”Sampai Sekarang Saya Belum Terima Bantuan Sosial Apa Pun”
Melimpahnya anggaran yang dialokasikan untuk bantuan sosial tak menjamin semua warga terdampak Covid-19 terjangkau bantuan. Seperti di Jabodetabek, masih ditemukan warga yang luput dari distribusi bansos.
Mukhtar (64), warga RT 002 RW 003 Desa Telagamurni, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, sudah hampir satu setengah bulan berhenti bekerja sebagai sopir truk pengangkut limbah karena pabrik tempatnya bekerja tutup sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mengendalikan penularan Covid-19 diterapkan.
Anak laki-lakinya yang bekerja sebagai pengemudi ojek daring juga kehilangan pendapatan karena tidak bisa narik penumpang sejak diterapkannya PSBB di sejumlah kawasan di Jabodetabek sejak April lalu. Sementara istri Mukhtar telah meninggal. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, kini Mukhtar bergantung kepada tetangga dan kerabatnya.
”Sampai sekarang saya belum menerima satu pun bantuan dari pemerintah,” ujar Mukhtar, Kamis, (4/6/2020).
Mukhtar dan anaknya hanya satu contoh betapa melimpahnya anggaran bantuan sosial (bansos) untuk warga terdampak Covid-19, tak menjamin mereka mendapatkannya. Ironisnya justru ada warga yang tak layak mendapat bansos malah mendapatkannya. Atau ada warga yang memperoleh bantuan dobel dari dua program bansos berbeda. Transparansi data penerima bansos kini dibutuhkan agar pendistribusian bantuan ini dapat lebih tepat sasaran.
Setidaknya ada tujuh macam bansos bagi warga terdampak Covid-19. Empat di antaranya bansos reguler dan khusus Covid-19 yang disediakan Kementerian Sosial. Ada pula Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa. Total nilai bantuan ini Rp 64,67 triliun. Ditambah dua macam bansos yang masing-masing disediakan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dengan nilai beragam.
Pemerintah menginstruksikan setiap keluarga penerima bantuan hanya boleh menerima satu macam bantuan, tidak boleh dobel. Untuk menentukan penerimanya seluruh pemerintah dapat mengacu pada data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), data 40 persen keluarga Indonesia dengan sosial-ekonomi sangat miskin hingga rentan miskin.
Desa Telagamurni, tempat Mukhtar bermukim, sebagai contoh, selama April setidaknya ada 1.200 keluarga yang belum terjangkau bansos. Pada mulanya ada 2.000 keluarga yang diusulkan menerima bansos setelah dikurangi 200 keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Nontunai (BPNT)/Sembako, bansos reguler dari Kemensos. Dari usulan itu, selama April hanya 800 keluarga yang terjangkau bansos Sembako/Bantuan Presiden dan Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Kemensos, serta sembako Pemerintah Kabupaten Bekasi.
Rumitnya lagi, menurut Sekretaris Desa Telagamurni Doman AA, ditemukan data penerima yang sama untuk bansos BST Kemensos dan Banpres. Sementara kedua bansos itu langsung diberikan kepada penerima oleh PT Pos Indonesia sehingga perangkat RT setempat yang harus menangani pendistribusian bansos dobel yang diterima warga.
”Jujur saja ada yang terima bansos dobel. Pihak RT yang mengurus agar bantuan yang dobel dapat didistribusikan ke warga yang belum dapat. Sejauh ini di lapangan ditemukan ada 5 keluarga yang memperoleh bansos dobel untuk sembako Banpres dan BST Kemensos,” katanya.
Hingga akhir Mei, kata Doman, baru ada tambahan 109 keluarga untuk BST sebesar Rp 600.000 per keluarga per bulan dan ditambah pencairan BLT Dana Desa untuk 223 keluarga. Jika ditambah 800 keluarga yang sudah menerima bansos selama April, total ada sekitar 1.100 keluarga yang memperoleh bansos. Dengan demikian, masih menyisakan 900 keluarga yang belum menerima bansos.
”Setiap kali datang bantuan, kami baru dapat data siapa saja yang memperoleh bansos itu,” ujar Doman.
