RUU Cipta Kerja Tak Mengarah Pembangunan Berkelanjutan
Isi Rancangan Undang Undang Cipta Kerja dinilai tidak selaras dengan pembangunan berkelanjutan. Hal itu mengancam upaya menjaga keseimbangan antara lingkungan, sosial, dan ekonomi di Indonesia.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Isi Rancangan Undang Undang Cipta Kerja dinilai tidak selaras dengan pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati untuk menjaga keseimbangan antara lingkungan, sosial, dan ekonomi di Indonesia. Peraturan terkait lingkungan hidup di dalamnya pun mundur dan mengganti aturan serta prinsip asar yang seharusnya diperkuat dalam regulasi teknis.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun diingatkan bahwa konstitusi Indonesia telah menjamin tiap warga negara atas lingkungan hidup yang layak. Pelaksanaan isi Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja akan melawan konstitusi karena menempatkan warga dalam ancaman bahaya lingkungan tanpa safeguard (pengaman).
Dasar menjalankan pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga lingkungan yang menjadi dasar pembangunan berkelanjutan itu terdapat dalam Deklarasi Rio+20 yang memberi haluan akan pembangunan ekonomi dan lingkungan.
“Kita sudah mengadopsi Rio Principle itu di antaranya partisipasi masyarakat dibuka (dalam pembangunan),” kata Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), dalam diskusi daring Selasa (12/5/2020), di Jakarta.
Prinsip keterbukaan akan partisipasi publik dalam pembangunan ini terwadahi dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Namun prinsip tersebut didegradasi dalam RUU Cipta Kerja atau omnibus law atau undang undang sapu jagat.
Sebagai contoh, partisipasi masyarakat dalam mengajukan keberatan atas dokumen Amdal serta terlibat dalam komisi Amdal dihapus dalam RUU Cipta Kerja yang hanya memberi ruang warga terlibat dalam penyusunan Amdal.
Terdampak langsung
Dari sisi ruang lingkup “masyarakat”, RUU Cipta Kerja membatasi pada “masyarakat terdampak langsung”. Sementara UU PPLH juga mewadahi pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam Amdal.
“Ini sangat mengkhawatirkan, karena akan ada potensi atau penyematan status tertentu. Kami khawatir ada pembedaan antara masyarakat terdampak langsung dan tidak langsung. Membingungkan juga bagaimana menentukannya,” ungkapnya.
Amdal dalam RUU Cipta Kerja pun bias “kepentingan" pejabat pemerintah karena dinilai oleh pemerintah dari sebelumnya oleh Komisi Amdal. Meski pemerintah bisa menunjuk lembaga atau ahli bersertifikat, hal ini dinilai menimbulkan persoalan baru keputusan yang berdampak pada publik diberikan kepada swasta (lembaga/ahli bersertifikat).
Ini sangat mengkhawatirkan, karena akan ada potensi atau penyematan status tertentu. Kami khawatir ada pembedaan antara masyarakat terdampak langsung dan tidak langsung.
Sementara pada UUPPLH, komisi Amdal yang terdiri pakar jenis usaha, pakar dampak, instansi teknis, instansi LH, wakil masyarakat, dan organisasi masyarakat sipil (CSO) dibentuk pemerintah.
RUU Cipta Kerja pun menghapus sembilan kriteria usaha/kegiatan wajib Amdal dalam UUPPLH menjadi kriteria umum yaitu kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidu, sosial, dan ekonomi. “Penghapusan ini berpotensi melemahkan substansi Amdal,” ujarnya.
Melemahkan pengawasan
Di hilir, Raynaldo menunjukkan RUU Cipta Kerja melemahkan pengawasan dan penegakan hukum. Sebagai contoh, intensitas pelaksanaan pengawasan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha, pengawasan ditarik ke pusat, dan penghapusan kewenangan PPLH. Itu membawa rentang kendali sangat jauh sehingga penghentian dampak pencemaran tidak bisa dihentikan seketika.
Dari sisi penegakan hukum, tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diganti dengan kewajiban mencegah. RUU Cipta Kerja juga menghapus pidana pokok denda sehingga membuat korporasi sulit dijerat pidana.
“Pelemahan secara sistematis terjadi di hulu (perizinan/Amdal) dan di hilir (pengawasan-penegakan hukum), sehingga berpotensi menghasilkan dampak terhadap lingkungan hidup, masyarakat dan pelaku usaha,” ungkapnya.
Sementara itu, pengajar hukum lingkungan Universitas Indonesia, Mas Achmad Santosa mengatakan, Indonesia sejak dulu berpartisipasi aktif dalam membentuk kebijakan-kebijakan global terkait keseimbangan lingkungan dan pembangunan. “Aktivisme Indonesia ini menghasilkan kebijakan publik di Indonesia dari tahun 1970-an,” tuturnya.
Secara proses, pada tahun 2000, setelah reformasi, kalau kita liat konstitusi Indonesia, itu ada di amandemen keempat, menerapkan pembangunan berkelanjutan secara ekologis melalui pasal 34 ayat 4 dan pasal 28 H ayat 1. Meski diakui jauh dari sempurna, hal ini bisa jadi patokan mempertahankan pembangunan berkelanjutan dibandingkan pembangunan ekonomi semata.
Ben Boer, Distinguished Professor, Research Institute of Environmental Law di Wuhan University and Emeritus Professor di University of Sydney Australia, menambahkan, partisipasi publik merupakan prinsip sangat penting. “Maka sangat mengecewakan mengetahui proses partisipasi publik sangat rendah dalam pembahasan omnibus,” katanya.
Adapun prinsip hukum lingkungan merupakan prinsip regresi yaitu pemerintah tak boleh mengambil langkah yang membawa dampak kemunduran perlindungan lingkungan. Selain itu, prinsip progresi yaitu agar pemerintah memperbaiki hukum dan kebijakan perlindungan, restorasi, dan peningkatan mutu lingkungan berdasarkan -data ilmiah dan perkembangan kebijakan.