kini, kelengkapan dan akurasi data masih menjadi persoalan. Karena itu, pemerintah harus hati-hati dalam melonggarkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB.
Perwakilan Koalisi Warga untuk Lapor Covid-19, Irma Hidayana, mengatakan, pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 seharusnya berdasarkan data yang lengkap dan valid.
Menurut Irma, data terkait Covid-19 yang disampaikan oleh pemerintah saat ini belum lengkap. Dari hasil temuannya, berdasarkan data resmi dari pemerintah di tingkat kabupaten/kota, angka kematian di luar mereka yang positif Covid-19 jauh lebih tinggi daripada angka kematian resmi yang sudah dites Covid-19 dengan hasil positif.
”Pada 11 April, WHO sudah memperbarui catatan kematian. WHO mengajukan, semua kematian yang diduga memiliki gejala sebagai Covid-19 harus dicatat kematian terkait Covid-19, sampai terbukti bahwa kematian tersebut tidak diakibatkan Covid-19,” kata Irma dalam diskusi secara daring yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia, Senin (11/5/2020).
Dalam diskusi bertopik ”Pentingnya akurasi dan transparansi data untuk melandaikan kurva Covid-19” tersebut, Irma menyampaikan, dari hasil temuan laporcovid19.org, ada ketidakseragaman pelaporan orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal, yang dilakukan pemerintah daerah. Ada wilayah yang tidak mencantumkan jumlah ODP dan PDP yang meninggal, tetapi ada yang sudah, seperti Jawa Timur dan Bengkulu.
Sementara itu, dari data 20 provinsi yang sudah dikumpulkan, data lengkap yang ditemukan hanya ada di 7 provinsi, yakni Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Di tujuh provinsi tersebut, ada perbedaan angka positif meninggal dengan jumlah ODP dan PDP yang meninggal dengan jarak mencapai 10 hingga 80 persen.
Melihat pentingnya data tersebut untuk mengambil kebijakan yang tepat, Irma menganjurkan agar pemerintah mengimbau pemerintah daerah untuk mencatat kematian PDP dan ODP sesuai anjuran WHO.
Pengambilan kebijakan
Peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, melihat ada upaya dari pemerintah untuk melakukan pemeriksaan terkait Covid-19. Hal tersebut terlihat dari terus bertambahnya orang yang positif terpapar Covid-19. Hingga Senin, terdapat 14.265 orang yang positif terpapar Covid-19 dengan jumlah kenaikan 233 orang.
Melihat pentingnya data tersebut sebagai instrumen navigasi dalam pengendalian pandemi, pengambilan kebijakan dalam penanganan Covid-19 perlu dilakukan secara utuh dan tidak hanya melihat data di Pulau Jawa dan Bali. Sebab, kenaikan jumlah orang yang terpapar Covid-19 juga ada di Sumatera, Sulawesi, dan Papua.
Ia berharap, pemerintah mengambil keputusan berbasis data. Karena itu, sebaiknya tetap mengoptimalkan kebijakan PSBB.
Epidemiolog dari Universitas Padjadjaran, Panji Hadisoemarto, mengatakan, pada penyakit menular, setiap kasus menjadi sumber penularan. Karena itu, sebaiknya pemerintah hati-hati dalam melonggarkan PSBB untuk kepentingan ekonomi sampai kondisi aman.
Ia mengungkapkan, suatu wilayah dapat dikatakan aman jika kasus positif Covid-19 kecil, yakni satu kasus per satu juta penduduk. Sebagai contoh, DKI Jakarta berada dalam kondisi aman jika hanya ada 10 kasus aktif.