Baca juga: Ruwet Bansos karena Data
Desa Candali di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, juga ditemukan ada sekitar 340 keluarga di desa itu yang tak terjangkau bansos. Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat Desa Candali Firdaus mengatakan, pada awal April, pihaknya mengusulkan 1.042 keluarga dari 1.465 keluarga di desa itu sebagai penerima bansos. Jumlah itu sudah dikurangi oleh 261 keluarga penerima PKH.
Selama April hingga awal Juli ini, menurut Firdaus, yang memperoleh bansos hanya 705 keluarga. Dengan rincian 12 keluarga penerima BST Kemensos, 112 keluarga penerima Bansos Sembako Kemensos, 55 keluarga penerima bansos Pemprov Jabar, bansos beras 30 kilogram dari Pemkab Bogor untuk 338 keluarga, dan BLT Dana Desa untuk 188 keluarga. ”Jadi masih ada 340 keluarga yang belum dapat bansos,” katanya.
Sementara di Jakarta, distribusi bansos menimbulkan kecemburuan karena tidak semua warga yang membutuhkan bisa memperolehnya. Wanah (50) dan Romlah (32), ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Duren Sawit, Jakarta Timur, ini contohnya. Selama April-Mei, Wanah memperoleh bansos sembako dari Dinas Sosial DKI Jakarta dan sembako Bantuan Presiden dari Kementerian Sosial, dan rutin diperolehnya sekali dalam sebulan. Sementara Romlah tidak memperoleh bansos apa pun.
”Selama April, saya dapat dua paket, bansos DKI dan Banpres. Lumayan sih isinya, membantu untuk kebutuhan makan sehari-hari. Bulan Mei dapat lagi. Bansos ini sangat membantu keluarga saya,” kata Wanah, ibu tiga anak.
Sebaliknya, Romlah merasa pendistribusian bansos tidak adil karena ada orang yang memperoleh bansos sampai dua kali, tetapi ada yang tidak memperoleh sama sekali. ”Saya heran, kok saya enggak dapat yah. Kan lumayan itu sembako bisa buat makan sehari-hari. Apalagi kalau dapat dua paket,” ujar ibu dua anak ini.
Perangkat desa dan pemerintah daerah pun mulai menghitung jumlah warga yang memperoleh bansos ganda, termasuk yang kemungkinan tidak memperoleh bansos.
Sementara DKI Jakarta, setelah dilakukan evaluasi terhadap pendistribusian bansos tahap awal pada April lalu, diperoleh fakta masih ada banyak warga terdampak wabah Covid-19 yang tidak mendapatkan bantuan.
Kepala Biro Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Premi Lasari, dalam rapat kerja dengan Komisi E DPRD DKI, pada awal Mei lalu, menyampaikan, untuk menjangkau warga terdampak wabah Covid-19 lainnya, maka selama akhir April kemarin perangkat RT/RW dan kelurahan menghimpun kembali data tambahan penerima bansos.
”Ternyata di lapangan masih banyak warga yang tidak mendapatkan bantuan padahal mereka berhak menerima. Termasuk juga warga-warga dengan KTP non-DKI. Kemudian kami berikan waktu untuk para ketua RW mengajukan usulan tambahan bansos,” kata Premi.
Berangkat dari evaluasi distribusi bansos yang pertama di DKI, tercatat ada 1.194.663 keluarga penerima bansos. Setelah dilakukan distribusi, diperoleh data penerima tidak tepat sasaran ataupun tidak valid sekitar 73.000 penerima. Kemudian dilakukan verifikasi data dan diperoleh 1.121.795 keluarga yang layak menerima bansos. Ditambah dengan usulan yang baru sebanyak 1.085.337 keluarga sehingga total ada 2.207.132 keluarga di DKI yang menerima bansos pada Mei.
Baca juga: Siasat Sembako, Penepis Resah Warga
Untuk menghindari warga yang menerima bansos dobel, Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Irwansyah menyampaikan, pihaknya telah berupaya meminta data penerima sembako Banpres kepada Kemensos. Data itu sangat dibutuhkan untuk menghindari pemberian bansos ganda pada warga penerima bansos reguler PKH dan BPNT/Sembako. Namun, hingga kini, data itu belum diberikan oleh Kemensos.
