Lemahkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, Peraturan Menteri Perdagangan Dicabut
Pemerintah akhirnya mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020. Peraturan tersebut dinilai melemahkan sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK sehingga justru menurunkan daya saing industri.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akhirnya mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 yang dinilai melemahkan sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK. Kebijakan itu disambut baik karena bila tak dicabut penerapan regulasi sangat berisiko pada lingkungan, kelestarian hutan, daya saing ekonomi, hingga pelanggaran kerja sama bilateral Indonesia-Uni Eropa.
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan tersebut sebenarnya akan berlaku pada 27 Mei 2020 atau tiga bulan sejak diundangkan.
Peraturan yang menggantikan Permendag Nomor 84 Tahun 2016 itu tak lagi mencantumkan dokumen V-legal sebagai persyaratan larangan terbatas (lartas) di Bea dan Cukai. Dokumen V legal tetap disediakan pemerintah kepada eksportir yang memerlukannya atau negara tujuan ekspor yang menetapkan syarat tersebut.
Hal ini dinilai banyak pakar maupun pemerhati kehutanan menjadikan SVLK pincang dan membuka rembesan kayu-kayu ilegal. Hal itu akan mengembalikan citra buruk Indonesia sebagai sumber kayu colongan. Karena itu, para pihak membangun SVLK sejak 2003 dan telah menjadi promosi andalan Kementerian Luar Negeri. Upaya itu dinilai menjadi sia-sia dengan kehadiran Permendag Nomor 15 Tahun 2020.
Setelah banyak masukan dari sesama instansi pemerintah dan desakan masyarakat sipil dan akademisi serta sejumlah pelaku usaha, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto akhirnya mencabut Permendag No 15 tahun 2020 melalui Permendag Nomor 45 Tahun 2020.
Saat dikonfirmasi terkait hal ini, Kamis (14/5/2020), di Jakarta, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Sulistyawati membenarkan. Peraturan ekspor industri kehutanan dikembalikan kepada Permendag No 84 sesuai permintaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam situs Kementerian Perdagangan, Permendag No 45 Tahun 2020 pun telah diunggah pada Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH). Permendag 45/2020 ditandatangani Menteri Agus Suparmanto pada 6 Mei 2020 dan diundangkan pada 11 Mei 2020.
Permendag yang terdiri dari lima halaman tersebut pada pasal satu memutuskan, ”Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 182), ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.”
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 182) ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
Menanggapi pencabutan ini, Dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Muhammad Kosar mengapresiasinya. ”Artinya beleid ini sudah selesai dari sisi ekspor untuk penggunaan dokumen V-Legal,” ujarnya.
Kosar menilai, penerbitan Permendag yang belum seumur jagung tersebut menunjukkan kegagalan koordinasi di internal kabinet. Ia berharap KLHK sebagai ”komandan” SVLK bisa memberikan pengetahuan kepada kementerian terkait agar memiliki pandangan sama terkait sistem ini.
Luas penampang
Di sisi lain, Muhammad Kosar mengatakan, hingga saat ini pemerintah berupaya melakukan perubahan regulasi yang secara langsung terkait dengan SVLK. Regulasi tersebut ialah melonggarkan persyaratan luas penampang kayu olahan ekspor.
Saat dihubungi secara terpisah, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Investasi Kementerian Koordinator Perekonomian Ichsan Zulkarnaen pun mengatakan, upaya revisi aturan main ekspor industri kehutanan di antaranya meningkatkan luas penampang kayu olahan. Selain luas penampang, pembahasan itu juga meliputi pengaturan dokumen V-legal dan keberpihakan pada industri kecil dan menengah agar semakin banyak yang bisa mengakses SVLK.
Revisi aturan main ekspor industri kehutanan tersebut masih dibahas bersama antarkementerian. Ia menyebutkan pembahasan tersebut melibatkan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, KLHK, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian.
Muhammad Kosar berharap pemerintah mempertimbangkan secara masak efek syarat penambahan luas penampang kayu olahan tersebut. Meski meningkatka harga jual ekspor kayu olahan, hal itu bisa menimbulkan dampak buruk bagi industri pengolahan kayu di hilir serta keberlanjutan ekologi.
Kosar menambahkan, usulan perluasan luasa penampang kayu olahan dengan dalih perusahaan pembalakan kayu merugi agar ditelisik lebih jauh. Ia mengatakan, perusahaan logging atau hak pengelolaan hutan (HPH, kini jadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam) rugi dalam ”memburu” kayu karena lokasinya kian di pedalaman.
Kondisi ini mengindikasikan perusahaan tidak menerapkan atau tidak serius menjalankan kewajiban silvikultur atau penanaman kembali pada areal bekas tebangan. Penanaman kembali ini bertujuan agar perusahaan bisa rotasi atau kembali ke lokasi awal penebangan untuk ”memanen” hasil silvikultur.
”Ditarik lebih jauh, ini menandakan pemerintah lemah dalam pengawasan dan penegakan hukum,” ungkapnya.
Bila luas penampang itu diberlakukan, ia mengkhawatirkan dampak peningkatan harga akan meningkatkan rembesan kayu-kayu ilegal. Kondisi seperti saat ini, tanpa ”insentif” berupa peningkatan harga kayu saja, kasus-kasus illegal logging masih marak.
”Permintaan (kayu olahan) akan naik, HPH akan genjot lagi. Industri primer juga naik lagi. Ini akan merangsang oknum tertentu untuk illegal logging. Kondisinya sangat riskan karena pengawasan, pengendalian, dan penegakan hukum masih rendah,” kata Muhammad Kosar.
Sebelum melakukan relaksasi ukuran luas penampang, pihak JPIK merekomendasikan agar pemerintah terlebih dulu mempersiapkan kondisi pendukung. Hal itu meliputi, antara lain, meningkatkan pengawasan, pengendalian, dan penegakan hukum.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan ialah membuka informasi Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (Sipuuh) di KLHK bagi JPIK. ”Sipuuh harusnya terbuka dan bisa diakses publik agar bisa dilakukan pengawasan dan memperkecil celah pelanggaran,” ujarnya.