”Kami sudah meminta data Banpres ke Kemensos via surat tanggal 27 April, tetapi datanya enggak pernah diberikan. Padahal, data ini penting karena yang menjadi titik kritis di lapangan warga penerima PKH dan BPNT tidak boleh mendapat bansos (Banpres) lagi,” ujarnya.
Data dibatasi
Sementara perangkat RT/RW pun baru memperoleh daftar penerima bansos dari pemerintah saat bansos didistribusikan kepada warga. Barep Suroso, salah satu ketua RT di Mampang, Kecamatan Pancoranmas, Kota Depok, mengaku, perangkat RT hanya memperoleh data penerima dari pemerintah saat bansos datang.
Menurut Barep, saat pendistribusian bansos Wali Kota Depok pada April lalu, hanya 39 keluarga yang menerima dari 100 keluarga yang diusulkan. Bagi warga yang tak mendapatkan bansos, ia mengaku, tidak mengetahui akan memperoleh bansos lainnya atau tidak.
”Kami hanya menerima daftar penerima dan membagikan bantuan itu kepada warga yang masuk dalam daftar penerima. Untuk bansos lainnya, kami tidak diberi tahu,” kata Barep.
Camat Pancoranmas Utang Wardaya mengungkapkan, pihaknya pun kesulitan memperoleh data penerima bansos ataupun DTKS dari Dinas Sosial Kota Depok. Ia mengaku sempat memperoleh data tersebut untuk setiap kelurahan di Kecamatan Pancoranmas. Namun, kemudian data tersebut diambil lagi oleh pihak dinsos dengan alasan data itu tidak boleh disebar dulu.
”Saya kan perlu sebar data itu ke kelurahan karena kelurahan perlu tahu. Kalau saya tahu sendiri, percuma dong. Lagi pula data ini perlu diketahui agar bansos yang didistribusikan bisa sampai ke sasaran sehingga perangkat RT/RW ataupun warga yang menerima bantuan bisa tahu jumlahnya. Bisa dipertanggungjawabkan. Kami juga bisa mengawal distribusinya,” kata Utang.
Apalagi, kata Utang, camat memiliki tugas untuk mempertanggungjawabkan distribusi bansos tersebut. ”Saya sampai menganggarkan honor monitoring bansos. Satu petugas yang melakukan monitoring diberi honor Rp 150.000 per orang per hari. Setiap kelurahan ada dua petugas,” katanya.
Masih ditemukan dobel
Kepala Bidang Pengelolaan Sistem dan Teknologi Informasi, Pusat Data dan Informasi, Kementerian Sosial Joko Widiarto menyampaikan, pada prinsipnya penerima bantuan tidak boleh mendapatkan bansos sampai dua kali. Namun, dia akui, ada saja ditemukan satu penerima bantuan yang data identitasnya masuk di dua program bansos Kemensos yang berbeda, seperti masuk di data Bantuan Sosial Tunai maupun Sembako.
”Memang masih ditemukan 1-2 data penerima (di dua program bansos),” kata Joko.
Untuk mengendalikan penerima bansos dobel itu, menurut Joko, selama hampir sebulan ini Pusdatin Kemensos telah melakukan pengembangan pada sistem pengolahan data. Dengan pengembangan ini, pemerintah daerah sudah bisa langsung menghapus salah satu data penerima bantuan yang terdaftar di dua program bansos, termasuk menghapus data penerima yang terbukti mampu.
”Hal ini sudah kami buka agar daerah dapat menghapus datanya (penerima bansos ganda). Artinya, usulan yang mampu, ganda, itu daerah bisa menghapus sendiri. Kemudian mereka dapat masukkan lagi usulan yang baru. Ini daerah sudah berproses, termasuk Trenggalek yang (ditemukan) anggota DPRD (memperoleh bansos) itu sudah masuk (perbaikan datanya),” ujarnya.
Perbaikan data itu, menurut Joko, dapat langsung diakses oleh pemerintah daerah di aplikasi Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-New Generation. Dengan cara ini pula, katanya, pemerintah daerah juga dapat menghapus data penerima bansos ganda pada pendistribusian bansos yang pertama.
”Kalau kemarin ada yang telanjur dapat (bansos dobel dan warga mampu), datanya sekarang bisa dihapus,” katanya.
Sekretaris Jenderal Kemensos Hartono Laras menyampaikan, Kemensos menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah jika masih ditemukan satu keluraga menerima bantuan dobel dari dua program bansos berbeda. Sebagai contoh Jakarta, sudah disepakati ada perbaikan data di Pemprov DKI. Kuota bansos yang disediakan Kemensos untuk distribusi tahap dua selama Mei di DKI Jakarta juga tetap 1,3 juta keluarga seperti pada April.
”Kami pun sudah membagi, mana yang menjadi urusan DKI. Kita yang tetap 1,3 juta keluarga itu. Cuma nanti datanya sudah ada perbaikan,” ujarnya.
BLT Dana Desa
Untuk menjaga agar BLT Dana Desa didistribusikan kepada warga yang belum memperoleh bansos apa pun, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menyampaikan, calon penerima BLT itu bisa saja dicatat dulu identitasnya. Baru kemudian data itu dikroscek dengan data penerima bansos yang ada di pemerintah pusat ataupun daerah, termasuk dengan DTKS.
”Dicatat dulu (warga calon penerima) baru dikroscek dengan DTKS. Pokoknya prinsipnya jangan terjadi overlapping. Karena tidak semua desa paham PKH, dalam arti tidak semua desa itu tahu detail siapa si A dan si B yang penerima PKH ini. Makanya, datanya perlu disinkorinisasi di pemerintah kabupaten supaya tidak tercatat di dua program bansos,” katanya.
Namun, menurut Halim, data penerima yang disinkronisasi di pemerintah kabupaten tetap harus melalui musyawarah desa khusus (musdesus). Dengan demikian, warga desa dapat mengawasi siapa saja yang dipilih sebagai penerima BLT Dana Desa.
”Semua dipaparkan di musdesus. Setelah itu selesai, datanya di tempel di balai desa. Masyarakat di kasih ruang untuk verifikasi lagi. Penyaringan selanjutnya baru sinkronisasi di kabupaten. Saya yakin dengan cara ini 99 persen BLT Dana Desa akan tepat sasaran,” ujarnya.
Sementara beberapa desa di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, mulai melibatkan masyarakat untuk mengawasi pendistribusian bansos bagi warga terdampak wabah Covid-19 ini. Desa Gumurih, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, salah satunya, memasang seluruh nama penerima bansos ini di balai desa.
Di desa ini terdapat 1.776 eluarga dan yang menerima bansos sebanyak 825 keluarga. Dengan rincian penerima PKH dan BPNT/Sembako sebanyak 394 keluarga, BST Kemensos sebanyak 55 keluarga, BLT Dana Desa sebanyak 159 keluarga, bansos sembako sebanyak 117 keluarga, dan bansos Pemkab Banyuwangi sebanyak 100 keluarga.
Kepala Desa Gumurih Murai mengatakan, untuk mendaftarkan warga yang dinilai layak menerima bansos didaftarkan ke sistem Smart Kampung yang dikembangkan di Banyuwangi. Dengan sistem ini, warga juga bisa mengecek sendiri namanya terdaftar atau tidak sebagai penerima bansos dengan mengakses situs Smartkampung.id.
”Jadi tidak ada informasinya yang ditutupi. Semua warga bisa lihat dan cek,” ujar Murai.
Dalam sebuah seminar daring pada pertengahan Mei lalu, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan menyampaikan, saat ini DTKS merupakan basis data untuk pendistribusian bansos yang paling baik. Jika data itu kurang valid, karena tidak dimutakhirkan oleh pemerintah daerah.
Oleh karena itu, katanya, semua pihak sebaiknya mengawasi proses distribusi bansos ini. ”Namun, tak ada yang lebih baik dibandingkan masyarakat untuk mengawasi distribusi bansos ini,” katanya.